Dewasa ini, di media sosial marak budaya memberikan komentar terhadap suatu persoalan. Yang parah, komentar ini terkadang disengaja untuk menimbulkan mudharat kepada orang lain. Hilangnya sejumlah adab dalam berbicara menjadi sorotan. Budaya komentar yang tidak didasari oleh ilmu yang mencukupi, membuat komentar yang digulirkan diamini sedemikian rupa oleh pihak yang menjadi teman medianya sehingga seolah sebagai suatu kebenaran.
Padahal beda jauh antara benar dengan pembenaran. Benar adalah bila suatu komentar tidak memiliki imbas yang bertentangan dengan syariat. Sementara pembenaran seolah merupakan aktifitas menyembunyikan kepalsuan dibalik jargon kebenaran. Sungguh, dua-duanya merupakan hal yang teramat jauh. Efeknya pun juga akan berkonsekuensi jauh pula.
Sebenarnya jika diteliti lebih jauh, budaya komentar di media sosial ini cenderung diawali oleh budaya ‘sok tahu.’ Ngaji dan penguasaan belum seberapa, sudah berani memperolok orang yang sudah bergelut lama dalam dunia kitab. Kearifan budaya ketimuran seharusnya merupakan hal yang harus ditonjolkan. Menghadapi orang yang berilmu itu dibutuhkan tata krama sosial. Ibarat santri yang sowan mengaji kepada seorang kyai, jangankan berjalan tegak di hadapan kyai, memandang muka sang kyai pun mereka tiada berani. Ini baru soal berjalan dan memandang. Apalagi membantah seorang guru/kyai, akan lebih tidak berani lagi.
Inilah budaya mengaji. Tidak boleh meninggalkan adab dan susila yang berlaku dan diamini oleh masyarakat luas. Jika mengaji sudah dibiasakan dengan budaya menjadal seorang guru/kyai, maka ilmu yang didapatkan umumnya akan jauh dari adab/susila. Ini adalah bagian dari sirri (rahasia) menyantri.
Budaya mengaji seorang santri, adalah senantiasa dilandasi oleh landasan kebutuhan untuk memenuhi perkara wajib terlebih dahulu. Al-Faqih, al-Qadhi Abu al-Laits menyampaikan sebagai berikut:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة على قدر ما يحتاج إليه لأمر دينه مما لابد له من أحكام الوضوء والصلاة وسائر الشرائع ولأمور معاشه وما وراء ذلك ليس بفرض خاص
“Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi muslim dan muslimah. Kadar wajibnya mengikuti kadar kebutuhannya akan ilmu tersebut, khususnya untuk urusan agamanya. Contohnya seperti ilmu yang wajib diketahuinya terkait dengan hukumnya wudlu, shalat, dan hukum-hukum syara’ lainnya, dan perihal hukum yang berkaitan dengan kehidupanya. Adapun selain itu semua, maka hukum mengetahuinya adalah tidak termasuk tuntutan wajib secara khusus (individu per individu).” (Abu Al-Laits Nashar ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Samarqandy, Bustanu al-Arifin, Surabaya: Haramain, tt.: 3)
Ibarat seorang yang butuh dokter, mana mungkin ia berani membantah pihak yang dibutuhkan. Kebutuhan bagi terpenuhinya hukum wajib sempurnanya ibadah itu yang mendasari pemikiran wajibnya adab.
Dalam al-Qur’an disinggung mengenai sebuah kebiasaan kaum Bani Israil yang gemar mendebat atau mencela seorang Nabi. Akhirnya, mereka dimasukkan sebagai golongan yang masuk neraka Sa’ir. Disampaikan dalam Firman Allah SWT:
وقالوا لوكنا نسمع أونعقل ما كنا من أصحاب السعير
“Kaum Bani Israil menyesali perbuatannya, mereka berkata: ‘Andaikata kami mau mendengar dan memikirkan (apa yang disampaikan Musa), maka pastilah kami bukan termasuk ahli neraka sa’îr.” (Q.S. Al-Mulk [67]: 10).
Itulah imbas dari mencela atau menjadal. Padahal kita tahu bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi. Bagaimana mungkin ahli waris justru malah dicela? Untuk mendapatkan gelar ulama’ saja sudah dibutuhkan ilmu. Bagaimana mungkin seorang ahli ilmu yang diberi gelar ulama’ oleh al-Qur’an justru dicela oleh kalangan yang ‘baru tahu’ mengenai ilmu!?
Dalam kesempatan yang lain, sebuah atsar yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Mas’ud, beliau berkata:
عليكم بالعلم قبل أن يقبض وقبضه أن يذهب أصحابه
“Wajib atas kalian menuntut ilmu sebelum dicabutnya ilmu itu. Dan cara Allah mencabut ilmu, adalah dengan mencabut nyawa pemiliknya.” (Abu Al-Laits Nashar ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Samarqandy, Bustanu al-Arifin, Surabaya: Haramain, tt.: 3)
Selanjutnya, Ibnu Mas’ud juga menyampaikan:
وعليكم بالعلم فإن أحدكم لايدري متى يفتقر إليه
“Hendaknya kalian menuntut ilmu. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan pernah tahu, kapan ia dibutuhkan.” (Abu Al-Laits Nashar ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Samarqandy, Bustanu al-Arifin, Surabaya: Haramain, tt.: 3)
Pernyataan dari sahabat Ibnu Mas’ud, yang merupakan salah seorang sahabat periwayat tafsir ini, hakikatnya adalah melarang mencela ulama. Bagaimana bisa dipahami demikian?
Sebagai seorang yang butuh kepada siraman ilmu ulama’, sudah barang tentu ia harus membuka ruang bagi masuknya ilmu yang disandarkan kepada ahlinya ini. Manakala ruang itu ditutup oleh seorang pribadi dengan jalan mencelanya, maka segala pengetahuan yang diriwayatkan oleh ulama tersebut menjadi terhalang untuk mengalir kepadanya.
Ibarat ulama adalah mata air. Bila salurannya sudah disumbat dengan jalan mencela, atau sang penuntut ilmu sudah memagarinya, maka bagaimana mungkin air akan mengalir ke lubuk sanubarinya dan mendapat kontrol pengawasan dari ulama tersebut. Inilah yang merupakan bagian yang pernah dicela di masa awal munculnya firqah-firqah dalam Islam saat banyak ulama mencoba untuk mengkodifikasikan hadis dan membukukannya. Akibat dari celaan yang tidak berdasar kepada ulama’ mengakibatkan satu riwayat hadis bisa hilang, sebagai buah dari celaan itu.
Lagi pula, syariat Islam tidak hanya mementingkan ilmu, melainkan juga beramal dengannya. Diriwayatkan dari sahabat Fudhail ibn ‘Iyadh:
من عمل بما يعلم شغله الله تعالى عما لا يعلم
“Barang siapa mengamalkan satu ilmu yang diketahuinya, maka Allah Ta’ala akan menyibukkannya dengan ilmu lain yang belum diketahuinya.
Fudhail ibn Iyadh menambahkan:
لأن العمل لنفسه وطلب الزيادة لغيره فالإشتغال بأمر نفسه بما هو لنفسه أولى لأن فكاك رقبة نفسه أهم إليه
“Karena sesungguhnya, antara mengamalkan ilmu yang sudah didapat untuk dirinya sendiri dan mencari tambahan untuk digunakan (mengomentari) orang lain, adalah jauh lebih utama sibuk dengan diri sendiri dan kebutuhan ibadahnya sendiri. Karena sesungguhnya, membebaskan diri dari belenggu sifat perbudakan dirinya, adalah lebih penting baginya.” (Abu Al-Laits Nashar ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Samarqandy, Bustanu al-Arifin, Surabaya: Haramain, tt.: 4)
Apa yang disampaikan oleh Fudlail Ibn ‘Iyadh ini adalah sebuah gambaran saja, bahwa dibanding sibuk mengomentari hal yang tidak jelas karena unsur sok tahu, adalah tidak lebih penting dari mencari kesempurnaan pengetahuan bagi ibadah seseorang. Jika kesempurnaan itu datangnya harus dari seorang kyai yang benar-benar menguasai ilmu, amal dan adab sekaligus, lalu apa faidahnya mencela mereka di hadapan massa? Sudah pasti adalah tertutupnya pintu rahmah dan hidayah. Akibatnya adalah kualat, sebagaimana yang Allah Ta’ala sampaikan dalam Surat al-Mulk [67] ayat 10 di atas, yaitu masuk neraka Sa’ir. Naudzu billah min dzalik.
Itulah buah dari sok tahu. Celaka di dunia berupa ketertutupan ilmu, dan sekaligus celaka di akhiratnya.