Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-VII di Pangkal Pinang Bangka Belitung, 26-27/2/2020 telah rampung. Kegiatan besar tersebut dihadiri oleh sekitar 800 peserta undangan dari seluruh Indonesia yang terdiri dari berbagai kalangan seperti ulama, perwakilan ormas Islam, Kanwil Kementerian Agama, perguruan tinggi, dan lain-lain, saya hadir diundang sebagai narasumber dari PBNU, mewakili Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA. yang berhalangan hadir karena pada hari itu, 27/2/2020, di PBNU beliau menerima tamu kehormatan Sekretaris Jenderal OIC, Prof. Dr. Abdul Karim al-Issa.
KUII ke-VII mengambil tema ‘Strategi Perjuangan Umat Islam untuk Mewujudkan NKRI yang Maju, Adil, dan Beradab,” sebuah tema yang menurut saya sangat bagus, ideal, dan amatlah penting untuk didiskusikan rinciannya dan sangat perlu perjuangan gigih dan konsisten untuk mewujudkannya di alam nyata yang berbanding terbalik darinya.
Oleh sebab itu, saya mempresentasikan makalah berjudul “Mewujudkan Nasionalisme Melalui Sikap Moderat dan Toleran dalam Beragama.” Makalah singkat tersebut sengaja saya sampaikan mengingat semakin menyatanya realitas keberagamaan kita yang kerap diwarnai dan semakin didominasi oleh politik identitas, sehingga intoleransi merebak bagai tumbuhnya jamur dimusim penghujan.
Intoleransi sungguh terjadi bukan saja antara umat seagama, tetapi juga terhadap mereka yang berbeda agama. Demikian halnya, bahkan intoleransi itu telah mendorong segelintir umat Islam–terutama–bersikap radikal, tidak bersikap moderat dalam beragama, apalagi untuk mau dan mampu mewujudkan nasionalisme, memiliki rasa cinta terhadap tanah airnya.
Tanpa sikap moderat dan toleransi atas perbedaan identitas amatlah sulit mewujudkan Persatuan Indonesia, mustahil untuk bermusyawah mufakat, lebih-lebih lagi untuk meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rasanya masih jauh panggang dari api.
Beragama itu berarti mengambil posisi moderat, di tengah, antara sikap berlebihan dan amat kurang. Memang bersikap moderat amat berat dirasakan oleh hawa nafsu yang berkecenderungan condong kepada salah satu dari kedua sisi tersebut, padahal keseluruhan sikap moderat itulah yang sesungguhnya menjadi substansi dari setiap ajaran agama.
Ada yang tak terlupakan dalam sesi tanya jawab dalam KUII ke-VII yang temanya amat bagus itu. Ada peserta yang bertanya kepada saya dengan melontarkan serentetan kalimat dengan berapi-api, diiringi nafsu amarah dan rasa dendam karena ia teringat kasus di mana saya pernah menjadi saksi ahli di Pengadilan Negeri Jakarta yang sudah lama berlalu (2016) yang meringankan Pak BTP (Ahok). Penanya itu menghujat saya sebagai penjilat orang-orang kafir, melanggar ayat al-Qur’an dengan bersikap keras terhadap sesama orang beriman namun bersikap lemah lembut kepada orang-orang kafir, sama sekali tidak layak menjadi narasumber di kongres yang mulia…dan sebagainya.
Saya hanya bisa tersenyum, senyum pahit! Saya melihat langsung betapa sulitnya berhadapan dengan “manusia” semacam itu, orang yang bermasalah dengan pikiran dan jiwanya sendiri. Saya tetap selalu tenang, sama sekali tak ada rasa sedih, apalagi gentar. Barangkali karena saya semakin terbiasa mendengar mereka menghujat siapa saja yang tidak satu ide. Saya juga sudah lama otomatis “kafir” yang darah saya halal ditumpahkan dalam perspektif mereka, sebagaimana telah seringkali diancamkan kepada saya.
Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi saya dari setiap kejahatan makhluk-Nya……