Hukum Bekerja di Kantor Pajak dan Bea Cukai

Hukum Bekerja di Kantor Pajak dan Bea Cukai

Bagaimana sih sebenarnya hukum bekerja di lembaga yang berkaitan dengan pajak?

Hukum Bekerja di Kantor Pajak dan Bea Cukai

Bagaimana sih hukumnya bekerja di kantor panjak dan bea cukai? Apakah pajak tidak ada dalam islam seperti yang banyak dikatakan oleh beberapa ustadz? Apalagi, mengingat, pajak ini juga berkaitan dengan barang yang dianggap ‘non halal’ seperti minuman keras dan lain sebagainya. Terkait hal ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu.

Pertama, menyangkut soal bekerja di kantor perpajakan dan bea cukai. Kedua menyangkut hukum memanfaatkan cukai minuman keras dan rokok untuk kemaslahatan publik seperti pembangunan infrastuktur dan lain-lain.

Dalam kesempatan ini kali ini kami akan mencoba untuk menjawab pertanyaan yang pertama, yaitu terkait soal hukum bekerja di kantor perpajakan. Sedangkan untuk pertanyaan yang kedua akan kami jawab pada lain kesempatan. Dalam soal hukum bekerja di kantor pajak dan bea cukai setidaknya ada dua pendapat yang beredar.

Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum bekerja di kantor pajak adalah adalah haram. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa tidak ada satu pun dalil yang menyatakan kebolehan memungut pajak. Karena itu, bekerja pada kantor pajak dan bea cukai tidak dibenarkan.

Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban membayar pajak. Namun negara boleh menetapkan kepada sebagian rakyatnya yang mampu untuk membayar pajak, apabila sumber pendapatan negara yang lain tidak memadai atau mencukupi kebutuhan negara.

عَيَّنَ السُّلْطَانُ عَلَى بَعْضِ الرَّعِيَّةِ شَيْئاً كُلَّ سَنَةٍ مِنْ نَحْوِ دَرَاهِمَ يُصْرِفُهَا فِي الْمَصَالِحِ إِنْ أَدَّوْهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ لَا خَوْفاً وَحَيَاءً مِنَ السُّلْطَانِ أَوْ غَيْرِه جَازَ أَخْذُهُ ، وَإِلَّا فَهُوَ مِنْ أَكْلِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ، لَا يَحِلُّ لَهُ التَّصَرُّفُ فِيهِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ ، وَإِرَادَةُ صَرْفِهِ فِي الْمَصَالِحِ لَا تَصِيرُهُ حَلَالاً

Artinya, “Kebijakan penguasa kepada sebagian rakyatnya untuk memberikan sesuatu setiap tahun seperti memberikan bebarapa dirham yang ditasharrufkan untuk kemaslahatan, jika mereka memberikannya dengan sukarela tanpa tekanan baik dari penguasa atau selainnya maka boleh mengambilnya. Jika tidak, maka termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil dan tidak halal bagi penguasa untuk menasharrufkannya di pelbagai bidang. Sedangkan keinginan penguasa untuk menasharrufkanya untuk kemaslahatan tidak serta menjadikan harta tersebut halal,” (Lihat Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Beirut, Darul Fikr, tt, halaman 326).

Tetapi dengan catatan bahwa pembayaran pajak itu muncul dari kesadarannya bukan karena tekanan baik dari pihak penguasa atau pihak lain. Dari sinilah kemudian negara sama sekali dilarang keras untuk menyelewengkan pajak. Negara sebagai pemegang amanat harus memastikan bahwa pajak yang dipungut dari rakyatnya benar-benar ditasharrufkan untuk kepentingan umum.

Sebab, jika pajak diselewengkan maka kesadaran rakyat dan kerelaannya untuk membayar pajak sebagai sumbangan untuk menutupi kebutuhan negara akan terkikis.

Konsekuensi logisnya adalah ketundukan rakyat kepada negara akan berubah jadi pembangkangan. Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun ternyata persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Jika pembayaran pajak itu atas dasar sukarela dan tanpa tekanan maka ini juga menjadi problem serius.

Kenapa akan menjadi persoalan serius? Sebab, masyarakat akan seenaknya dalam membayar pajak. Padahal negara sangat membutuhkannya. Tanpa pajak, negara jelas akan runtuh. Sebab, pemasukan nonpajak tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan negara. Karena itu maka kemudian negara mewajibkan kepada sabagian rakyat yang sudah dianggap cukup syarat untuk membayar pajak.

Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah negara diperbolehkan “mewajibkan”—yang dituangkan melalui perundang-undangan—kepada rakyatnya yang sudah dianggap memenuhi persyaratan untuk membayar pajak? Padahal kalau kita mengacu pada pendapat kedua, maka mengandaikan bahwa kebolehan memungut pajak itu harus didasarkan kerelaan rakyat dan tanpa tekanan dari pihak manapun.

Jawabanya adalah negara dapat dibenarkan mewajibkan rakyatnya yang sudah dianggap cukup syarat untuk membayar pajak. Kenapa? Karena kebutuhan negara tidak dapat tercukupi dengan mengandalkan pemasukan nonpajak.

Maka  kebijakan mewajibkan pajak mesti diambil, karena jika tidak maka sudah barang tentu negara tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya.

Jadi apa yang dilakukan negara dengan mewajibkan pajak harus dipahami dan dibaca dalam konteks kondisi darurat, di mana kondisi darurat itu bisa membolehkan sesuatu yang dilarang sebagaimana ditegaskan dalam salah satu kaidah fiqih berikut ini:

الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

Artinya, “Bahwa kondisi darurat itu dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang,” (Lihat Ibnu Nujaim, Al-Asybah wan Nazha`ir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1400 H/1980 M, halaman 85).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka bekerja pada kantor perpajakan dan bea cukai adalah diperbolehkan. Karenanya, gaji yang diterima pegawainya adalah halal. Sebab, pemungutan pajak dalam kondisi yang telah kami kemukakan adalah dibenarkan. Lain halnya apabila kebutuhan negara dapat dipenuhi dengan pendapatan lain nonpajak.

Lantas bagaimana jika kewajiban pajak yang telah ditetapkan negara sudah benar namun diselewengkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, apakah kewajiban membayar pajak masih tetap berlaku?

Antara kewajiban pajak dan penyelewengan adalah dua hal yang berbeda. Menurut hemat kami, kewajiban pajak tidak serta merta gugur dengan adanya penyelewengan pajak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian…” (QS. An-Nisa`[4]: 59).

Uang pajak adalah uang rakyat karenanya harus diperuntukkan bagi kepentingan publik, dan haram untuk diselewengkan. Karena itu negara harus membasmi penyelewangan pajak dan menindak dengan tegas pelakunya.

Dalam konteks ini menarik apa yang dikemukan Al-Ghazali di mana dengan tegas beliau menyatakan bahwa harta publik tidak boleh digunakan kecuali untuk kemaslahatan publik atau masyarakat lemah.

قَالَ الْغَزَالِيُّ مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ اِلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عَاجِزٌ عَنِ الْكَسْبِ

Artinya, “Al-Ghazali berkata, ‘Harta publik tidak boleh ditasharrufkan kecuali kepada kepada pihak yang di dalamnya mengandung kemaslahatan umum atau pihak yang membutuhkan yang lemah,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majemu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz VII, halaman 426).

Karena itu jika terjadi penyelewengan atau penggelapan pajak, negara harus bersungguh-sungguh membasminya dan menindak dengan tegas para pelakunya tanpa pandang bulu atau tebang pilih.

Sedangkan kita sebagai warga negara sudah seharusnya memberikan dukungan penuh terhadap segala upaya pemerintah dalam memberantas segala penyelewengan dan penggelapan pajak. Namun jika negara tidak serius dalam menanganinya, maka kewajiban membayar pajak layak untuk ditinjau ulang.

*Tulisan ini kerjasama dengan NU Online, klik  selengkapnya di sini