Hoaks Provokatif dalam Perang Badar

Hoaks Provokatif dalam Perang Badar

Ada beberapa hoaks dalam perang badar dan dibuat cocokologi

Hoaks Provokatif dalam Perang Badar

Jika mau serius melakukan politisasi Perang Badar, demo “Kedaulatan Rakyat” 22 Mei besok itu sebenarnya peristiwa yang paling pas untuk dijadikan momen politisasi Perang Badar … menurut ilmu cocokologi.

Alasannya: 22 Mei itu sama dengan 17 Ramadan. Dan 17 Ramadan itu hari terjadinya Perang Badar pada

Tepat Ramadan ini, empat belas abad lalu, pecah perang pertama kaum muslim yang telah hijrah ke Madinah melawan kaum musyrik Makkah: Perang Badar.

?Beberapa Peristiwa Pengantar sebelum Perang Badar

Beberapa waktu setelah tinggal di Madinah, Nabi menerima wahyu yang mengizinkan kaum muslim angkat senjata.

Sejak saat itu, Nabi selalu mewaspadai setiap kafilah Makkah yang melewati wilayah sekitar Madinah dengan tujuan Syria. Jika mendengar kabar ada kafilah Makkah dalam perjalanan, Nabi akan mengutus pasukan—disebut sariyyah atau pasukan utusan tanpa keikutsertaan Nabi—untuk memantau dan menyergap mereka. Nabi khawatir mereka adalah pasukan yang bisa saja menyerang kaum muslim dan dapat berakibat buruk bagi Madinah.

Tujuan lain dari pengintaian dan penyergapan kafilah itu adalah—sebagaimana tulis Karen Armstrong—karena motif ekonomi: untuk mendapatkan penghasilan dengan merampas unta, barang dagangan, dan tahanan yang bisa digunakan untuk mendapatkan tebusan. Karena motifnya adalah ekonomi, kaum muslim tidak memiliki niat dan tujuan untuk menumpahkan darah para kafilah.

Armstrong melanjutkan, tidak ada yang terkejut dengan perkembangan kaum muslim itu. Penyergapan kafilah adalah cara yang normal untuk mendapatkan penghasilan pada saat-saat sulit, meskipun beberapa orang Arab terkejut oleh keberanian kaum muslim dalam menghadapi kafilah orang-orang Quraisy yang perkasa, terutama karena kaum muslim jelas bukan pejuang yang berpengalaman.

Terkadang, dalam misi penyergapan kafilah itu terjadi ketegangan, bentrokan, terkadang ada yang terbunuh. Dan, lebih sering berakhir gagal.

Nah, Perang Badar yang terjadi di wilayah Badar (144,5 km barat daya Madinah) pada Jumat 17 Ramadan, bulan ke-19 sejak Nabi hijrah dan tinggal di Madinah (624 M.), adalah puncak dari ketegangan-ketegangan dan gesekan-gesekan itu. Dalam 19 bulan itu—dimulai sejak bulan ke-7 Nabi hijrah—terjadi sekitar sembilan ketegangan, gesekan, dan bentrokan di antara mereka (sebagian besar dengan kafilah Makkah), termasuk peristiwa Perang Badar. Yaitu,

1) Bulan ke-7 Nabi hijrah
Sariyyah pertama dalam Islam yang diutus Nabi adalah pimpinan Hamzah ibn Abdil Muthallib yang berjumlah tiga puluh orang. Mereka bertemu dengan kafilah pimpinan Abu Jahal yang berjumlah tiga ratus orang. Masing-masing dalam posisi siaga. Siap bentrok. Namun, berhasil dilerai oleh seorang bernama Majdi ibn Amr. Perang pun dapat dihindarkan.

2) Bulan ke-8
Gesekan dan ketegangan berikutnya terjadi bulan Syawal. Sariyyah berjumlah ratusan orang pimpinan Ubaidah ibn al-Harits ibn Abdul Muthallib melakukan patroli. Mereka bertemu dengan pasukan Quraisy berjumlah dua ratus orang—di antara mereka adalah Abu Sufyan ibn Harb. Kedua pihak saling melepaskan anak panah, tapi tak menghunus pedang. Tak menginginkan terjadi pertumpahan darah, masing-masing menahan dan menarik diri.

3) Bulan ke-9
Pada bulan Dzul Qa’dah, Nabi mengutus Sa’d ibn Abi Waqash beserta dua puluh prajurit untuk menyergap kafilah Quraisy di wilayah utara Madinah. Karena sariyyah ini hanya bergerak pada malam hari—pada siang hari mereka bersembunyi—mereka terlambat di lokasi. Tidak terjadi kontak antara sariyyah dan kafilah.

4) Bulan ke-11 (atau ke-12)
Setelah sebelumnya hanya mengutus sariyyah, kali ini, untuk pertama kalinya, Nabi ikut dalam misi—disebut ghazwah: Nabi ikut dalam misi/peperangan—yang dilakukan pada bulan Shafar. Diperkuat tujuh puluh prajurit, Nabi bermaksud menyergap kaum Quraisy. Nabi dan pasukan bergerak hingga selatan Madinah, tapi tak bertemu siapa pun.

5) Bulan ke-13
Nabi memimpin pasukan berjumlah dua ratus prajurit dalam misi Buwath (Perang Buwath) pada bulan Rabi’ul Awal untuk menghalau kafilah Quraisy yang berjumlah seratus orang dan membawa 2500 unta. Tapi kedua kubu itu tidak bertemu dan tak terjadi kontak.

6) Bulan ke-13
Pada Rabi’ul Awal ini pula Nabi melakukan pengejaran terhadap musuh bernama Kurz ibn Jabir hingga ke wilayah Badar. Tapi, Kurz berhasil melarikan diri.

7) Bulan ke-16
Pada bulan Jumadal Akhirah, Nabi menuju Dzul Usyairah, sebelah barat daya Madinah. Nabi membawa pasukan berjumlah 250 tentara untuk menyergap kafilah Quraisy yang dalam perjalanan menuju Syiria, tapi kafilah berhasil lolos.

8) Bulan ke-17
Pada bulan Rajab, Nabi mengutus Abdullah ibn Jahsy al-Asadi bersama delapan orang untuk bergerak hingga mencapai wilayah antara Makkah dan Thaif guna mengawasi orang-orang Quraisy. Itulah wilayah terjauh yang jadi tujuan sariyyah yang pernah diutus Nabi.

Sebuah kafilah Quraisy yang tengah membawa dagangan melintas. Mereka menyadari kehadiran Abdullah ibn Jahsy dan timnya. “Jangan takut! Mereka hanya jamaah umrah,” kata salah seorang dari kafilah.

Sementara itu, Abdullah ibn Jahsy dan pasukan mulai mengepung mereka. Hari itu terakhir bulan Rajab, salah satu bulan suci saat peperangan diharamkan (empat bulan haram: Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab). Jika Abdullah ibn Jahsy menunggu sampai malam (yang berarti masuk Sya’ban, bulan saat peperangan tak lagi terlarang), dia khawatir kafilah akan keburu memasuki kawasan Tanah Suci Makkah. Lolos. Akhirnya, Abdullah ibn Jahsy nekat. Mereka menyerang kafilah. Amr ibn al-Hadrami, pemimpin kafilah, dibunuh. Kafilah digiring, dua orang ditawan, sisanya berhasil kabur.

Nabi sangat marah mengetahui peristiwa itu.

“Aku tidak memerintahkan kalian berperang pada bulan suci!”

Peristiwa penyergapan kafilah itu menyebabkan orang-orang Makkah terguncang dan berang.

“Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan pertumpahan darah pada bulan suci! Mereka menjarah harta dan menahan orang-orang.”

Sejak peristiwa itu, suasana semakin memanas. Kemarahan kaum musyrik Makkah bergejolak. Tekad mereka untuk membalas kaum muslim semakin kuat.

?Hoaks Provokatif Pemicu Perang Badar

Sampailah pada peristiwa yang membuat orang-orang Makkah tidak lagi bisa menahan diri dan ini menjadi penyebab Perang Badar: Nabi menerima informasi bahwa kafilah Quraisy—yang dulu lolos dari adangan kaum muslim di Dzul Usyairah dua bulan sebelumnya (bulan ke-16) saat kafilah menuju Syria—tengah pulang kembali ke Makkah melalui jalur yang sama. Nabi lalu menganjurkan agar kafilah pimpinan Abu Sufyan ibn Harb itu diadang. “Mereka kafilah yang membawa harta-benda. Siapa tahu Allah memberi kalian ganimah (rampasan perang),” kata Nabi.

Sementara itu, khawatir bakal kembali diadang kaum muslim sebagaimana saat berangkat, Abu Sufyan mengutus seorang bernama Dhamdham ibn Amr al-Ghifari untuk meminta bantuan ke Makkah agar orang-orang Quraisy menjemput harta benda kafilah. Abu Sufyan juga menyuruh Dhamdham mengabarkan bahwa Muhammad mengadang kafilah. Sebagai muslihat, Abu Sufyan meminta Dhamdham melukai untanya (bagian hidungnya) dan merobek bagian depan dan belakang bajunya, lalu begitu sampai di Makkah agar berteriak minta tolong. Semua itu untuk meyakinkan dan memprovokasi Quraisy Makkah bahwa benar-benar telah terjadi penyergapan dan penyerangan terhadap kafilah.

Mendapatkan kabar mengejutkan itu, kaum Quraisy Makkah segera mempersiapkan diri dan bergerak ke wilayah Badar dengan membawa pasukan. Itulah pasukan Quraisy yang kemudian berperang di Perang Badar.

?Perang Badar dan Dampaknya

Kaum musyrik Makkah mengerahkan kekuatan besar: sekitar sembilan ratus hingga seribu pasukan. Terdiri atas 750 tentara berpakaian perisai dan selebihnya adalah para tim pendukung seperti kaum perempuan: untuk menyemangati tentara, kaum perempuan ini membunyikan tabuh-tabuhan dan bernyanyi dengan lagu ejekan terhadap kaum muslim. Mereka juga membawa seratus kuda dan tujuh ratus unta. Makkah benar-benar mengerahkan kekuatannya.

Sedangkan pasukan muslim berjumlah 313 orang, mayoritas kaum Anshar, dengan perincian: kaum Anshar berjumlah 227 orang, kaum Muhajirin berjumlah 86 (pendapat lain: kaum Anshar: 240, kaum Muhajirin: 73).

Melihat pasukan musuh sebesar itu dan sementara pasukan muslim hanya sekitar sepertiga kekuatan musuh, Nabi menangis, lalu menghadap kiblat dan berdoa,

اللهم أنجز لي ما وعدتني، اللهم إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض

“Ya Allah, penuhilah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok orang-orang Islam ini binasa, Engkau takkan lagi disembah di bumi.”

Lama sekali Nabi berdoa sambil bersujud itu, sampai serban beliau jatuh. Abu Bakar mengambilnya dan menempatkannya kembali di bahu beliau. Abu Bakar kembali mundur sampai kemudian dia mengatakan, “Cukup, Nabi. Allah akan memenuhi apa yang Dia janjikan kepadamu.”

Singkat cerita, peperangan pun pecah. Kaum muslim berhasil memenangkannya. Tujuh puluh orang musyrik terbunuh, tujuh puluh orang menjadi tawanan. Selebihnya melarikan diri. Dari pasukan muslim, empat belas orang menjadi syahid: enam orang dari kaum Muhajirin, delapan orang dari kaum Anshar.

Kemenangan kaum muslim menjadi titik balik: status dan supremasi orang-orang Quraisy benar-benar runtuh. Kabar kekalahan mereka menyebar dengan cepat di jazirah Arab. Ini bencana bagi Makkah. Tewasnya tokoh terkemuka (termasuk Abu Jahal, pemimpin pasukan) adalah persoalan serius, tetapi barangkali aspek yang paling serius adalah mereka kehilangan prestise.

Sebaliknya, Perang Badar telah menjadi landasan kekuatan kepemimpinan Nabi Muhammad dan menempatkan kaum muslim dalam posisi yang diperhitungkan.

?Dari Mana Diketahui Pasukan Quraisy Berjumlah Seribu?

Jumlah itu diketahui setelah para sahabat memergoki dua orang: yang satu berhasil kabur, yang satu lagi tertangkap. Para sahabat kemudian menginterogasi orang yang tertangkap ini. Mereka memaksanya untuk memberi tahu jumlah pasukan Quraisy.

“Pokoknya banyak,” kata orang yang tertangkap ini. “Mereka prajurit-prajurit tangguh.”

Beberapa kali didesak, dia hanya menjawab begitu. Bahkan ketika dia dihajar agar mau membocorkan, dia tetap bungkam.

Para sahabat menyerah. Lalu, dia diserahkan kepada Nabi.

“Berapa?” tanya Nabi.

“Pokoknya banyak dan mereka pasukan tangguh.” Dia tetap menolak memberi tahu. Nabi bersikeras agar dia mau membocorkan jumlah pasukan Quraisy. Beliau putar otak. Pertanyaan diganti.

“Berapa unta yang mereka sembelih untuk konsumsi dalam sehari?” tanya Nabi.

“Sepuluh,” jawab si orang tertangkap.

Dalam analisis Nabi, jika dimasak, satu unta cukup untuk seratus orang. Jika satu unta sama dengan seratus orang maka jika sepuluh unta sama dengan seribu orang. Berarti jumlah pasukan Quraisy sekitar seribu orang.

?Doa Nabi dalam Perang Badar dan Masalahnya

Doa Nabi dalam Perang Badar di atas dapat dipahami sebagai ungkapan kekhawatiran yang sangat manusiawi dari seorang Nabi sekaligus pemimpin pasukan: melihat besarnya pasukan musuh dan kecilnya pasukan muslim.

اللهم أنجز لي ما وعدتني، اللهم إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض

“Ya Allah, penuhilah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok orang-orang Islam ini binasa, Engkau takkan lagi disembah di bumi.”

Namun, redaksi doa yang diriwayatkan Umar ibn Khathab (dalam Shahih Muslim) tersebut tampak janggal. Ibnu al-Jauzi memberikan catatan terkait ini.

Dalam kitab Kasyf al-Musykil min Hadits al-Shahihain, Ibnu al-Jauzi menyatakan bahwa tak layak kita menduga Nabi bermaksud seperti dalam riwayat di atas. Tak tepat menduga bahwa jika pasukan muslim yang berjumlah 300 ratusan prajurit itu kalah dapat menyebabkan tidak akan ada lagi orang yang menyembah Allah.

Sebab, orang Islam yang ikut Perang Badar hanya sekitar 300 dari seluruh umat muslim. Di Madinah masih banyak orang Islam yang tidak ikut berperang. Belum lagi umat Islam yang masih tinggal di Makkah. Perang Badar terjadi setelah lima belas tahun kenabian, setelah sosok Muhammad diutus menjadi Nabi dan mengajak orang memeluk Islam. Artinya, saat itu sudah cukup banyak umat Islam. Tiga ratusan orang yang ikut perang itu hanya sebagian dari populasi umat Islam. Andai tiga ratusan orang itu seluruhnya binasa, tetap masih ada umat Islam yang menyembah Allah.

Jadi, secara redaksional, doa di atas tidak masuk akal. Ibnu al-Jauzi menduga, redaksi doa dalam hadis riwayat Umar di atas adalah riwayat bil ma’na yang salah redaksi. Hadis terkait doa Nabi di atas memang beragam. Dan Ibnu al-Jauzi lebih memilih redaksi doa (riwayat Anas ibn Malik) ini untuk layak dijelaskan:

اللهم إنك إِن تشأ لَا تعبد فِي الأَرْض

“Ya Allah, jika Engkau berkehendak, Engkau tidak akan disembah di bumi.”

Jadi, perbedaan antara hadis riwayat Anas ini dan riwayat Umar di atas ada di kata in tasya’ yang bermakna “jika Engkau berkehendak”. Riwayat Umar tidak menyebutkan kehendak Tuhan, sedangkan dalam riwayat Anas, kehendak Tuhan disebutkan.

Agaknya, Ibnul Jauzi begitu berhati-hati terkait unsur makna teologis dalam doa Nabi tersebut. Ada perbedaan signifikan dalam sudut pandang akidah antara doa dalam riwayat Umar dan doa riwayat Anas.

Dalam riwayat Umar, pemahaman yang dapat muncul adalah bahwa tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan jika tiga ratusan pasukan muslim itu kalah. Sementara, dalam riwayat Anas, pemahamannya adalah tidak akan ada lagi yang menyembah Tuhan jika Tuhan sendiri yang menghendaki [untuk tidak disembah].

Demikian pemaparan Ibnu al-Jauzi.

Jadi, jika redaksi doa Nabi dalam konteks Perang Badar dalam riwayat Umar di atas tampak tidak masuk akal [karena alasan-alasan yang telah disebutkan] maka akan tampak jauh tidak masuk akal jika ada orang yang terinspirasi doa tersebut lalu membacakannya di era kini.

Jika redaksi doa Nabi dalam riwayat Umar di atas dinilai bermasalah maka doa (atau puisi) yang terinspirasi doa tersebut jauh lebih bermasalah.

***

Referensi

1) Al-Waqidi. Maghazi Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Kairo: al-Ittijahat al-Tsaqafiyyah, 2003.

2) Ibnu Al-Jauzi. Akbar al-Adzkiya’. Beirut: Dar ibn Hazm, 2003.

3) Ibnu Al-Jauzi. Kasyf al-Musykil min Hadits al-Shahihain. Riyadh: Dar al-Wathan, t.t.

4) Ibnu Jarir al-Thabari. Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, cet. ke-2. Beirut: Dar al-Turats, 1387 H.

5) Karen Armstrong. Muhammad, A Prophet for Our Time. New York: HarperOne, 2007.

6) Musthafa al-Shiba’i. Al-Sirah al-Nabawiyyah, Durus wa ‘Ibar. T.tp: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah, t.t.

7) Nizar Abazah. Perang Muhammad, terj. Asy’ari Khatib, judul asli Tahta Rayah al-Rasul. Jakarta: Zaman, 2013.

8) Philip K. Hitti. History of the Arabs. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, judul asli History of the Arabs; From the Earliest to the Present. Jakarta: Serambi, 2008.

9) Tarik Ramadan. In the Footsteps of the Prophet, Lesson from the Life of Muhammad. New York: Oxford, 2007.

10) Montgomery Watt, “Badr”, The Encyclopedia of Islam. Leiden: Brill, 1986.