Pernahkah kamu berpikir, dari mana sandal para jamaah haji di Mekkah-Madinah berasal? Atau pernah kamu sedikit saja bertanya, dari mana sandal para jamaah haji berasal? Lalu, tatkala usai dipakai, apa langsung dibawa pulang laiknya perkakas dan oleh-oleh khas haji lain seperti kurma, air zamzam atau bahkan sorban dan sejenisnya? Sebelum ke sana, mungkin ada baiknya kita memulai dengan memberikan selamat kepada para jamaah haji.
Ya, musim haji sudah dimulai. Keberangkat kloter (kelompok terbang) awal dari jamaah haji Indonesia juga tinggal menunggu waktu. Segala persiapan sudah mulai dikerjakan oleh pihak-pihak yang terkait. Indonesia menggunakan sistem negara yang memegang penuh soal Haji ini, yang dikoordinasi beberapa kementerian yaitu Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perhubungan. Seluruh pelayanan Haji terutama yang reguler dikuasai dan diatur oleh Negara.
Pihak Negara sudah mulai bersiap sejak pelunasan dan penetapan siapa saja yang berangkat di tahun ini. Sejak pengumuman tersebut banyak proses yang dilalui salah satunya adalah manasik haji yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama biasanya beberapa kali setelah pelunasan keberangkatan. Salah satu yang disampaikan dalam manasik adalah barang-barang yang dipersiapkan dalam keberangkatan.
Seperti adagium yang masyhur di kalangan pesantren “barang siapa yang tahu jauhnya perjalanan yang akan dia tempuh, maka bersiaplah”, maka setiap jemaah biasanya mulai sibuk mempersiapkan barang-barang keperluan selama perjalanan suci ini. Kalau haji reguler yang mengikut pemerintah maka lama perjalanan akan memakan waktu 40 hari pulang pergi, namun kalau memilih haji plus biasanya lebih sedikit lagi bahkan ada yang cuma 12-15 hari saja.
Keberangkatan yang tidak sebentar tersebut maka menuntut pada setiap jemaah bisa mempersiapkan diri baik itu fisik dan barang bawaan dengan persiapan yang cukup. Salah satu barang yang dipersiapkan adalah alas kaki.
Ada sebuah cerita menarik yang pernah saya dengar. Seorang jemaah haji bertanya pada seorang kyai pembimbing ibadah haji soal berapa pasang sandal yang dia harus bawa? Sang kyai pun dengan santai menjawab “minimal setengah lusin”. Jemaah itupun terkejut, karena dalam hati kecilnya bertanya “kenapa perjalanan cuma 40 hari harus membawa sandal sebanyak itu”, namun pertanyaan ini urung ditanyakan dan jemaah tersebut tetap membawa sandal sebanyak yang disuruh oleh kyai tersebut.
Sandal memang cuma berfungsi sebagai alas kaki dalam perjalanan Haji. Tapi sandal juga memiliki ceritanya sendiri di dua tanah suci tersebut. Pernahkah kita membayangkan bagaimana repotnya mengurus sandal di tanah suci?
Setiap musim Haji (istilah yang dipakai oleh kementerian Haji Arab Saudi) selalu mengalami peningkatan jumlah jemaah yang menunaikan ibadah Haji, tercatat beberapa tahun terakhir memang tidak mengalami kenaikan signifikan karena keputusan dari pemerintah Arab Saudi sengaja membatasi atau memotong jumlah kouta jemaah haji disebabkan kondisi Masjidil Haram sedang menjalani renovasi dan perluasan, namun angka jemaah yang menunaikan selalu menyentuh angka 2 juta. Kalau setiap jemaah memakai sandal satu pasang, maka akan ada 4 juta buah sandal yang ada di tanah suci. Jumlah yang tidak sedikit dan jika kita tambahkan maka akan menambah angka yang juga meninggi cukup banyak.
Kalau satu kali shalat wajib, masjidil haram bisa menampung 1-2 juta manusia dan yang memasuki kompleks masjid tersebut di angka 1 juta maka akan ada 2 juta sandal yang memasuk wilayah masjid, bayangkan bagaimana ngurus sandal yang segitu banyak di masjidil Haram. Menurut cerita, tumpukan sandal yang tak diambil oleh orang lain dan disisihkan oleh tim pembersih masjid dan ada di mana-mana sekitar halaman masjid dan beberapa tempat dalam komplek masjid. Pemandangan ini tidak banyak yang merekam atau memfotonya, padahal pemandangan ini sangat manusiawi.
Jemaah yang masuk masjidil Haram dan masjid Nabawi itu dari berbagai bangsa dan negara, oleh sebab itu sandal yang masuk ke sana pun tidak kehitung berapa merek yang ada di sana. Dari sandal mahal hingga sandal murah, dari yang beda warna hingga beda bentuknya, dari kulit hingga karet plastik, sangat beragam. Tempat sandal memang disediakan di setiap pintu masuk yang besar dan di dalam masjid, namun sandal yang tidak diambil dengan berbagai alasan dengan mudah kita temukan.
Kebanyakan jemaah sering memiliki gaya dan caranya sendiri dalam mensiasati persoalan sandal ini, ada yang dibawa dimasukkan dalam tas hingga ke dalam masjid dan diletakkan dekat di mana jemaah tersebut shalat dan beraktivitas. Ada juga yang meletakannya di kantong plastik (sekarang sudah disediakan di banyak pintu masuk masjidil Haram), kemudian diletakkan ditempat tersembunyi di samping tiang-tiang atau di tempat sandal yang telah disediakan. Semuanya jemaah biasanya punya cara sendiri dalam “mengamankan” sandal masing-masing.
Term “kehilangan” biasanya digunakan saat jemaah saat tidak bisa menemukan sandalnya atau tempat dia menyimpan sandalnya. Padahal kata “hilang” sebenarnya bisa bermakna macam-macam, karena alasan tersebut bisa saja bermakna tidak menemukan (hilang), lupa di mana tempat menyimpan sandal, berpindah tempat karena kena pembersihan dari tim kebersihan dan lain-lain. Tapi semuanya selalu bermakna “hilang” dalam pengalaman jemaah haji. Menemukan orang yang pulang dari masjidil haram tanpa alas kaki bukanlah sesuatu yang sulit, semuanya akan menjawab dengan jawaban yang sama yaitu hilang.
Tapi pengalaman soal sandal memang jarang diceritakan oleh jemaah. Sebab karena sandal cuma dipandang sebagai pelengkap selama beribadah di tanah suci. Padahal kisah-kisah akan sandal dalam memori jemaah Haji pasti sangat beragam dan banyak menyimpan kenangan bersama sandal yang dipakai. Kembali ke cerita di atas, setiap jemaah diminta membawa sandal sebanyak 6 pasang, maka jika ia menghabiskan seluruh persediaannya maka pasti akan ada 6 cerita yang berbeda dan sangat humanis jika kita mau mendengarnya, kisah-kisahnya pasti mengiringi sebuah perjalanan suci dengan berbagai problematika yang mewarnainya.
Berbagai macam hal yang beririsan dengan perjalanan tersebut, dari agama, ramalan, takhyul hingga suka duka saling berkumpul di dalam sebuah cerita soal sandal.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin