Muhammad, dikau naik ke langit-langit dan tinggi,
Para malaikat menyambutmu, “selamat datang!”
Berkata pula para penghuni surga:
“selamat datang, seratus kali selamat datang!”
(Baloch, dalam Mawlud, dikutip dari Annemari Schimmel)
Salah satu sejarah penting dalam agama Islam adalah peristiwa Isra’ Mikraj. Sebuah perjalanan spiritual sang pembawa ajaran Islam, kanjeng Nabi Muhammad SAW, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan berlanjut ke Sidratul Muntaha dimana salah satu rukun Islam, salat lima waktu, pertama kali disyariatkan pada malam tersebut. Dalam berbagai riwayat hadis, nabi Muhammad berulang kali mendapat saran dari Nabi Musa untuk melakukan “negosiasi” atau memohon kepada Allah untuk mengurangi kewajiban salat bagi umatnya.
Kisah isra’ mikraj bukan hanya sebuah perjalanan ruhani yang penuh dengan “misteri”. Ia telah menjadi diskursus yang menarik perhatian para sejarawan dan peminat kajian-kajian keislaman baik dari kalangan sarjana Islam maupun orientalis. Perdebatan-perdebatan tersebut terekam dalam sejumlah literatur baik klasik maupun kontemporer.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tahun berlangsungnya peristiwa Isra’ Mikraj. Sebagian pendapat mengatakan sebelum kenabian. Sebagian lain menyatakan satu tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Perbedaan pendapat juga terjadi mengenai bulan dan tanggal terjadinya peristiwa tersebut. Sebagian mengatakan bahwa isra mi’raj terjadi tanggal tujuh belas Rabiul Awwal, sebagian lainnya berpendapat terjadi pada tanggal dua puluh tujuh Rajab (al-Uns al-Jalil bi Tarikh al-Quds wal Jalil, Mujirudin al-Ulaymi, hlm. 292). Pendapat terakhir ini kemudian yang dipegang dan diyakini oleh mayoritas umat Islam di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, mahaguru kiai-kiai pesantren Indonesia, dalam bukunya berjudul al-Anwar al-Bahiyyah min Isra’ wa Mi’raj Khairil Barriyyah; Durus wa ‘Ibar Masyahid wa Suwar, menjelaskan dengan baik tradisi perayaan isra’ mikraj yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di setiap tanggal dua puluh tujuh bulan Rajab sembari mengukuhkannya secara argumentatif.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama di atas, yang jelas peristiwa isra’ mikraj adalah konsensus (ijma’) ulama dan kaum muslim di seluruh dunia. Allah SWT berfirman dalam al-Quran:
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Di samping ayat di atas, terdapat hadis-hadis Nabi dari berbagai jalur sanad/periwayatan yang menjelaskan peristiwa isra’ mikraj dengan beragam isi (matan)-nya dan segi kualitasnya.
Istifadah dan Memetik Hikmah Isra’ Mikraj
Syaikh Abdul Halim Mahmud, ulama sufi asal Mesir, dalam bukunya berjudul al-Isra’ wal-Mi’raj, mengatakan bahwa peristiwa isra’ mikraj jangan dipahami hanya sekadar sebuah sejarah perjalanan spiritual kanjeng Nabi Muhammad. Isra’ mikraj adalah sebuah ilustrasi kehidupan yang harus dijalani oleh umat Islam. Sebuah kisah yang penuh dengan hikmah dan teladan yang dapat diambil dari peristiwa tersebut.
Lebih lanjut Syaikh Abdul Halim menuturkan bahwa dalam riwayat-riwayat hadis shahih Bukhari tentang kisah isra’ mikraj didahului dengan cerita malaikat Jibril membersihkan dada nabi Muhammad dengan air zamzam. Kisah ini, kata Syaikh Abdul Halim, memiliki makna bahwa kita sebagai umat Nabi Muhammad harus selalu melakukan pertaubatan atas segala kesalahan dan kekhilafan yang telah kita lakukan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Qusyairi bahwa salah satu dari rahasia mikrajnya kanjeng Nabi Muhammad adalah penyucian diri kanjeng Nabi.
Taubat adalah awal sekaligus jembatan bagi para salik untuk mencapai kepada tujuan akhir; Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam surat an-Najm,42 : Dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan (segala sesuatu). []
Idris Masudi, Nyantri di Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren Ciputat