Puasa merupakan ibadah penting dalam Islam untuk menjaga batin. Dengan puasa, seseorang bisa dapat mengendalikan hawa nafsu dan amarahnya. Tradisi ini sudah ada sejak masa jahiliyah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمَدِينَةَ، فَوَجَدَ الْيَهُودَ صُيَّامًا، فَقَالَ: “مَا هَذَا؟ ” قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى، وَأَغْرَقَ فِيهِ فِرْعَوْنَ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “نَحْنُ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ” فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menyampaikan bahwa ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah Saw. menjumpai komunitas Yahudi. Ternyata, waktu itu mereka sedang puasa ‘Asyura (puasa tanggal 10 Muharam), karena Nabi Musa diselamatkan oleh Allah dari kejaran Firaun pada hari tersebut, dan justru menenggelamkan Firaun di sungai Nil.
“Kalau begitu, kami juga lebih berhak itu puasa di hari tersebut,” kata Nabi pada umat Yahudi. Akhirnya Nabi puasa ‘Asyura dan menyuruh para sahabatnya untuk berpuasa juga.” (HR Ibn Majah)
Nabi sengaja hanya mewajibkan puasa satu hari saja di bulan Muharam, karena sebagian sahabat yang baru masuk Islam mungkin akan merasa keberatan untuk dibebani langsung berpuasa sebulan penuh.
Di sisi lain, puasa ‘Asyura ini bertujuan untuk memotivasi para sahabatnya untuk mendidik para sahabatnya agar di kemudian hari terbiasa berpuasa. “Wong orang Yahudi saja berpuasa, masa orang Islam tidak mau berpuasa,” kurang lebih seperti itu Nabi memotivasi sahabatnya.
Menurut Syekh Thahir bin ‘Asyur, ulama kaliber Tunisia rahimahullah, puasa ‘Asyura tersebut diwajibkan sebelum turunnya perintah puasa Ramadan setahun setelah diwajibkannya puasa ‘Asyura. Jadi kewajiban puasa Ramadan itu terjadi pada tahun ke-2 hijriah. Oleh karena itu, setelah diwajibkan puasa Ramadan, puasa ‘Asyura tidak wajib lagi, hanya sunah saja.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِصِيَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ، كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ».
“Diriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha yang pernah mengetahui Rasulullah Saw. mewajibkan puasa ‘Asyura sebelum diwajibkannya puasa Ramadan. Ketika puasa Ramadan sudah diwajibkan, maka Rasulullah membolehkan para sahabatnya untuk memilih mau berpuasa ‘Asyura atau tidak” (HR Muslim).
Menurut Ibnu ‘Asyur, sejak tahun ke-2 hijriah, durasi berpuasa di bulan Ramadan sudah dilaksanakan sama seperti umat Islam pada saat ini, yaitu dimulai sejak terbitnya fajar shadiq atau ada ulama hingga terbenamnya matahari. Hal tersebut dijelaskan olehnya ketika menafsiri surah al-Baqarah ayat 185.
Nabi sendiri berkesempatan melaksanakan puasa Ramadan sebanyak sembilan kali sejak tahun ke-2 hijriah hingga tahun 11 hijriah, tahun di mana Nabi Muhammad Saw. wafat. Namun, Ibnu ‘Asyur meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw. sudah melakukan tradisi berpuasa sejak beliau ber-tahannuts (menyepi) di gua Hira yang mana pada waktu itu Alquran juga diturunkan di sana pada bulan Ramadan.
Jadi sebelum menerima wahyu berupa Alquran, Nabi telah lebih dulu melakukan tirakat puasa sebelum umat Islam diwajibkan puasa di bulan Ramadan. Puasa tersebut Nabi lakukan demi menjaga tradisi agama-agama samawi sebelum Islam. []