Viral di Media penyebutan Jokowi dalam menyebut al-fatihah menjadi al-fatekah. Cacian dan makian gentar menghampiri Jokowi saat menyampaikan sambutan pada pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional XXVII Tahun 2018 di jalan William Gd. Serbaguna Kota Medan.
Pada kesempatan ini, Jokowi mengajak masyarakat yang hadir untuk Bersama-sama mendoakan untuk korban bencana alam dan keluarga yang selamat agar diberi kesabaran dan ketabahan dengan redaksi “Ala Hadihi niyat, al-fateka.”
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada individu Jokowi saja, melainkan ada pada setiap manusia dengan latarbelakang suku ras yang berbeda-beda. Ucapan Jokowi dalam hal ini tidak sama sekali mengurangi pahala ataupun fadhilah, karena al-fateka sama saja dengan al-fatihah hanya sebatas nama surat dan tidak lebih. Adapun ketentuan membaca al-Qur’an sejatinya memang harus dilafalkan dengan bacaan yang mujawwad sesuai dengan Makharijul Huruf.
Dalam aturan fikih, orang yang tidak mampu membaca al-Qur’an sebagaimana mestinya tetap dibolehkan melafalkan bacaan shalat sesuai dengan kemampuannya. Dia boleh melafalkan bacaan shalat meskipun tidak sesuai makharijul huruf asalkan dia sudah berusaha keras dan belajar sekuat tenaga untuk membaca al-Qur’an sesuai tajwid dan makharijul huruf. Karena Islam itu memudahkan, tidak memberatkan.
Namun sayangnya, yang terjadi malah berbalik arah dan kerap menjadi bahan cacian serta makian publik dan netizen kepada Jokowi dengan mengangkat kesalahan tersebut. Kejadian itu mengundang persepsi miring tentang hal-hal negatif yang dilebih-lebihkan.
Jika kita ketahui, bahwa mehamahi tutur kata seseorang juga seyogyanya memahami kultur yang berlaku. Berdasarkan pengalaman, saat saya berada di di Desa Plered Cirebon ada beberapa kata yang terdapat huruf H (ha). Pada prakteknya, tanpa disadari bahwa masyarakat mengubahnya dengan huruf K (Ka). Contoh: “Haji” menjadi “Kaji”. Mereka menyebutnya Kaji Tisna bukan Haji Tisna. Ini juga berimbas pada pengucapan kata Alhamdulillah menjadi “Alkamdulillah”.
Sedangkan orang-orang suku Jawa bagian Selatan (Banyumas dsk.) mereka terbiasa melafalkan ‘Ngain ketimbang ‘ain. Hal inipun berimbas ketika melantunkan ayat Qur’an yang seharusnya Alhamdulillahi rabbil ‘Alamin berubah satu huruf menjadi Alhamdulillahi rabbil ‘Ngalamin. Disisi lain, orang suku sunda memiliki kesulitan verbal dalam mengucapkan huruf F (ef) menjadi P (Pe) dan Z (zet) menjadi J (Je) secara alpabetis maupun ketika membaca al-Qur’an.
Melihat fenomena di atas, harus kita sadari bahwa lahn (kesalahan) pada pelafalan Bahasa Arab dari non arab seperti orang Indonesia dengan beraneka ragam suku dan budaya patut dimaklumi. Wajar saja apabila kesalahan sedikit seorang pemimpin menjadi dampak elektoral yang besar dan memang dibesarkan-besarkan
*klik di sini untuk selengkapnya