Artikel berikut ini akan membedah hikmah yang terdapat dalam QS. An-Nur (24) ayat 11-14. Dalam ayat tersebut terdapat informasi seputar Hadis al-ifki, yakni peristiwa fitnah yang menuduh Aisyah RA berzina dalam sebuah perjalanan. Ayat tersebut juga memberi peringatan agar kita waspada terhadap musuh dalam selimut yang bisa datang dari mana saja.
إِنَّ ٱلَّذِينَ جَآءُو بِٱلْإِفْكِ
Pada ayat ini Allah menjelaskan Hadis al-ifki, yaitu tuduhan dusta tentang perzinaan antara Aisyah RA (istri Rasulullah SAW) dengan Shofwan bin Muatthal (sahabat Rasulullah SAW). Aktor intelektual dari berita tersebut adalah Abdullah bin Ubay bin Salul dan ikut disebarluaskan oleh sebagian sahabat.
Hadis al-ifki ini adalah konspirasi jahat berbentuk tuduhan/fitnah perzinaan yang diarahkan kepada Aisyah RA. Adapun kata “ifk” disebut sebanyak 11 kali dalam al-Quran dengan menggunakan bentuk mufrad sebanyak sembilan kali dan dalam bentuk jamak sebanyak 2 kali (Baqi, 1994)
“Ifk” itu sendiri berasal dari kata “al-afku” yang berarti keterbalikan baik material seperti gempa yang menjungkir balikkan sebuah negeri, maupun immaterial seperti keindahan bila dilukiskan dalam bentuk keburukan dan sebaliknya. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebohongan besar, karena kebohongan sejatinya adalah memutarbalikkan fakta.
Imam Fakhrurrozi menjelaskan bahwa kata al-ifki adalah kata yang lebih pedas dan lebih berat dari sekedar kedustaan dan mengada-ada semata. Dalam hal tuduhan ini, semua orang muslim sepakat bahwa yang tertuduh adalah Aisyah ra (bukan sebagai individu) akan tetapi Aisyah sebagai istri Rasulullah (as-Shabuni, tt). Adapun kata jaa’uu yang berarti mereka datang, memberikan isyarat bahwa rencana kejahatan ini tersusun dengan rapi, berita ini seakan di desai dengan baik, kemudian melibatkan orang lain untuk menyebarluaskannya.
عُصْبَةٌ مِّنكُمْ ۚ
Allah swt menggunakan kata usbatun minkum menunjukkan bahwa:
Abdullah bin Ubay bin Salul berada dan ikut dalam kelompok perjalanan Rasulullah SAW. Kemudian, Abdullah bin Ubay bin Salul adalah seorang yang pada zahirnya menunjukkan perilaku beriman walau dalam hatinya ia hanyalah seorang yang munafik. Karenanya sebagai manusia kita hanya menetapkan sebuah hukum didasari dengan fakta yang muncul dan terbukti. Dari ayat ini mengingatkan kita juga, bahwa musuh dalam selimut senantiasa ada di sekitar kita.
لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَّكُم ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ
Kutipan ini tertuju kepada keluarga Abu Bakar RA, dengan mengatakan janganlah kalian mengira bahwa konspirasi tersebut akan berakibat jelek kepada kalian. Karena sesungguhnya konspirasi tersebut justru akan melahirkan dampak-dampak positif. Diantaranya yaitu (Khalid, 2014):
Peristiwa ini semakin mengokohkan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Yang mendapat petunjuk langsung dari Allah SWT. Dalam menghadapi masalah yang menimpa keluarganya.
Selanjutnya, bisa dipetik bahwa dari peristiwa konspiratif tersebut menegaskan kemuliaan Aisyah RA sebagai istri Rasulullah SAW. Allah SWT menurunkan wahyu yang menjelaskan bahwa Aisyah RA bersih dan tidak terlibat sedikitpun dalam perbuatan yang dituduhkan kepadanya
Menegaskan sifat mulia yang dimiliki oleh Abu Bakar RA sehingga Allah abadikan dalam al-Qur’an (QS. An-Nur: 22) dan mengangkat derajat sahabat Shofwan bin Muatthal dengan disebutnya pada kisah ini sehingga dikenang sepanjang masa.
Pada akhirnya, Allah SWT menampakkan musuh dalam selimut yang ada disekitar umat muslim melalui kisah ini.
لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُم مَّا ٱكْتَسَبَ مِنَ ٱلْإِثْمِ ۚ
Dalam ayat tersebut masing-masing diantara mereka yang terlibat dalam hadis al-ifki ini akan mendapat balasan atas apa yang mereka perbuat, sesuai dengan kadar perbuatannya. Diantara mereka ada yang hanya berbicara da nada yang hanya teryawa seperti orang yang gembira mendengar sesuatu, ada pula yang berbuat sedikit dan ada yang berbuat banyak (al-Maraghi, 1993)
وَٱلَّذِى تَوَلَّىٰ كِبْرَهُۥ مِنْهُمْ لَهُۥ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan aktor intelektual dari berita dusta hadis al-ifki tersebut akan menanggung akibatnya, yaitu siksa yang sangat besar. Di dunia ia dipermalukan oleh Allah SWT dengan terbongkarnya sifat munafik yang ia miliki dan di akhirat mendapat siksa yang hanya Allah SWT yang mengetahui kedahsyatannya.
Sebagai tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul telah mengajarkan tradisi buruk yang karenanya ia pun ikut bertanggung jawab terhadap seluruh orang yang mengikuti tradisi buruknya. Rasulallah SAW bersabda: “Barang siapa dapat memberikan suri tauladan yang baik dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh. Sebaliknya, barang siapa memberikan suri tauladan yang buruk dalam Islam, lalu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya”. (HR. Muslim)
Pesan-pesan yang bisa kita petik dalam QS An-Nur ini bisa kita rangkum dalam beberapa kesimpulan:
- Hadis al-ifki adalah usaha orang munafik untuk merusak citra dan kemuliaan keluarga Rasulullah SAW.
- Sekalipun yang ditimpakan adalah kejadian buruk, namun tetap ada nilai positif yang bisa diambil dari situ.
- Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia perbuat.
- Musuh-musuh Islam selalu mengintai simbol-simbol Islam untuk memadamkan cahayanya.
- Musuh dalam selimut selalu ada dalam kehidupan semua orang, bahkan Rasulullah sendiri.
- Gerakan penghancuran Islam selalu bergerak dalam bentuk yang terorganisir.
لَّوْلَآ إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا۟ هَٰذَآ إِفْكٌ مُّبِينٌ
Kata idz menggugah kesadaran umat muslim untuk spontan responsif terhadap berita miring yang menimpa saudara-saudara muslim, sehingga saat berita itu muncul hendaknya seorang muslim berprasangka baik dengan membandingkan dirinya dengan yang menjadi objek berita. Prasangka baik tehadap mukmin yang lain hakikatnya adalah berprasangka baik terhadap diri sendiri, karena seorang mukmin lainnya bagaikan satu tubuh. (Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
لَّوْلَا جَآءُو عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ ۚ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا۟ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْكَٰذِبُونَ
Lalu Allah swt menampakkan kemarahan-Nya dan menjelaskan kedustaan para penyebar berita dusta ini dengn menantang bahwa mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi atas kebenaran fitnah yang dituduhkan kepada Aisyah RA? Ketidakmampuan mereka menghadirkan empat saksi sudah cukup menjadi indikasi bahwa mereka hanya pendusta belaka (Khalid, 2014).
Adapun hikmah dilarangnya menuduh dengan bukti yang tidak cukup adalah bahwa Allah masih ingin menutupi aib orang tersebut dan karenanya tidak layak untuk manusia membuka aib orang lain, dan boleh jadi kejadian yang terlihat tersebut hanyalah kekeliruan saja.
وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِى مَآ أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Pesan-pesan dalam ayat di atas tersebut bisa kita rangkum, bahwa umat Islam dituntut untuk responsif terhadap berita miring yang menimpa kaum muslimin. Kemudian, kita perlu berhati-hati menghadapi sebuah informasi, hendaklah informasi tersebut di kroscek terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada orang lain. Yang terakhir, dari upaya-upaya konspiratif tersebut, adzab Allah meskipun baru sangat sedikit yang ditimpakan akan tetapi untuk ukuran manusia tetap menjadi azab yang sangat besar.
Wallahu a’lam bisshawab.