etidaknya ada dua reaksi atas pencurian amplifier mushola di Bekasi. Keduanya diperagakan oleh dua kalangan yang berbeda, tapi pada dasarnya memamerkan kejernihan akal yang sama.
Bedanya, yang satu dibimbing oleh ‘kegilaan’ sesaat yang muncul dari bawah sadar; yang lain dituntun oleh ‘kegilaan’ sistematis yang memang secara sadar sengaja dipelihara.
Reaksi pertama diperagakan oleh kerumunan massa di lapangan. Cukup oleh teriakan maling, maka kerjernihan mereka langsung bekerja melampiaskan kemarahan. Tanpa berpikir panjang mereka langsung mengeroyok dan membakarnya. LuarĀ biasa.
Reaksi kedua muncul dari kalangan yang berbeda, yakni dari kalangan menengah atas yang sangat mungkin merasa sedang mendapat wahyu untuk menjaga nilai-nilai mulia.
Begitu jernihnya mereka sehingga dengan kecepatan yang luar biasa mengagumkan bisa begitu saja meringkus fakta hanya di ujung-ujungnya saja, yakni: maling ampli mushola dibakar. Lantas, berdasar fakta hasil ringkusan tersebut membuat simpulan cemerlang ‘jamaah mushola membakar maling ampli’.
Setelah dengan jernih membuat simpulan brilian, dengan gembira lantas dirayakan dengan mengutuk-kutuk jamaah mushola, menghubung-hubungkan dengan bela Islam, bahkan Islam-nya sekalian.
Jelas, mengeroyok maling, apalagi membakarnya, seperti dipertunjukkan oleh reaksi pertama, tidak dibenarkan oleh ajaran agama manapun. Dan itu harus dikutuk.
Tapi yang tak kalah mendesak untuk juga dikutuk keras adalah pikiran kelewat-lewat jernih yang dipamerkan oleh reaksi kedua.
Memang benar ada orang diduga mencuri ampli mushola, tapi tak pernah ada cerita jamaah mushola mengeroyok apalagi membakarnya.
Ketika dikejar marbot mushola, dan secara tak sengaja bertemu di pasar, orang tersebut malah berlari dan meninggalkan motornya. Dia pun lantas diteriaki ‘maling’. Karena gugup dan takut dikeroyok ‘jamaah’ pasar (yang tak ada hubungannya dengan jamaah mushola), dia terjun ke sungai. Celakanya di seberang sungai banyak ‘jamaah’ lain (yang juga sama sekali tak punya hubungan dengan jamaah mushola) yang sudah menunggunya. Maka terjadilah peristiwa yang kemudian ramai dibicarakan: dia dikeroyok dan… dibakar.
Tapi ini semua diabaikan, karena kejernihan terlanjur menuntun untuk mengambil simpulan yang dirasa paling pas bagi kepentingan mereka, tentu saja tanpa harus menimbang kronologinya.
Pada dasarnya ini adalah kejernihan yang sama sebangun dengan yang diperagakan oleh para pengeroyok dan kemudian pembakar orang yang diduga mencuri tersebut. Kejernihan yang juga tak mau memberi kesempatan untuk bertanya: apa kesalahannya? Seberapa besar tingkat kesalahannya? Dst. Sudah yakin bahwa yang dikejar adalah maling maka solusinya cuma hajar dan kemudian bakar.
Luar biasa, kejernihan model begini inilah sumber api sesungguhnya. Sumber api yang mengancam keutuhan sosial kita. Dan sumber api semacam inilah yang hari-hari ini sedang marak diperagakan di sekitar kita.[]
*) Anis Sholeh Ba’asyin