Hukum Berjihad bagi Perempuan (Bagian 1)

Hukum Berjihad bagi Perempuan (Bagian 1)

jihad sebagai perjuangan di jalan Allah tidak mengambil bentuk tunggal, perang. Jihad bisa mengambil banyak bentuk, Lalu, bagaimana hukumnya jihad bagi perempuan?

Hukum Berjihad bagi Perempuan (Bagian 1)

Beberapa hari lalu kita dikejutkan oleh kabar hilangnya seorang perempuan di Sleman yang meninggalkan rumah tangganya untuk berjuang di jalan Allah. Tetapi beberapa hari kemudian ia bersama balitanya dijemput oleh aparat kepolisian di sebuah pulau terpencil sebelum ia melanjutkan perjalanan ke medan perang di Timur Tengah.

Aparat menemukan sebuah surat yang sempat ia tulis untuk suaminya bahwa dirinya akan berjuang di jalan Allah. “Berjuang di jalan Allah” menjadi ungkapan menarik yang patut dicermati. Frasa ini menjadi daya tarik luar biasa yang menggerakkan seseorang untuk mengorbankan segala yang dimilikinya.

Bagaimana memahami fenomena ini dalam konteks hukum Islam? Dalam bahasa agama, berjuang di jalan Allah dalam arti perang fisik disebut “jihad”. Ulama sepakat bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah, sebuah kewajiban yang cukup diwakili oleh segelintir orang. Artinya kewajiban jihad tidak ditujukan untuk semua umat Islam.

Ulama menyebut secara jelas tujuh syarat mereka yang wajib berperang. Mereka adalah orang yang beragama Islam, balig, berakal, merdeka, laki-laki, sehat, dan memiliki kesanggupan berperang.

Kondisi Darurat Perang

Kelengkapan syarat ini juga belum cukup menjadi alasan seseorang untuk langsung menerjunkan diri dalam peperangan. Pasalnya fardhu kifayah merupakan kewajiban yang waktunya tidak ditentukan oleh agama, tetapi oleh kondisi-kondisi khusus.

Contoh fardhu kifayah lainnya seperti mengurus jenazah, mengobati orang sakit, atau menjadi saksi dalam kasus kejahatan.

Kita tidak bisa mengurus jenazah mulai dari memandikan hingga memakamkan jenazah kalau tidak ada orang meninggal dunia. Begitu juga mengobati orang sakit. Kita tidak dibenarkan melakukan operasi jantung terhadap orang yang sehat wal afiyat. Lalu kapan kondisi khusus yang memungkinkan kita untuk berperang?

Ulama Syiria Syekh Wahbah Zuhaili menyebut tiga kondisi darurat militer. Pertama, ketika dua pasukan sudah saling berhadapan dan tidak ada titik temu. Kedua, saat pasukan kafir menduduki satu wilayah kekuasaan kita. Ketiga, ketika presiden memerintahkan perang terhadap pasukan musuh. (Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 6, halaman 417, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985).

Kendati demikian status hukum jihad ini bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, kewajiban yang dipikul oleh setiap orang. Perubahan hukum ini juga mesti didukung oleh kondisi yang benar-benar darurat.

Ahli fikih Indonesia, KH Afifudin Muhajir,  menyatakan bahwa jihad menjadi fardhu ‘ain ketika pasukan kafir sudah masuk di wilayah kekuasaan kita. Saat itulah penduduk setempat sedapat mungkin mengusir mereka. (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, Maktabah Al-As’adiyah, Situbondo, halaman 193, cetakan pertama, 2014).

Islam agama yang sangat luas. Ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW tidak bisa disempitkan. Karenanya jihad sebagai perjuangan di jalan Allah tidak mengambil bentuk tunggal, perang. Jihad bisa mengambil banyak bentuk []. (Bersambung)