BPJS & Covid-19: Kisah Pilu Guru Honorer yang Melahirkan Saat Pandemi

BPJS & Covid-19: Kisah Pilu Guru Honorer yang Melahirkan Saat Pandemi

Ini kisah nyata seorang guru yang melahirkan saat Covid-19 merebak, ketika pandemi dan segala liku perjuangan yang mungkin tidak pernah kita kira, BPJS membantu?

BPJS & Covid-19: Kisah Pilu Guru Honorer yang Melahirkan Saat Pandemi

Ini cerita tentang seorang guru honorer yang melahirkan saat Covid-19 dan bagaimana perjuangannya melawan sistem yang kurang mendukung untuk persalinan buah hati mereka

Pada usia kandungan ke 28 minggu, dokter sudah memperingatkan bahwa kondisi kandungan istri saya mengalami gejala Plasenta Previa totalis. Yaitu letak Plasenta (ari-ari) menutupi jalan lahir. Totalis artinya benar-benar menutupi. Selain itu memang ada juga yang hanya menutup sebagian (Parsialis) dan ari-ari yang letaknya tepi pintu jalan lahir (Marginalis). Oleh sebab itu kami memutuskan untuk segera mencari rumah sakit yang melayani operasi sesar. Tidak ada jalan lain bagi kondisi seperti ini selain operasi. Tempat kami periksa selama ini adalah klinik yang hanya melayani kelahiran normal.

Saya kira selama masih mampu, dan bukan dalam kondisi khusus (kelainan dan sebagainya) sebaiknya kelahiran normal dilaksanakan tanpa melalui jalur BPJS yang kisahnya selalu penuh penderitaan.

Sebagai pekerja honorer yang membayar premi secara mandiri, Pandemik Covid-19 benar-benar memangkas pendapatan saya yang sebagian besar di ranah pendidikan. Selain itu menjelang akhir tahun 2019 pemerintah mengumumkan pemberlakukan tarif baru kenaikan dua kali lipat BPJS. Kenaikan dua kali lipat tersebut tidak masuk akal bagi pekerjaan saya yang harus membayar BPJS hampir seperempat dari total gaji pokok saya sebagai guru honorer.

Apalagi kedatangan si buah hati yang pertama ke dunia yang pancaroba menambah beban bayar BPJS keluarga kecil kami.

Pada saat pertama kali mendaftarkan BPJS, saya berada dikelas satu dengan dua anggota keluarga 80.000 x 2 sejumlah Rp.160.000,-. Meskipun akhir tahun 2019 saya berniat untuk turun kelas karena isu kenaikan dua kali lipat, namun peraturan menyatakan bahwa saya harus melewati masa satu tahun berada di kelas tersebut sebelum melakukan permintaan pindah kelas.

Konsep dasarnya, saya ingin mendapatkan jaminan kesehatan berbalik menjadi situasi di mana negara telah menjebak kita untuk menagih biaya yang tidak rasional. Apakah layak dengan gaji pokok guru honorer 300.000 – 2.000.000 saya harus membayar (setelah diumumkan kenaikan) 160.000 x 3 atau sejumlah Rp. 480.000 atau ¼ dari total gaji pokok? Inilah titik dimana saya memutuskan untuk menganggap BPJS hanyalah sumbangan duniawi tanpa jaminan surga kepada negara yang mulia dan terhormat ini.

Namun karena saya menganggapnya sukarela, kenyataan bahwa biaya operasi sesar tidak akan bisa diatasi dengan sejumlah uang yang saya miliki, saya kembali memperhitungkan kemungkinan menggunakan BPJS. Setelah kami hitung, pembayaran tagihan BPJS yang belum saya bayar sejak Desember 2019 – Agustus 2020 sekitar 5 juta rupiah. Angka ini jauh lebih kecil dari biaya sesar manapun yang berada di atas sepuluh juta untuk biaya yang dibayar secara mandiri. Artinya dengan mengurus BPJS saya bisa menghemat lima juta dan terbebas dari biaya operasi. Ini hanya perkiraan diawal.

Selanjutnya saya mengikuti prosedur BPJS dengan mengikuti runutan klinik dan RS yang dirujuk. Untuk sampai pada RS yang kita inginkan, kita perlu meminta rujukan RSUD terdekat. Akhirnya kami merubah jadwal check up ke RSUD tersebut dengan segala fasilitas BPJS-nya. Sebagai pengalaman pertama, tentu saya terkejut dengan pelayanan RSUD terhadap pasien BPJS.

Ini pengalaman berbeda dengan kebiasaan membayar secara langsung diklinik biasa kami berobat. Pasien BPJS memang mendapatkan pelayanan USG, namun kami tidak bisa mendapatkan foto hasil USG. Sebab tidak dicover oleh asuransi BPJS. Saat saya hendak memfoto tampilan layar di ruangan periksa kandungan, hal tersebut dilarang oleh perawatnya. Karena pasien BPJS tidak berhak mendapatkan tampilan dua dimensi dari pengecekan dengan USG.

Tentu karena ini pengalaman pertama, bagi saya, betapa menyakitkannya memakai asuransi yang ditawarkan oleh negara dengan kelas paling tinggi sekalipun. Kami akhirnya menyadari, pembayar tertinggi di luar negara selalu mendapatkan pelayanan paling baik. Sebenarnya semua ini sudah saya prediksi, namun saya tidak memiliki pilihan lain. Mungkin juga jutaan rakyat Indonesia pemakai asuransi BPJS mengalami hal serupa.

Pada minggu berikutnya, kondisi istri saya sudah tidak stabil. Sedikit saja kelelahan membuatnya sedikit pendarahan. Pada usia bayi mencapai minggu ke 33, pendarahan hebat terjadi, darah segar keluar dari rahimnya.Saya segera mengantarnya ke IGD RSUD.

Di sana, kami masih harus mengantri dan menunggu dokter yang belum datang. Ia terlambat. Saat itu adalah hari pertama setelah Gubernur Jakarta mengumumkan PSBB kedua. Dokter menyarankan kami tidak kembali ke RSUD karena besok RSUD tersebut akan menjadi rujukan Covid-19 secara menyeluruh. Selama dua kali periksa ke RSUD tersebut memang kami beberapa kali melihat pasien covid-19 yang diantar keluarganya seperti orang sakit biasa. Berada diklaster BPJS membuat saya sadar, Pandemik Covid-19 menjadi virus ganas mematikan bukan hanya karena kecanggihan virusnya, namun manajemen BPJS ikut memperburuk situasi.

Seketika mendapatkan rujukan ke RS swasta dari RSUD tersebut, lega rasanya kami dijauhkan dari tempat berobat yang membuat kita was-was berpapasan dengan pasien Covid-19. Untuk memberikan gambaran proses operasi sesar kemudian hari, kami segera melakukan pengecekan pada RS Swasta yang dirujuk oleh RSUD agar dokter yang menanganinya memiliki riwayat menangani kandungan istri saya.

Saat melakukan periksa, dokter memberikan jadwal operasi sesar pada tanggal 10 Oktober 2020 dan periksa pra-operasi pada tanggal 6 Oktober 2020. Kemudian menuliskan resiko, kehilangan banyak darah, pengangkatan rahim karena boleh jadi plasenta dan rahim menempel begitu rapat sehingga ketika diangkat merusak rahim, kemungkinan bayi masuk NICU karena dilahirkan bukan waktunya dan sebagainya.

Baca juga: Gus Mus berkata, sekarang waktunya dokter berdakwah untuk ulama

Saat itu kami segera menghubungi bagian rawat inap dan pembiayaan. Untuk awalan, kami harus mempersiapkan dana test Swab Covid-19 sebesar 1.200.000 x 2 sebesar Rp.2.400.000,-. Yaitu pasien dan satu penunggunya. Kemudian saat menghubungi pihak rawat inap, pasien BPJS tertinggi sekalipun tidak akan mendapatkan kamar, jadi harus bergabung satu ruangan dengan dua pasien lainnya. Namun, dengan alasan kamar tidak tersedia (semua orang sadar ini bagian mengada-ngada), maka pasien BPJS kelas 1 harus bergabung menjadi satu ruangan untuk lima pasien. Agar mendapatkan kamar sendiri, kami harus membayar sekitar 7-9 juta. Itu belum dihitung dengan obat penghilang rasa sakit pasca operasi sesar, visit dokter dan lain sebagainya.

Ketika kami hendak pergi, kami diingatkan mengenai bayi operasi sesar harus siap untuk kemungkinan masuk ruang NICU yang biayanya bisa mencapai 10-20 juta perhari. Pelayan rawat inap tidak lupa menyampaikan pesan pamungkasnya ‘“Kalau sudah masuk NICU, jarang yang satu atau sampai tiga hari..” Kata-kata tersebut seolah-olah mengancam siapapun yang tidak memiliki uang agar tidak berharap mendapatkan pelayanan di RS tersebut.

Keterangan semacam ini malah membuat saya makin bertekad untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Namun artinya sebagai pasien BPJS, kami harus tetap menyediakan dana sekitar 30-60 juta. Namun gambaran yang kelewat mahal tersebut dihasilkan dari rasa takut RS apabila kami, sebagai pasien BPJS tidak menyanggupi pembayaran semacam itu.

Seminggu setelahnya, pada pukul 22 malam istri saya kembali pendarahan. Kami segera berangkat pada RS swasta  tersebut. Proses penanganan pasien sangat rapi. Pasien yang sudah terindikasi covid-19 berada di tower berbeda. Pasien yang belum memiliki indikasi Covid-19 tetap harus di isolasi di ruang IGD untuk dilakukan tes Swab terlebih dahulu. Ruang IGD dibuat seperti kamar-kamar bukan ruangan besar. Hal ini menyakinkan saya bahwa RS tersebut benar-benar hati-hati dalam kemungkinan pasien Covid-19.

Saat saya mengurus administrasi, istri saya diurus oleh bidan dan dokter jaga malam. Saat saya menghampiri ruang periksa, istri saya sedang dilakukan pengambilan test Swab. Kami kemudian berdiskusi apakah swab seperti ini dicover BPJS? Namun demi keselamatan semua orang Test Swab memang niscaya dilakukan. Hanya saja prosedur ini sedikit janggal.

Pada saat di bagian kasir saya melihat dua pria dengan wajah ketus memprotes hasil tes swabnya yang negatif. Saya pikir orang ini tidak cukup bersyukur. Ternyata hasil negatif tersebut bukan miliknya. Kemungkinan didalam amplop hasil tes tersebut milik orang lain atau tertukar. Artinya pihak RS melakukan maladministrasi terhadap hasil test Covid-19. Padahal dalam pendataan test, setiap orang menyerahkan copy KTP sebagai bukti identitas. Artinya apabila hasil tes tertukar seperti itu, ada banyak kemungkinan lain yang lebih buruk. Namun hal ini membuka mata kita bahwa soal administrasi RS bisa menentukan nyawa seseorang. Protes terhadap hasil negatif di malam yang krusial ini telah menjadi penghibur lara.

Setelah sample istri saya berhasil diambil, saya kemudian disodorkan form persetujuan Swab dan beberapa pertanyaan mengenai gejala Covid-19. Awalnya saya menyetujuinya saja karena malam itu sangar darurat dan saya tidak ingin dokter dan saya sendiri mengalami resiko covid-19 karena tidak ada informasi hasil tes kami. Dokter tersebut menyatakan bahwa biaya Swab cepat dengan keluar hasil enam jam seharga 3.500.000,- namun apabila pasien memiliki rencana rawat inap maka bisa diskon menjadi Rp. 1.200.000. Hal ini mengingatkan saya baliho depan rumah sakit yang menyebutkan harga tertinggi test covid-19 dengan kecepatan enam jam 3.500.000 hingga yang paling lambat, sekitar tiga hari, 1.200.000.

Jadi, harga Swab bisa dihemat sekitar 2.300.000 apabila kami berencana untuk rawat inap. Tentu saya senang karena begitulah rencana kami. Entah mengapa saat saya menyanggupi biaya, dokter tersebut mengingatkan, dengan nada ketus, bahwa di RS swasta tersebut tidak menerima kelahiran sesar dengan BPJS.

Sontak hal ini membuat saya semakin terkejut. Padahal, pada minggu sebelumnya saya sudah tanyakan itu pada dokter dan pihak rumah sakit mengenai kemungkinan sesar di RS tersebut dengan BPJS. Namun ketika di malam yang sangat darurat istri saya membutuhkan penanganan, dan oleh sebab itu saya menyanggupi test Swab dengan hasil enam jam, dokter tersebut meragukan saya istri saya bisa ditangani di rumah sakit itu karena status–BPJS.

Form persetujuan Swab saya ambil kembali untuk mendiskusikannya dengan istri yang sudah lemah. Keadaan seperti ini sangat merugikan dari berbagai sisi. Pertama, pihak rumah sakit sudah berkomplot untuk memvonis kami; tidak sanggup membayar biaya rumah sakit. Kedua, mereka fokus pada bagian keberhasilan menyakinkan kami untuk Swab test disana namun tidak mau menjamin akan merawat istri saya yang sedang pendarahan.

Kesimpulan saya; seandainya kami menyetujui test Swab belum tentu mereka mau menangani dan merawat-inap istri saya. Dorongan pada kesadaran semacam itu membuat saya semakin yakin, BPJS adalah virus bagi keuntungan rumah sakit dan dokter. Setelah melihat kondisi membaik istri saya selama di IGD, saya menyakinkannya untuk pergi dari rumah sakit tersebut karena mereka bahkan tidak memiliki itikad dalam mengobati dan merawat pasien.

Sebab kegiatan utama yang mereka lakukan adalah negosiasi harga melalui bahasa-bahasa perawatan medis. Karena dokter tersebut banyak menyebut kata kunci yang, berharap saya bisa menangkapnya, saya menyambut usulan mereka agar dirujuk ke RSUD Fatmawati. Saya kemudian meminta rujukan ke RSUD Fatmawati malam itu juga dan mereka segera membuatkannya secepat membalikan masker.

Namun sebelum pergi, kami (dengan dokter) berdiskusi bahwa saya sudah mempersiapkan kemungkinan biaya diluar BPJS sebagaimana telah kami hitung sejak minggu sebelumnya. Dokter yang tidak berhasil membuat estimasi batas kemampuan finansial saya segera menyesal dengan cara membujuk saya agar minimal melakukan test Swab di RS tersebut sebelum pergi.

Kemudian, saya menolaknya dengan alasan bahwa saya hanya ingin Swab apabila ada kepastian akan dirawat di RS tersebut. Saya hanya ingin swab ditempat dimana istri saya dirawat. Sedikit beretorika; saya berargumen bahwa ‘kita tidak tahu, mungkin saja dijalan kami tertular.’ Bukankah dengan demikian hasil test swab tersebut tidak berguna? Dokter tersebut, bukannya memberikan keputusan bahwa istri saya bisa dirawat disana, mulai kehilangan kontrol. Ia berbicara dengan nada tinggi mempertanyakan mengapa saya tidak mau test Swab di RS tersebut. Ia mengatakan Swab ini universal bisa dipakai dimanapun selama dua minggu ke depan.

Logika semacam ini menunjukan seolah-olah saya hanya membutuhkan data administrasi dari test Swab. Dokter tersebut membuka kedok praktiknya selama ini bahwa selama itu ia terlalu lama menganggap bahwa Test Swab adalah persoalan hukum dan otoritas. Penekanan kehebatan Swab tersebut berlaku selama dua minggu menunjukan ketidakseimbangan persepsi dokter terhadap bagaimana resiko virus ini tertular. Seolah-olah virus itu bisa mengantri menunggu perintah negara.

Rasa kesal dan lelah tetap membuat saya melaju ke RSUD Fatmawati karena kekhawatiran pendarahan yang belum usai. Sesampainya di RSUD Fatmawati, dan saya memang tidak memiliki informasi apapun mengenai RSUD ini, keadaan lebih buruk. Di IGD terdapat pasien kecelakaan, dokter dan perawat yang memakai APD secara kurang sempurna, wajah yang lesu dan tentu saja; ruang kebidanan darurat yang menyempit seperti pasar sayur yang tiap pembelinya bisa saling menekan apabila berpapasan.

Saat kami baru datang dengan kursi roda, Dokter dan bidan jaga IGD Pasien hamil langsung menunjukan keadaan dimana terdapat pasien melahirkan kembar dua dengan usia kehamilan baru tujuh bulan saja–hanya dilayani dengan kasur bertirai yang sepertinya udara bisa keluar-masuk sesukanya. Seolah-olah perokok di seberang jalan asapnya bisa masuk ke ruangan tersebut.

Bersama istri, kami menyimpulkani RSUD Fatmawati lebih buruk dan kami merencanakan mengalah untuk kembali ke RS swasta yang sangat menghina harkat dan martabat; demi keselamatan saya memilih membuang harkat. Untung saja usul saya untuk kembali ke rumah terlebih dahulu disetujui istri saya yang karena lemahnya, pasrahkan keputusan pada saya yang baru saja kehilangan martabatnya.

Sesampainya di rumah keadaan memang tidak membaik. Istri saya pulang dengan penanganan seadanya. Hanya beberapa jam kemudian, pukul 10 pagi istri saya mengeluhkan pendarahan baru. Jika bergerak sedikit saja ia akan mengeluarkan darah yang bercucur.

Untung saja pagi itu kami mendapatkan kabar bahwa seorang dokter, kawan kakak dari istri saya, meminta kami untuk segera dirawat di RS tempatnya praktik, di Jagakarsa Jakarta Selatan.

Sesampainya di sana kami masih khawatir karena sepertinya protokol kesehatan di RS tersebut kurang diperhatikan. Ruang IGD masih menumpuk dan tidak dipilah antara yang terindikasi maupun tidak. Istri saya sebagai pasien hanya Rapid test bahkan saya sebagai pendamping selama melahirkan tidak perlu rapid test. Namun dari apa yang sudah terjadi; kami sudah dan harus pasrah dengan segala keadaan ini.

Meskipun dengan fasilitas minim, secara sosial protokol kesehatan masih lumayan diterapkan. Siang itu kami masuk ke lantai khusus penanganan kehamilan dan kelahiran. Disana kami menunggu pemeriksaan awal, CTG dan test-test lainnya. Kami memang sudah siap dengan operasi sesar. Dokter menginformasikan bahwa Operasi akan dilaksanakan pada jam sembilan malam. Selama itu saya mengurus administrasi.

RS tersebut tidak terlalu mewah dan sepertinya hampir melayani semua pasien BPJS. Tentu saja untuk mempercepat proses administrasi saya perlu membayar beberapa tagihan; Denda keterlambatan dan pendaftaran BPJS bayi yang baru lahir. Sempat kesulitan membayar karena, menurut pihak RS, sudah menjadi tradisi BPJS selalu mengalami masalah IT ketika perpindahan bulan. Hal ini mengindikasikan pelayanan BPJS tidak maksimal di bidang transaksi data digital.

Menjelang jam operasi, dokter terlebih dahulu memeriksa keadaan dan kehamilan istri saya. Selama itu dari siang hingga malam saya berkali-kali mengganti pembalut / popok istri saya karena pendarahan masih terus berlangsung. Dokter di RS tersebut menyatakan dirinya akan melakukan operasi sesar untuk delapan calon ibu pada malam tersebut. Akhirnya pada antrian terakhir pukul 12.37 Istri saya masuk ruang operasi. Lega rasanya mengetahui betapa mudahnya proses ini apabila; RS dan dokter tidak bernegosiasi harga. Pukul tiga pagi istri saya keluar ruang operasi. Dan kami menuju kamar yang sudah disediakan.

Mengetahui bahwa biaya operasi sesar hampir mendekati angka nol, kami memaksimalkan dana yang kami miliki untuk peningkatan ruang rawat inap sehingga saya bisa mendapatkan kamar ‘sendiri.’ Hal ini memang menjadi prioritas mengingat interaksi dengan siapapun memperbesar resiko kami tertular Covid-19. Satu jam kemudian bayi diantarkan ke kamar dengan selamat. Saya segera mengumandangkan adzan pada telinganya yang berpapasan dengan Adzan Shalat subuh.

Rasanya, dokter yang tidak pernah membahas kemampuan finansial dan RS yang tidak melakukan perbedaan pelayanan secara terbuka dan ekspansif pada pasien hanya karena kita adalah pasien BPJS menjadi hadiah terbesar dalam hidup keluarga kami, mengakhiri adegan busuk mereka yang bekerja dibidang kesehatan dan masih berkutat pada negosiasi harga medis daripada semangat menolong sesama.

Jakarta Selatan, 7 Oktober 2020