Imam Ghazali yang dikenal di dunia Islam sebagai “hujjatul Islam” itu (dan dialah satu-satunya ulama yang menyandang gelar ini di era klasik) adalah sosok yang menarik sekali. Imam Ghazali digelari demikian, mungkin, karena dialah yang menangkis argumen-argumen para filosof, terutama Ibn Sina (w. 1037) dan Al-Farabi (w. 950). Dalam pandangan Imam Ghazali, argumen kaum filosof yang mencoba mendamaikan wahyu dan filsafat mengandung bahaya tersembunyi – membahayakan integritas akidah Islam ala ahlussunnah wal jamaah.
Karena dianggap berjasa untuk menyelamatkan akidah Sunni dari bahaya pendekatan filsafat, maka dia mendapat “jejuluk” (gelar) hujjatul Islam. Gelar itu artinya: argumennya Islam. Tepatnya: argumen Islam ala Sunni. Sebab Islam ala Syiah tidak memiliki persoalan yang terlalu besar dengan pendekatan filsafat.
Saya tak ingin mengulas jasa-jasa Imam Ghazali di sini. Yang saya mau perlihatkan di esai ini adalah sebuah fakta yang menarik yang saya yakin kurang disadari oleh kalangan Islam sendiri, termasuk kalangan pesantren NU yang menjadikan Imam Ghazali sebagai tokoh-idola. Kita tahu, NU bahkan menjadikan sosok Imam Ghazali sebagai kiblat penting dalam bertasawuf.
Fakta itu ialah sebagai berikut. Meskipun Imam Ghazali dikenal sebagai hujjatul Islam, tetapi karya-karya yang menyebabkan dia mendapatkan gelar ini justru jarang, atau malah sama sekali tak dibaca di lingkungan madrasah-madrasah Islam, baik di Indonesia atau di dunia lain. Karya-karya Imam Ghazali yang paling luas dibaca adalah yang bertaut dengan tema-tema tasawuf. Sebut saja kitab-kitab berikut ini: Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidin, dan (ini yang paling populer dari segala yang populer) Ihya Ulum al-Din.
Karya-karya Imam Ghazali yang berisi polemik terhadap para filosof sama sekali tidak, atau jarang dibaca. Misalnya: Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah. Padahal gara-gara karya-karya inilah dia mendapat gelar hujjatul Islam. Dengan kata lain, sosok ini digelari hujjatul Islam, tetapi gagasan-gagasannya yang berkait dengan gelar ini justru diabaikan.
Bukan hanya itu. Karya-karya Imam Ghazali tentang tasawuf yang memakai pendekatan filsafatpun juga jarang di baca di lingkungan “Islamic seminaries”. Misalnya: Misykat al-Anwar, Kimiya’ al-Sa’adah dan (meskipun para sarjana masih meragukan penisbahan karya ini kepada Al-Ghazali) Ma’arij al-Quds.
Imam Ghazali memang bergerak dan mendayung di antara dua dunia dan “kombak-kambek” (=pulang pergi) antara keduanya. Di satu sisi, dia mendekati tasawuf dengan pendekatan tradisional, dengan pendekatan “tasawuf suluki” (sebut saja “ethical mysticism”). Ini terlihat dalam tiga kitab utama: Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, dan Ihya’ Ulum al-Din. Tekanan di sini adalah pada praktek tasawuf sebagai sarana praktis untuk taqarrub (mendekat) kepada Allah melalui ibadah dan pembersihan hati (tazkiyah).
Di sisi yang lain, Imam Ghazali juga mencoba “menyajikan” tasawuf dengan bahasa yang filosofis dan, mungkin, ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kecenderungan dan kegemaran pada filsafat. Ini terlihat dalam kitab-kitab seperti Misykat al-Anwar dan Kimiya’ al-Sa’adah. Dalam karya-karya yang terakhir ini, tasawuf disuguhkan Imam Ghazali bukan sebagai laku-tariqat, tetapi laku-refleksi. Ini adalah “tasawuf falsafi” (“philosophical mysticism”).
Jika dalam Tahafut al-Falasifah Imam Ghazali menyerang filsafat, dalam Misykat al-Anwar dia justru banyak menggunakan pendekatan filsafat ala Ibn Sina dalam menelaah tema-tema tasawuf. Bagian dari Imam Ghazali yang “filosofis” ini memang kurang populer di kalangan Muslim Sunni. Yang lebih disukai oleh umat Islam, dari dulu hingga sekarang, adalah Imam Ghazali yang “mystical”. Al-Ghazali al-mutasawwif, bukan al-Ghazali al-failasuf.
Bahwa Imam Ghazali bergerak di antara dua dunia –dunia tasawuf dan dunia filsafat—kurang banyak disadari oleh mayoritas umat Islam sekarang.
Tetapi ini semua bisa dimengerti, terutama jika ditelaah dari sudut sosiologis. Agama yang paling menarik bagi “the commoners”, orang-orang yang disebut oleh Imam Ghazali sebagai al-‘awam, adalah agama-hati, agama yang menyentuh emosi. Inilah jenis agama yang kerap disentuh oleh para da’i-selebriti yang sering kita lihat di layar TV. Saya mengatakan hal ini bukan dengan tujuan untuk mencemooh. Secara faktual-sosiologis, di era manapun, agama jenis inilah yang paling dominan. Kita tak boleh menolak fakta ini. Sebab, kata penulis NU Mahbud Junaidi, fakta harus dijunjung melebihi mertua! Hehehe…
Sementara agama-filosofis yang memakai pendekatan filsafat, sangatlah sedikit menarik minat orang-orang ramai. Sebab agama semacam ini tak menyentuh hati dan emosi. Yang disentuh oleh agama-filosofis adalah rasio, otak. Ini adalah agama yang kering-kerontang, tak menerbitkan rasa haru dan daya-gugah. Tak bisa bikin kita menangis sesenggukan.
Yang dibutuhlan oleh publik umum adalah agama yang menggugah. Inilah yang menjelaskan kenapa karya-karya Imam Ghazali yang paling populer adalah Ihya’ Ulum al-Din. Alasannya sengat jelas. Karya seperti ini menyentuh hati, menggerakkan emosi, dan menimbulkan rasa haru yang mendalam.
Tetapi Imam Ghazali sendiri bukan sosok yang sepenuhnya mono-dimensional, satu sisi saja. (Mana ada manusia yang mono-dimensional, kecuali mungkin dalam analisa Herbet Marcuse yang terkenal itu: One Dimensional Man?). Dalam diri Imam Ghazali ada dua tarikan sekaligus: tarikan etis, dan dari sini lahir karya-karya tasawuf suluki; dan tarikan filosofis. Dari tarikan yang terakhir inilah lahir karya seperti Misykat al-Anwar.
Dengan kata lain: sosok Imam Ghazali bukanlah tunggal. Ada dua Imam Ghazali. Imam Ghazali pengarang Ihya’ dengan kecenderungan tasawuf etis yang kuat; dan Imam Ghazali pengarang Misykat dengan kecenderungan filosofis yang lebih menonjol.
Kalau mau, Anda bisa memakai istilah-istilah berikut ini. Ada dua Imam Ghazali – Imam Ghazali yang puitis dan Imam Ghazali yang prosais. Atau Imam Ghazali yang liris, dan Imam Ghazali yang epis. Anda bisa menciptakan istilah-istilah lain untuk menggambarkan sosok Imam Ghazali yang kompleks ini.
Mari kita membaca Fatehah untuk imam besar dari Khurasan ini.***
Jakarta, 24 Juli 2016