Hikayat Kebohongan

Hikayat Kebohongan

Hikayat Kebohongan

TRIOMACAN2000, adakah yang masih ingat akun abal-abal saat pilpres kemarin? Kejadian serupa kembali berulang. Sindikat Saracen—yang ditengarai memiliki banyak jaringan—kembali menyajikan hikayat kebohongan. Gaya dan isu-isu yang mereka mainkan sama: sentimen-sentimen yang bernuansa SARA.

Saya tak akan mengulas sindikat-sindikat semacam ini dari sudut pandang politik-ekonomi ataupun hukum. “Language game,” itulah yang akan saya telisik.

Entah ada keterkaitan apa Triomacan2000 dahulu, Saracen kini, dengan radikalisme. Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj bahkan juga menegaskan, bahwa “industri” hoax semacam Saracen sudah melakukan teror (www.sindonews.com 27/08/2017). Gerakan-gerakan radikal keagamaan di Indonesia, sebagaimana yang kita tahu, kerap memainkan sentimen-sentimen SARA: “Cina”, “kafir”, dan “komunis”—untuk menyebut beberapa “kata-kunci” mereka. Momen yang mereka pilih, tentu saja, menjelang perhelatan politik semacam pilkada atau pilpres (politiksektarian). Kita tentu masih ingat, selain Triomacan2000, ada Rizieq Shihab (FPI) yang kerap mengobarkan sentimen-sentimen bernuansa SARA, dan seterusnya.

Ada yang mengatakan, motif politik atau ekonomi yang mendikte mereka. Barangkali, penilaian itu tak sepenuhnya salah. Tapi, ada yang sepertinya luput dari perhatian kita semua, agenda mereka yang lebih besar dari sekedar pemenangan kandidat tertentu: Islamic State ataupun khilafah Islamiyah.

Saya kira, menjelang pilpres kemarin, dan kembali berulang pada saat pilkada Jakarta, pada aras diskursus, ada dua narasi besar yang memang sengaja dihadapkan: narasi kebangsaan vs. narasi keislaman.

Tak usah saya sebutkan, kelompok atau ormas apa saja yang berdiri di kubu kebangsaan. Kita semua sudah tahu. Jika pun kita yang merasa agamis ragu, KHA Mustofa Bisri, punya beberapa patah kata yang menunjukkan bahwa nalar kebangsaan mendasari nalar keagamaan: “Kita ini adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Kita bukan orang Islam yang kebetulan dilahirkan di Indonesia.”

Yang terpenting, yang perlu saya kupas di sini, pada pihak islamisme, sebentuk Islam ideologis dalam pengertian popperian (Terorisme dan Matinya Nalar Kritis, www.jalandamai.org), ada dua varian besar: islamisme birokratik dan islamisme kerakyatan.

Yang pertama, berupaya melakukan formalisasi Islam, lazimnya menyasar kalangan menengah ke atas. Mereka cenderung memanfaatkan otoritas dan fasilitas negara. Terbongkar dan dibubarkannya HTI beberapa waktu lalu—di mana banyak pihak, dari mulai guru, dosen, dan birokrat menjadi anggota atau sekedar simpatisannya—telahmembuktikan hal itu. Pun kasus-kasus diskriminasi di lembaga pendidikan umum dan negeri, semisal pemaksaan jilbab dan keharusan mengikuti kegiatan ibadah keagamaan tertentu, juga semakin menguatkan hal ini.

Yang kedua, cenderung menyasar kalangan menengah ke bawah, yang lazimnya, dengan memanfaatkan keserbakekurangan mereka. Adakah yang masih ingat, temuan-temuan para peneliti PAKAR, bahwa 41 masjid di 16 provinsi terbukti menjadi penyebar ideologi IS (Islamic State) (www.beritagar.id 22/08/2017)?

Sindikat Saracen, atau Triomacan2000 dahulu, hanyalah semacam “pengarah cerita.” Adapun aktor-aktor lapangannya adalah ormas-ormas atau sekedar simpatisan-simpatisannya yang memiliki rekam jejak radikal.

Adakah keterkaitan nyata di antara keduanya, Saracen sebagaibuzzer dan ormas radikal sebagai aktor lapangan? Ataukah sekedar—untuk meminjam istilah Deleuze—“musical accord” di antara keduanya?

Ada satu satu teori manakala di sepotong momen, hal-hal yang sekilas berbeda dan bahkan bertentangan dalam cara dan gaya menemukan accordance. Foucault menamakan hal ini sebagai episteme.

Taruhlah di awal abad IX, kapitalisme dan komunisme, adalah dua hal yang secara sekilas bersitegang. Tapi, sejatinya, mereka berdenyut di atas episteme yang sama. Episteme adalah hal yang membuat sesuatu dapat atau tidak dapat dikatakan (pun dilakukan).

Dalam film Matrix, ada sebuah dialog di mana Morpheus, sesosok karakter yang telah “melek” atas apa yang terjadi di sekitarnya, berupaya memilih, membebaskan, dan meyakinkan Neo—yang diperankan oleh Keanu Reeves—sebagai sesosok avatar. “What is ‘real’? How do you define ‘real’? If you’re talking about what you can feel, what you can smell, what you can taste and see, then ‘real’ is simply electrical signals interpreted by your brain?”

Setiap hari, setiap menit, kita dihisap oleh informasi-informasi yang seduktif. Mereka selalu meyakinkan kita, bahwa makanan itu manis atau asam, contohnya.

Ada contoh lain dengan nuansa yang sama. Ketika saya SD, ada sebuah iklan, sebuah penanaman informasi, pemaksaan selera. Sebuah body lotion. Di iklan itu ditanamkan informasi dengan disertai visualisasi tertentu. Dan iklan itu meyakinkan, bahwa kecantikan perempuan itu adalah “kuning langsat.”

Menginjak, SMA, konsep kecantikan perempuan itu bergeser, tak lagi “kuning langsat.” Tapi, “putih bengkoang.”

Kenapa tidak “hitam manis” atau bahkan “hitam legam,” misalnya? Untuk meminjam “otak” Foucault kembali, di tiap zaman, senantiasa ada yang namanya subjektivikasi sebagai produk dari relasi pengetahuan/kekuasaan, ada politik diskursif. Bahwa, akhirnya, di tiap periode, senantiasa ada yang namanya proses eksklusi. Ketika rezim “kebenaran” menahbiskan bahwa “kuning langsat” atau “putih bengkoang” sebagai satu-satunya ukuran kecantikan perempuan, maka “hitam manis” ataupun “hitam legam” akan dianggap tak layak mengada, kuno—enyah. Secara diskursif, “hitam manis” adalah hal yang subversif, yang dapat mengacaukan jagat politik pencitraan.

Ada baiknya kita merenung beberapa kejadian, yang secara epistemik, saling berkaitan akhir-akhir ini. Semenjak pilpres 2014, kembali berulang saat pilkada Jakarta, hate speech, bullying, bahkan penghinaan kebablasan terhadap figur-figur yang dikenal memiliki komitmen kebangsaan yang kuat—Bung Karno, Buya Syafii Maarif, ikon NU semisal Gus Mus, dan yang terkini, Jokowi—tak terlalu berlebihan rasanya berkesimpulan bahwa ini adalah sebentuk radikalisme keagamaan ngepop.

Ada beberapa karakteristik mindset gerakan-gerakan radikal ngepop semacam ini. Pertama, dekultusisasi: kecenderungan mereka untuk seolah-olah menghendaki atau menuntut adanya egalitarianisme. Kedua, desakralisasi: proses ini berangkat dari prinsip bahwa tak ada yang sakral, tak ada yang berwibawa, tak ada yang pantas dihargai. Maraknya hate speech, caci-maki ke apapun dan siapa pun yang selama ini diposisikan sebagai orang, kelompok, atau pandangan hidup yang patut diapresiasi—entah karena kontribusi mereka terhadap masyarakat luas, dan seterusnya.

Saya masih ingat kebiasaan kaum wahabi-takfiri di masa lalu—dan saya kira juga kini dengan cara dan gaya yang ngepop: hate speech, penistaan figur-figur yang dianggap berjasa bagi masyarakat luas seperti di atas, pembongkaran makam-makam, pencacimakian, bahkan upaya pemberangusan terhadap “warisan-warisan” mereka.

Soal topeng egalitarianisme mereka, hanyalah salah satu cara untuk mencari pengikut. Sejatinya, mindset-mindset radikal keagamaan tak pernah percaya pada egalitarianisme. Taruhlah wahabisme, ia justru berselingkuh dengan dinasti Sa’ud di Arab Saudi, yang menjadi ideologi resmi kerajaan. Adakah egalitarianisme di Arab Saudi hingga kini?

Dus, kaum-kaum radikal keagamaan, dari dulu dan kini, tak berubah dalam hal mindset. Di era kontemporer, mereka bisa memakai “gincu” apa saja: egalitarianisme, demokrasi, fashion, konsumerisme, ataupun gender. Maka, adakah yang masih berpendapat, bahwa sindikat Saracen, hanyalah bertujuan politik jangka pendek?

Itulah sekelumit logika bagaimana “kebohongan” berupaya diproduksi, dipelihara, dan dipertahankan sebagai sebuah “kebenaran.”

Sepertinya, pada aras ini, kita dapat bertanya lagi. Lantas, di manakah letak narasi kebangsaan, jika pada sepotong momen, semua orang atau semualanguage game bergerak di atasepisteme yang sama?

Ada kisah yang saya kira dapat menerangi belantara politik diskursif semacam ini. Pada tahun 2008, saat kalangan Ahmadiyah ditindas, diberangus hak-hak konstitusional mereka, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, salah satu tokoh penting di belakang AKKBB, bersama para pengikutnya, berupaya membela para pengikut Mirza Ghulam Ahmad tersebut. Tentu, soal membela hak-hak konstitusional kaum minoritas, Gus Dur adalah salah seorang pendekarnya. Bentrokan pun terjadi.

Ada yang bilang, biasanya datang dari kalangan revivalis keagamaan yang memang dikenal steril dalam bersikap—untuk tak mengatakannya oportunistik. Bahwa peristiwa monas hanyalah pengalihan isu atas kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM.

Apakah Gus Dur dan para pengikutnya tak paham soal sesederhana itu? Kita semua sudah tahu jawabannya. Ada yang lebih mendasar dari sekedar tuduhan diplekotho pemerintah: konstitusi.

*) HeruHarjo Hutomo