Tak jarang demi membela atau menjatuhkan sebuah kekuasaan, segala jalan ditempuh. Termasuk membuat sebuah berita palsu atau sekarang sering disebut dengan hoax. Bahkan tak segan-segan, hadits Nabi pun pernah mengalami pemalsuan demi untuk mendukung suatu kekuasaan. Ibnu Sirin (w. 110 H) menyebutkan:
عن ابن سيرين، قال: “لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلما وقعت الفتنة، قالوا: سموا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم، وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم”. (صحيح مسلم، 1/ 15)
“Dulu mereka (para ulama) tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata : ‘Sebutkan pada kami rijaal kalian’. Apabila ia melihat rijaal tersebut dari kalangan Ahlus-Sunnah, maka diterima haditsnya, dan jika dari kalangan ahli-bid’ah, maka tidak diterima”. (HR. Muslim)
Melacak Maksud Fitnah yang Diungkap Ibnu Sirin (w. 110 H)
Fitnah ini memiliki makna yang cukup banyak. Tapi makna yang lebih pas disini adalah ujian, cobaan atau huru-hara.
Maraknya hadits palsu di masa Ibnu Sirin (w. 110 H) disebabkan karena adanya fitnah huru-hara. Jika melihat masa hidup Ibnu Sirin dalam rentang dari tahun 30 Hijriyyah sampai tahun 110 Hijriyyah, paling tidak para ulama menyebut ada 3 kejadian fitnah.
Pertama, fitnah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan tahun 36 H. Sampai diangkatnya Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah, dilanjutkan perang shiffin dimana Ali bin Abu Thalib berhadapan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Memang fitnah ini terbukti menciptakan gerakan politik besar yang imbasnya masih ada sampai sekarang; yaitu kelompok Syiah dan Khawarij. Muhammad Abu Zahrah memasukkan Syiah dan Khawarij sebagai perpecahan politik, meskipun akhirnya merembet dalam persoalan akidah dan fiqih.[1] Bisa dibilang fitnah ini akibat dari huru-hara politik demi suatu kekuasaan.
Kedua, fitnah perang Harrah yang terjadi tahun 63 Hijriyyah. Perang yang cukup menyedihkan, karena korbannya hampir sekitar 10 ribuan penduduk Madinah terbunuh. Sekitar 700an korbannya adalah shahabat Nabi dari kaum muhajirin dan anshar.[2]
Lagi-lagi karena masalah politik demi suatu kekuasaan, dimana penduduk Madinah tak mau membaiat Yazid bin Muawiyah menjadi khalifah. Akhirnya diserang oleh Yazid bin Muawiyah dan pasukannya.
Imam Bukhari (w. 256 H) menyebutkan:
عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب: وقعت الفتنة الأولى – يعني مقتل عثمان – فلم تبق من أصحاب بدر أحدا، ثم وقعت الفتنة الثانية، – يعني الحرة – فلم تبق من أصحاب الحديبية أحدا، ثم وقعت الثالثة، فلم ترتفع وللناس طباخ. (صحيح البخاري، 5/ 86)
Dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Al Musayyab, “Fitnah pertama kali muncul, yaitu terbunuhnya Utsman, maka tidak ada seorang pun dari ahli badr yang tersisa. Kemudian muncul fitnah kedua, yaitu peristiwa harrah, tidak ada seorangpun dari sahabat ahli Hudaibiyyah yang tersisa. Kemudian terjadi fitnah ketiga, dan fitnah itu tidak berkesudahan sehingga manusia tidak lagi memiliki kekuatan. (HR. Bukhari)
Khusus mengenai Perang Harrah ini, Imam al-Baihaqi (w. 458 H) menyebutkan salah satu tanda kenabian:
قال عمر بن الخطاب: يا رسول الله ما الذي رأيت؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أما إن ذلك ليس من سفركم هذا. قالوا فما هو يا رسول الله قال يقتل بهذه الحرة خيار أمتي بعد أصحابي. (دلائل النبوة للبيهقي (المتوفى: 458هـ)، 6/ 473)
Rasulullah bersabda: Akan terbunuh di Harrah ini umat-umat pilihan setelah shahabatku. (Dalail an-Nubuwwah, Imam Baihaqi, h. 6/473)
Ketiga, fitnah Mukhtar bin Abu Ubaid at-Tsaqafi tahun 65 H. Dimana Mukhtar bin Abu Ubaid dan para pengikutnya ini tak terima atas terbunuhnya Husain dan menuntut darah kepada khalifah Bani Umayyah. Sehingga Mukhtar terbunuh tahun 68 H.
عن إبراهيم النخعي، قال: إنما سئل عن الإسناد أيام المختار، وسبب هذا: أنه كثر الكذب على علي في تلك الأيام. (شرح علل الترمذي، ابن رجب الحنبلي (المتوفى 795 ه)، 1/ 355)
Ibrahim an-Nakhai berkata: Ditanyakannya sanad dalam hadits itu di zaman Mukhtar, sebabnya memang banyak hadits palsu berkaitan dengan Ali bin Abu Thalib saat itu. (Syarah Ilal at-Tirmidzi, Ibnu Rajab al-Hanbali, h. 1/ 355).
Terlepas dari fitnah mana yang dimaksud oleh Ibnu Sirin (w. 110 H), kita bisa tarik benang merah bahwa sebab pemalsuan hadits diantaranya memang karena huru-hara politik untuk meraih kekuasaan. keadaan yang awalnya kondusif, menjadi kacau saat ada perebutan siapa yang berkuasa.
Motif Pembuatan Hadits Palsu
Mushtafa as-Shiba’iy (w. 1384 H) menyebutkan diantara motif menyebarnya hadits palsu adalah karena memuji personal secara berlebihan[3]. Cinta berlebihan seseorang sehingga memujinya secara berlebihan dan membenci pihak lawan secara berlebihan itulah yang melatarbelakangi penyebaran yang masif adanya hadits palsu.
Salah satu sosok yang banyak bermunculan hadits palsu adalah Ali bin Abu Thalib (w. 40 H). Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) meriwayatkan:
عن يحيى بن معِين يَقُول وَسُئِلَ عَن الْعَلَاء بن عبد الرحمن فَقَالَ أحسن أَحْوَاله عِنْدِي أَنه قيل لَهُ عِنْد مَوته أَن لَا تستغفر الله؟ قَالَ لَا أَرْجُو أَن يغْفر الله لي، فقد وضعت فِي فضل عَليّ بن أبي طَالب سبعين حَدِيثا. (الموضوعات لابن الجوزي (المتوفى: 597هـ)، 1/ 339)
Dari Yahya bin Main ketika ditanya tentang Ala’ bin Abdurrahman. Saya telah membuat 70 haris palsu seputar keutamaan Ali bin Abu Thalib. (al-Maudhu’at, Ibnu al-Jauzi, h. 1/ 339)
Banyak ditemukan hadits palsu berkaitan dengan keutamaan Ali bin Abu Thalib, diantarnaya disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) dalam bukunya al-Maudhu’at.
Salah satu contoh hadits palsu berkaitan dengan Ali bin Abu Thalib adalah:
قَالَ رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “النَّظَرُ إِلَى عَلِيٍّ عِبَادَةٌ”. (الموضوعات لابن الجوزي (المتوفى: 597هـ)، 1/ 339)
Melihat Ali bin Abu Thalib adalah sebuah ibadah. (al-Maudhu’at, Ibnu al-Jauzi, h. 1/ 339).
Palsu Dibalas Palsu
Bisa dikatakan yang sering membuat hadits palsu seputar Ali bin Abu Thalib adalah kalangan syiah Rafidhah. Selain memalsukan hadits berkaitan dengan keutaaman Ali bin Abu Thalib, mereka juga membuat hadits palsu berkaitan dengan celaan terhadap shahabat Nabi yang lain.
Sayangnya ada sebagian orang, demi membela shahabat Nabi yang dikritik syiah, membalasnya dengan hadits palsu juga.
Diantaranya, hadits palsu:
“مَا فِي الْجَنَّةِ شَجَرَةٌ إِلا مَكْتُوبٌ عَلَى وَرَقَةٍ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ عُمَرُ الْفَارُوقُ عُثْمَانُ ذُو النُّورَيْنِ”. (الموضوعات لابن الجوزي (المتوفى: 597هـ)، 1/ 337)
Tak ada satupun daun di surga, kecuali ada tulisannya “Muhammad Rasulullah, Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin al-Khattab dan Utsman dzun nurain. (al-Maudhu’at, Ibnu al-Jauzi, h. 1/ 337).
Termasuk banyak berkembang hadits palsu seputar keutamaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yang bisa dikatakan sebagai lawan politik dari Ali bin Abu Thalib. Diantaranya:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مُعَاوِيَةُ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ كَتَبَ لَكَ مِنَ الثَّوَابِ بِعَدَدِ كُلِّ مَنْ يَقْرَأُ آيَةَ الْكُرْسِيِّ مِنْ سَاعَةِ كَتْبِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة” (الموضوعات لابن الجوزي (المتوفى: 597هـ)، 2/ 16)
Nabi bersabda: Wahai Muawiyah, sesungguhnya Allah telah menulis bagimu pahala setiap orang yang membaca ayat kursi dari mulai ditulis sampai hari kiamat. (al-Maudhu’at, Ibnu al-Jauzi, h. 2/ 16).
Kecintaan berlebih terhadap suatu tokoh biasanya diikuti dengan kebencian berlebih kepada lawannya. Termasuk pembuat hadits palsu tentang keutamaan seseorang, biasanya diikuti dengan membuat hadits palsu terkait kejelekan lawan politiknya.
Konsekwensi Hadits Maudhu’
Berbohong atas nama Nabi tentu sebuah dosa besar, dimana ancamannya adalah neraka.
عن المغيرة رضي الله عنه، قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «إن كذبا علي ليس ككذب على أحد، من كذب علي متعمدا، فليتبوأ مقعده من النار» متفق عليه
Berbohong atas nama saya (Nabi) itu tidak seperti berbohongnya kalian atas seseorang lain. Siapa yang berbohong atas nama saya, maka bersiaplah masuk neraka. (Muttafaq alaih)
Hanya saja, ketika ada hadits maudhu’, belum tentu isinya pasti tidak benar. Maksudnya, jika ada hadits palsu berkaitan dengan keutamaan Ali bin Abu Thalib atau Muawiyah bin Abu Sufyan, bukan berarti Ali bin Abu Thalib tidak mempunyai keutamaan.
Kesalahan paling fatal dari hadits maudhu’ ini adalah penisbatannya kepada Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam.
Artinya, bisa jadi makna haditsnya benar. Tapi jika disandarkan kepada Nabi, adalah suatu kebohongan. Hal itu karena bisa jadi hadits dari jalur lain yang tidak ada perawi pemalsu hadits. Atau bisa jadi maknanya benar dari segi dalil umum.
Hal itu juga berkaitan dengan hadits-hadits palsu yang lain. Semisal, hadits yang sangat masyhur tertulis di kaligrafi berikut ini:
“عجلوا بالصلاة قبل الفوت، وعجلوا بالتوبة قبل الموت”
Segeralah shalat sebelum waktunya lewat, segeralah taubat sebelum mati.
Al-Albani (w. 1420 H) menyebut bahwa hadits ini maudhu’ alias palsu, tapi maknanya benar.[4]
Hikmah Atas Munculnya Banyak Hadits Palsu
Munculnya ilmu mushtalah hadits itu sendiri bisa dibilang karena tuntutan atas validitas hadits, setelah maraknya hadits palsu.
Hikmah yang bisa kita rasakan sampai saat ini diantaranya adalah berkembangnya ilmu al-jarh wa at-ta’dil; ilmu tentang penilaian terhadap pembawa informasi hadits.
Kita bisa membaca siapa saja orang yang dianggap bermasalah dan diblokir dalam periwayatan hadits di kitab-kitab berikut: Kitab ad-Dhu’afa as-Shaghir karya Imam Bukhari (w. 256 H), Kitab ad-Dhuafa’ wa al-Matrukin karya Imam an-Nasa’i (w. 303 H), Kitab ad-Dhu’afa wa al-Matrukin karya Imam ad-Daraquthni (w. 385 H), Tarikh Asma’ ad-Dhuafa’ karya Ibnu Syahin (w. 385 H), Ad-Dhuafa’ al-Kabir karya Abu Ja’far al-Uqailiy (w. 322 H), Diwan ad-Dhuafa’ karya Imam ad-Dzahabi (w. 748 H).
Tindakan yang Diambil Para Ulama: Blokir Orangnya, Validasi Beritanya
Ulama dahulu cukup tegas mengambil tindakan terhadap orang yang berani membuat berita bohong atas nama Nabi, yaitu blokir semua ucapannya berkaitan dengan hadits Nabi.
Orang yang sudah bergelar muttaham bil kadzib (terindikasi bohong), kadzab (pembohong), waddha’ (suka memalsukan hadits) sudah pasti semua perkataannya sudah tak diterima lagi. Meski secara logika, sebohong-bohongnya orang, pasti pernah tak berbohong juga.
*selengkapnya, bisa klik di Rumahfiqih.com