Hukum Berbuat Baik Kepada Tetangga Muslim dan Nonmuslim

Hukum Berbuat Baik Kepada Tetangga Muslim dan Nonmuslim

Di negara Indonesia, kita tidak hidup sendiri, tapi bersama dengan orang. Lalu, bagaimana hukum berbuat baik kepada non-muslim?

Hukum Berbuat Baik Kepada Tetangga Muslim dan Nonmuslim

Sahal At-Tustari selama puluhan tahun bertetangga dengan salah seorang pemeluk Majusi. Sufi kenamaan yang wafat pada 283 H ini bertetangga baik dengannya. Pergaulan antara keduanya selama itu nyaris tidak ada masalah. Mereka rukun-rukun saja seperti kawanan merpati.

Lebih dari itu keduanya saling berbagi makanan layaknya orang sekampung di bumi Nusantara saat lebaran tiba. Perbedaan agama keduanya tidak menjadi masalah penting dalam pergaulan. Masing-masing menganggap perbedaan agama antara keduanya sebagai jalan untuk menunjukkan budi pekerti luhur. Bagi Sahal, perbedaan agama tidak menjadi alasan benci kepada tetangganya.

Walhasil, pergaulan keseharian keduanya tampak dalam suasana persaudaraan dan persahabatan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ikhlas dan ridha lillahi ta‘ala luar-dalam.

Namun siapa mengira di balik hubungan ketetanggaan mereka puluhan tahun itu, Sahal menyembunyikan penanggungan derita yang baru diungkapkan di akhir hayatnya. Ia sendiri tidak melancarkan protes kepada tetangganya. Ia memilih diam.

Alkisah saluran limbah wc sahabat Majusi ini tanpa sepengetahuannya bocor dan mengonggok di muka rumah Sahal. Hampir setiap malam Sahal membersihkan limbah perut tetangganya yang mengonggok di rumahnya.

Sahal melakukannya selama puluhan tahun dengan ikhlas. Ini pula yang menyebabkannya sakit. Hingga sakit di akhir hayatnya, ia meminta sahabat Majusi datang. Ia ingin berbicara sesuatu yang penting.

“Wahai tetanggaku, aku merasa ajalku mendekat. Kalau ajalku tiba, rumah ini akan menjadi milik para ahli warisku. Aku minta maaf kepadamu kalau mereka kelak tidak kuat menanggung apa yang kualami selama puluhan tahun kita tinggal berdampingan. Aku khawatir mereka kelak karena masalah ini,” kata Sahal yang kemudian menceritakan bagaimana ia setiap malam tanpa sepengetahuan siapa pun membuang limbah tetangga yang menumpuk di rumahnya.

Sahabat Majusi terkejut. Ia terperenyak. Bibirnya kaku. Wajahnya pucat. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Untuk sesaat ia membeku. Hatinya gundah antara malu, sedih, dan kagum mendengar permohonan maaf lelaki tua di depannya. Tidak berapa lama ia menguasai diri.

“Puluhan tahun kau memperlakukanku sedemikian baiknya. Sementara aku tetap dalam kekufuran. Wahai tetanggaku, ulurkan tanganmu. Saksikanlah dua kalimat syahadatku ini,” kata sahabat Majusi dengan terbata-bata.

Demikian Sahal At-Tustari yang mengamalkan pesan Rasulullah SAW agar umatnya tidak menyakiti tetangga meskipun berbeda agama. (Riwayat ini disadur dari buku Is‘âdur Rafîq wa Bughyatus Shadîq karya Habib Abdullah bin Husein bin Thahir Ba‘alawi).

***

Abu Muhammad Sahal bin Abdullah bin Yunus bin ‘Isa bin Abdullah bin Rafi‘ At-Tustari (Ahwaz/Khazaktan) salah seorang pemuka kelompok sufi di zamannya. Sahal bergaul dengan ulama lain seperti Khalid dan Muhammad bin Sawar. Ia juga pernah bertemu dengan Dzun Nun Al-Mishri. Sahal wafat pada 283 H.

Prinsip hidup baginya hanya tujuh, “Berpegang pada kitab suci, mengikuti sunah Rasulullah SAW, memakan pendapatan halal, tidak menyakiti orang lain, menjauhi maksiat, selalu bertobat, dan menjalani kewajiban-kewajiban,” kata Sahal. (At-Thbaqâtul Kubrâ karya Abdul Wahhab As-Sya‘rani).[]

Alhafiz Kurniawan adalah pengelola rubrik Ubudiyah NU Online.