Hukum Cipika-Cipiki dan Pelukan Bagi Suami Istri Saat Puasa

Hukum Cipika-Cipiki dan Pelukan Bagi Suami Istri Saat Puasa

Hukum Cipika-Cipiki dan Pelukan Bagi Suami Istri Saat Puasa

Cium pipi kanan dan pipi kiri atau disingkat “cipika-cipiki” yang dilakukan suami kepada istrinya atau sebaliknya apabila tidak menjadikan mani keluar (inzal) dan tidak membangkitkan libido (syahwat) yang mendorong melakukan senggama maka tidak membatalkan puasa. Demikian juga dengan berpelukan yang biasanya dilakukan “satu paket” dengan cipika-cipiki.

Mencium istri atau suami apabila menyebabkan mani keluar maka dapat membatalkan puasa. Sedangkan jika ciuman hanya membangkitkan syahwat maka tidak membatalkan puasa, namun hukumnya makruh atau tidak baik.

Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H), pakar fikih madzhab Syafi‘i dalam karyanya, Al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Madzhab al-Imam asy-Syafi‘i, menjelaskan:

فَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُنْظَرُ فِيْ حَالِهِ، فَإِنْ كَانَتِ الْقُبْلَةُ تُحَرِّكُ شَهْوَتَهُ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَلَا تُبْطِلُ صَوْمَهُ إِلَّا أَنْ يُنْزِلَ فَإِنْ لَمْ تُحَرِّكْ شَهْوَتَهُ، فَهِيَ غَيْرُ مَكْرُوهَةٍ، وَتَرْكُهَا أَفْضَلُ

“Menurut Imam asy-Syafi‘i, keadaan seseorang saat melakukan ciuman harus dipertimbangkan. Apabila ciuman dapat membangkitkan nafsunya maka hukumnya makruh dan tidak membatalkan puasa, kecuali apabila keluar mani maka puasanya batal. Apabila ciuman tidak menggugah libidonya maka hukumnya tidak makruh, namun tidak melakukannya lebih utama.” (1999: III, 439).

Hukum ciuman di atas berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang menginformasikan bahwa Nabi mencium dan bersentuhan kulit dengan istrinya, ‘Aisyah dalam keadaan puasa. Berdasarkan hadis ini, Asy-Syafi‘i menyimpulkan bahwa ciuman yang tidak mengakibatkan mani keluar dan tidak membangkitkan libido meski tidak membatalkan puasa dan hukumnya tidak makruh, namun lebih baik ditinggalkan karena demi menjaga kemungkinan-kemungkinan syahwat.

Dalam hadis ditegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang lebih bisa mengendalikan anggota tubuhnya (wa kana amlakakum li irbih), artinya ciuman dan bersentuhan kulit yang dilakukan Nabi tidak akan mendorong atau membuat syahwat bergejolak selama Nabi menghendakinya, karena Nabi orang yang paling bisa mengendalikan diri. Hal ini berbeda dengan manusia secara umum yang masih memungkinkan lepas kendali.

Hukum “lebih baik tidak melakukan ciuman atau meninggalkannya” ini dibangun di atas prinsip kehati-hatian atau dalam istilah pesantren disebut “ihtiyath” yang merupakan salah satu kekhasan dalam fikih madzhab Syafi‘i.

Berpelukan dengan suami atau istri juga memiliki hukum sebagaimana ciuman, intinya apabila menjadikan mani keluar maka membatalkan puasa, apabila sebatas membangkitkan libido maka tidak membatalkan puasa, namun makruh. Jika tidak keduanya, yakni aman dari keluar mani dan libido maka boleh namun lebih baik ditinggalkan.

Klasifikasi hukum dengan mempertimbangkan kondisi pelaku sebagai subjek hukum seperti di atas, yakni apakah ciuman dan berpelukan membatalkan puasa atau tidak, makruh atau boleh, bagian dari kekhasan hukum Islam yang membedakannya dengan undang-undang yang bersifat tegas dan sama rata tanpa memperhatikan kondisi manusia sebagai subjek hukumnya. Karena itu, dalam fikih satu kejadian yang sama bisa memiliki hukum yang berbeda sebab berbeda-bedanya faktor yang melatari suatu kejadian tersebut. Inilah salah satu kelebihan berislam dengan mengikuti pendapat ulama atau bermadzhab, fleksibel dan kontekstual. Tentu hal demikian tidak didapatkan jika langsung merujuk ke al-Quran dan hadis.