Islam memerintahkan umat Islam agar membayar zakat dengan ketentuan-ketentuannya. Di antara zakat-zakat yang diperintahkan tersebut adalah zakat fitri (zakat fitrah sebagaimana biasa dikenal masyarakat Indonesia). Di antara perdebatan para ulama fikih, bolehkah membayar zakat fitrah dengan uang? Berikut beberapa pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak bolehnya membayar zakat fitrah dengan uang. Pendapat ini menggunakan pendapat kalangan mazhab malikiah, syafi’iyyah, dan hanbali. Pendapat ini pertama didasarkan praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw yang membayar zakat dengan makanan. Makanan menjadi penting bagi orang-orang yang lapar pada hari raya ‘Idul Fitri. Hal tersebut didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw.:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ ، عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ، ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Artinya: Dari Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitri pada manusia di bulan Ramadlan satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum. Kewajiban itu kepada setiap orang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan.
Kedua didasarkan Pada ‘illat (alasan pembuatan hukum) atas zakat fitrah yaitu quthul biladh (makanan pokok). Jika di Indonesia mungkin pilihan zakatnya bukan dengan kurma, akan tetapi beras, sagu, atau jagung. Karena itulah makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia. artinya makanan menjadi faktor penting dalam menyalurkan zakat oleh si Muzakki.
Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh membayar zakat dengan uang. Pendapat ini dinyatakan oleh mazhab Hanafiah. Abu Yusuf yang merupakan ahli fikih kalangan hanafiah lebih cendrung untuk berzakat dengan uang, karena hal itu lebih dibutuhkan oleh orang-orang yang tidak bercukupan. Pendapat ini juga pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Persoalan ini juga menjadi bahasan ulama kontemporer. Di antara ulama yang mengakomodir keduanya adalah Muhammad Syaltut. Ulama kontemporer asal Mesir ini menyatakan bahwa jika saya tinggal di desa maka saya akan berzakat dengan makanan. Karena konteks itu dianggap cocok bagi masyarakat.
Akan tetapi, Yusuf al-Qaradhawi berbeda pendapat. Dalam kitab Fikhuz Zakat, menurutnya alasan pada zaman Rasulullah SAW, sang muzakki menyalurkan zakat dengan makanan karena konteks waktu itu uang (dinar dan dirham) masih sedikit dibandingkan dengan makanan yang melimpah.
Artinya akan ada kesulitan jika si Muzakki membayar dengan uang. Adapun konteks sekarang, ketika uang menjadi faktor utama dalam memenuhi kebutuhan di hari Idul Fitri, maka menjadi sangat relevan jika uang dijadikan model pembayaran zakat fitri.
Demikianlah perbedaan pendapat para ulama klasik dan kontemporer tentang zakat uang. Pada akhinya, penggunaan uang memang tidak serta merta dibolehkan secara absolut, ia juga dilihat kondisi dan konteks masyarakat. Artinya penggunaan uang mesti didasarkan pada penghitungan atas makanan sehari-hari yang dikonsumsi. Dengan kata lain, zakat dengan uang disesuaikan jumlahnya dengan zakat makanan.
Adapun niat zakat fitrah dengan uang sebagaimana niat zakat fitrah biasanya, yaitu:
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى
NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI ‘AN NAFSII FARDLOL LILLAAHI TA’AALAA
Artinya :
Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah pada diri saya sendiri, fardhu karena Allah Ta’ala
Untuk niat yang lain bisa baca: Lafal Niat Zakat Fitrah Lengkap.
Wallahu A’lam bis Shawab.
*Penulis adalah merupakan pegiat kajian hadis di el-Bukhari Institute