Hikayat Gus Dur dan Tuduhan Sangat Pro NonMuslim

Hikayat Gus Dur dan Tuduhan Sangat Pro NonMuslim

Hikayat Gus Dur dan Tuduhan Sangat Pro NonMuslim

Gus Dur dikenal sebagai tokoh agama dan tokoh demokrasi yang banyak bergaul dengan kalangan nonmuslim.

Ia mengunjungi gereja, wihara, pura, klenteng, sarasehan. Suaranya nyaring atas beragam diskriminasi yang mereka alami. Karena sikap dan pergaulannya itu ia dituduh terlalu dekat dengan nonmuslim ketimbang muslim.

Tuduhan ini bahkan biasanya dibarengi dengan argumen agama dengan mencomot ayat al-Quran. Sebagai umat Islam seharusnya Gus Dur, asyidda’u ‘ala al-kuffar, ruhama’u baina hum, keras terhadap orang kafir dan santun kepada sesamanya.

Bagaimana Gus Dur menjawabnya? Enteng saja.

Keras terhadap orang kafir dalam ayat itu, terangnya, bukan orang-orang non muslim.

Tapi, kaum kafir yang memerangi Islam. Di ayat ini konteksnya kaum kafir Makkah. Keduanya terang-terangan berbeda: kafir dan nonmuslim.

Apa juga kesantunan (ruhama) menurut Gus Dur?

“Esensi saling menyantuni justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi satu sama lain.”

Tentu saja upaya mengoreksi itu sering tidak mengenakan.

Gus Dur memberi contoh untuk memperkuat pandangannya. Nabi Muhammad pernah berkata, law sarakat fathimatu bintu rasulillah laqatha’tu yadaha, andai Fathimah anak perempuan Rasul mencuri maka bakal ku potong tangannya.

Santunkah perbuatan Rasul ini?

“Santun! Karena beliau menyayangkan kalau-kalau Fathimah terjerumus lebih jauh,” jawab Gus Dur dengan amat meyakinkan seperti ditulisnya dalam “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”. “Apakah kalau tidak menyenangkan satu pihak dianggap tidak santun kepada (umat) Islam?”.

Di salah satu wawancara yang sempat saya baca, Gus Dur pernah bilang sedih juga dianggap tak mencintai Islam.

“Kalau saya tidak cinta Islam untuk apa saya mengurus NU dengan ribuan pesantren dan puluhan juta umat”.