Setiap menjelang Hari Raya Natal, hukum seorang muslim menjaga gereja menjadi salah satu topik yang terus diperbincangkan. Bagi sebagian orang, muslim menjaga gereja hukumnya haram. Alasannya, dengan menjaga gereja berarti sama dengan membenarkan ritual yang dilakukan di dalam gereja, serta mengamini akidahnya.
Bagi sebagian lainnya, menjaga gereja hukumnya diperbolehkan. Alasannya, seorang muslim wajib melindungi semua saudaranya, baik muslim maupun Kristen dari bahaya. Setiap kali Natal tiba, teroris dan kelompok intoleran sering melancarkan aksinya dalam mengebom atau membuat huru hara di gereja. Karena itu demi menjaga dan melindunginya, maka gereja harus dijaga. Berkaitan dengan pendapat ini, ada argumen bahwa yang dijaga pada dasarnya bukan gerejanya, tapi negara tempat gereja itu berada, yakni Indonesia.
Hukum orang Islam menjaga gereja yang terus diperdebatkan ini, barangkali banyak yang menganggap bahwa tindakan “menjaga bangunan rumah ibadah milik non muslim” atau “menjaga non muslim yang sedang beribadah” bagian dari fenomena baru yang belum pernah dilakukan umat Islam masa lampau, terutama pada masa Nabi Muhammad dan sahabatnya.
Tulisan ini akan mengetengahkan sedikit informasi dari literatur Islam, bahwa aktivitas menjaga gereja yang dilakukan orang Islam bukan hal baru. Tapi sudah ada sejak umat Islam generasi pertama, yakni Nabi Muhammad dan sahabatnya. Meski tidak sama persis, tapi maksudnya sama: “menjaga rumah ibadah non muslim”.
Dalam hadis diceritakan bahwa dalam kondisi perang, Nabi Muhammad berpesan kepada para sahabatnya untuk tidak membunuh orang-orang yang berada di dalam gereja. Nabi bersabda:
لَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ، وَلَا أَصْحَابَ الصَّوَامِعِ
“Janganlah kalian membunuh anak-anak dan orang-orang yang berada di gereja.” (HR. Ahmad bin Hanbal 2728, Ath-Thabrani 11562, Al-Baihaqi 2834).
Pesan serupa juga disampaikan Abu Bakar ketika mengirim pasukan militernya ke wilayah Syam yang di dalamnya banyak sinagoge, gereja dan rumah ibadah lainnya. Kepada tentara perangnya, Yazid bin Abi Sufyan, ‘Amr bin al-‘Ash, dan Syurahbil ibn Hasanah, Abu Bakar berpesan:
لَا تَقْتُلُوا الْوِلْدَانَ وَلَا النِّسَاءَ وَلَا الشُّيُوْخَ وَسَتَجِدُوْنَ أَقْوَامًا حَبَسُوْا أَنْفُسَهُمْ إِلَى الصَّوَامِعِ فَدَعَوْهُمْ وَمَا حَبَسُوْا لَهُ أَنْفُسَهُمْ
“Janganlah kalian membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua. (Di Syam) kalian akan menjumpai kaum yang menahan dirinya di gereja, tinggalkanlah mereka, biarkan mereka beribadah.” (An-Nawawi, tt: XIX, 296).
Pesan Nabi Muhammad dan Abu Bakar di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjaga orang Nashrani, Yahudi dan pemeluk agama lainnya yang sedang beribadah di tempat ibadahnya masing-masing. “Membiarkan orang beraktivitas” dalam kondisi perang sama dengan “menjaganya”.
Lawan perang Nabi Muhammad dan Abu Bakar adalah orang-orang yang juga seagama dengan orang yang berada di gereja, sinagoge dan rumah ibadah non muslim lainnya, namun Nabi dan Abu Bakar meminta pasukannya supaya tidak membunuhnya. Ini artinya Nabi Saw dan Abu Bakar menjaga dan melindungi non muslim yang sedang beribadah.
Demikian juga sikap Umar bin Khathab ketika berada di dalam gereja al-Quds al-Kubra pasca penaklukan Yerusalem. Umar enggan melakukan shalat di dalamnya. Alasannya bukan karena tidak boleh, tapi Umar khawatir tindakannya disalah pahami umat Islam bahwa Umar merubah gereja menjadi masjid. (Huwaidi, 1999: 66-67).
Jadi apa yang dilakukan Umar bagian dari upaya menjaga dan melindungi bangunan rumah ibadah milik non muslim.