Satu ketika seorang Kiai diminta untuk menshalatkan jenazah temannya. Bukan main, jenazah yang bersangkutan adalah seorang non-muslim. Bagi sebagian orang, situasi ini tentu saja dilematis: mau menshalatkan tapi jenazahnya kok non-muslim, namun kalau tidak takziyah tentu saja sungkan karena yang meninggal adalah sahabatnya.
Ringkasnya, bersama sejumlah santri, Pak Kiai bergegas ke rumah duka. Uniknya, Pak Kiai tetap melakukan shalat di sana.
Salah seorang keluarga duka lalu terheran dan bertanya, “maaf Pak Kiai, kenapa shalatnya tidak sebagaimana lazimnya? Bukankah shalat jenazah itu tidak pakai ruku dan sujud, serta jenazahnya tidak berada di belakang?”
“Yang ditaruh di depan itu yang sudah tahu jalan, lha kalau jenazah ini belum hapal jalan, maka ditaruh di belakang,” tukas Pak Kiai.
Si penanya pun mangut-mangut. Belakangan diketahui bahwa yang sedang dilakukan Pak Kiai bersama santrinya adalah shalat zuhur dan bukan shalat jenazah. Lha gimana, mau Anda bolak-balik bejibun kitab sekalipun, tidak ada yang mendawaikan kebolehan menshalatkan jenazah non-muslim. Tapi, kalau Anda mencari dalil kebolehan melaksanakan sembahyang di kediaman seorang non-muslim, maka itu dengan mudah akan anda dapati. Bukankah persada bumi ini adalah masjid?
Ada yang bilang bahwa Pak Kiai itu adalah Kiai Bisri Musthofa, sebagian bilang bahwa itu adalah Kiai Musthofa Bisri (Gus Mus). Apapun itu, yang jelas siluet di atas merupakan kearifan dan kebijaksanaan ulama-ulama kita dalam menyikapi kompleksnya realitas sosial. Karena kompleks, maka penyikapannya pun tidak bisa dengan konfrontasi hitam-putih atau benar-salah.
Generasi lebih awal lagi, dari serambi Mekah, adalah Abdurrauf as-Singkili atau akrab disapa Syiah Kuala yang meneladankan betapa ulama itu mestinya penuh welas-asih dan tidak mudah menghakimi sesuatu yang berpotensi menimbulkan ketegangan sosial.
Kabarnya, Syiah Kuala sempat berkelana ke berbagai wilayah Kesultanan Aceh sebelum benar-benar mukim di Pantai Kuala Krueng, Aceh. Awalnya, kawasan itu masyhur sebagai pusat perdagangan dan tempat menetap bangsa asing dari berbagai belahan bumi. Dan, seperti dicatat Muhammad Yunus Jamil dalam Gerak Kebangkitan Aceh, di sana terdapat Gampong Biduen, sebuah komplek pelacuran.
Menariknya, Syiah Kuala tidak serta merta meratakan bisnis rumah bordil itu dengan guyuran hidayah-hidayah atau petuah-petuah setamsil walaa taqrobuzina. Sebaliknya, penulis kitab tafsir pertama di Nusantara berjudul Tarjuman al-Mustafid ini mengenalkan diri sebagai seorang tabib.
“Menarik simpati banyak orang, Syiah Kuala berperan sebagai tabib yang bisa menyembuhkan penyakit,” kata Sejarawan Aceh Muhammad Adli Abdullah seperti dikutip Majalah Tempo (ed. 23 Mei 2020).
Cara-cara kreatif itu ternyata ampuh. Perlahan tapi pasti, Syiah Kuala mampu mengubah kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh menjadi lebih beradab. Perilaku dan tatanan masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam pun berangsur-angsur hengkang.
Begitulah, kalau setiap dakwah didasarkan pada semangat membersamai dan bukan menegasi apalagi membenci, maka hasilnya akan punya nafas panjang.
Nahas, wajah keteduhan para pendakwah Islam itu tampaknya semakin ke mari semakin luntur. Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan galaknya wajah keislaman kita belakangan ini.
Beririsan dengan itu, Ariel Heryanto, misalnya, pernah menulis bahwa kebangkitan Islam di luar bidang keagamaan di Indonesia dalam tiga dekade terakhir menanjak secara dramatis. Ini bermula sejak Soeharto berusaha menyelamatkan kekuasaan dengan merangkul berbagai kelompok dan tokoh Islam, setelah sebelumnya menindas mereka habis-habisan.
Faktanya, “Orde Baru tidak terselamatkan. Suharto pun jatuh. Tetapi keran islamisasi yang dibuka Suharto menjadi gelombang besar yang tidak tertandingi. Islamnya satu, tapi komunitas muslim tidak tunggal dan tidak seragam,” tulis Ariel.
Nah, di tengah kemeriahan islamisasi kehidupan bangsa itu, berbagai ragam kelompok dan kegiatan Islami bersaing keras. Masing-masing Ormas maupun komunitas bersaing laksana kompetitor. Dan, di titik realitas itu, tafsir tentang bagaimana mengejawantahkan Islam pun menjadi seksi.
Rupanya, analisis konten dalam kegiatan bermedia-sosial yang mengatakan bahwa terdapat sedikitnya tiga hal yang menyebabkan sesuatu berpotensi diminati banyak orang sehingga menjadi viral, juga berlaku dalam konteks dakwah. Saya lupa hierarkinya, tapi tiga hal itu terangkum dalam perkara: horor, seks dan human interest.
Horor dimengerti sebagai narasi dakwah yang konsentrasinya adalah tentang bagaimana seorang dai menjejalkan pedihnya siksa neraka kepada umat. Hanya saja, terkadang kasusnya kelewat bebal: mereka yang memilih pemimpin non-muslim dalam Pemilu yang sangat duniawi itu, umpamanya, diancam akan auto masuk neraka tanpa seleksi administrasi, TPA, FGD, dan interview.
Topik-topik tentang kengerian hari kiamat juga masuk dalam kategori ini. Itulah mengapa para pendakwah yang jualan teori konspirasi dengan menghubungkan simbol-simbol iluminati atau tanduk setan lebih berpotensi ditonton banyak orang, ketimbang mereka yang mendakwahkan pentingnya birrul walidain, atau membayar hutang tepat waktu sebelum ditagih lewat media sosial.
Selanjutnya adalah perkara seks. Ini dipahami sebagai narasi dakwah yang memusatkan kontennya dengan topik-topik seperti poligami d/a nikah muda. Lihat saja, misal, betapa gambrengnya seminar poligami atau ajakan untuk nikah muda dengan modus utama sebagai alternatif persetubuhan yang syar’i.
Terakhir, human interest. Pendakwah atau ustadz cluster mualaf dan “hijrah” termasuk dalam bagian ini. Narasi soal bagaimana seorang ustadz mualaf mendapat hidayah dan bagaimana seorang musisi atau seleb yang hijrah jadi pendakwah berpeluang menarik disimak, sebab hal-hal yang dramatis dalam kehidupan biasanya memang laku dijual.
Sayang sekali, para pendakwah hijrah atau ustadz mualaf pastilah akan gagap ketika dihadapkan dengan situasi yang serupa dengan Syiah Kuala atau Pak Kiai yang takziah ke sahabat non-muslimnya. Mengapa?
Sederhana saja, mereka lebih peduli kepada engagement dan branding personal, daripada memikirkan nasib umat Muslim dalam jangka panjang.
*artikel ini hasil kerjasama islami.co dan RumahKitaB*