Hijrah yang Sesuai dengan Akhlak Nabi

Hijrah yang Sesuai dengan Akhlak Nabi

Hijrah itu ada caranya, salah satunya meniru akhlak Nabi

Hijrah yang Sesuai dengan Akhlak Nabi

Hijrah artinya adalah meninggalkan. Makna hijrah ada dua: meninggalkan secara fisik dan meninggalkan secara perbuatan.

Makna meninggalkan secara fisik adalah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti hijrahnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dari Mekah ke Madinah (QS An-Nisa 100). Namun kewajiban hijrah dalam makna ini sudah tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:

ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ، ﻗﺎﻟﺖ: ﺳﺌﻞ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ اﻟﻬﺠﺮﺓ، ﻓﻘﺎﻝ: «ﻻ ﻫﺠﺮﺓ ﺑﻌﺪ اﻟﻔﺘﺢ، ﻭﻟﻜﻦ ﺟﻬﺎﺩ ﻭﻧﻴﺔ، ﻭﺇﺫا اﺳﺘﻨﻔﺮﺗﻢ ﻓﺎﻧﻔﺮﻭا

Aisyah berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ditanya tentang hijrah. Nabi menjawab: “Tidak ada kewajiban hijrah setelah Makkah ditaklukkan dari orang kafir. Namun masih ada jihad dan niat. Jika kalian diperintahkan maka berangkatlah berjihad” (HR Bukhari dan Muslim)

Makna berikutnya adalah berpindah / hijrah secara perbuatan. Berdasarkan hadis:

ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ، ﻳﻘﻮﻝ: ﻗﺎﻝ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻣﻦ ﺳﻠﻢ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﻟﺴﺎﻧﻪ ﻭﻳﺪﻩ، ﻭاﻟﻤﻬﺎﺟﺮ ﻣﻦ ﻫﺠﺮ ﻣﺎ ﻧﻬﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

Dari Abdullah bin Amr bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Hakikat orang Islam (yang sempurna) adalah terhindarnya umat Islam dari mulut dan tangannya. Hakikat orang hijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah” (HR Bukhari)

Berdasarkan hadis yang kedua ini, jika ada orang yang pernah melakukan hal-hal haram dalam agama lalu dia merubah perilaku menjadi lebih taat dan beramal baik, maka dialah orang yang sebenarnya berhijrah.

Namun faktanya mereka yang melakukan hijrah setelah bergabung dengan kelompok tertentu, bukanlah ‘pindah’ dari perbuatan haram, melainkan urusan-urusan yang dalam ranah khilafiyah, seperti tahlilan, celana cingkrang, atau soal musik yang masih menjadi perdebatan para ulama, baik yang mengharamkan secara mutlak atau yang membolehkan dengan beberapa syarat.

Justru mereka terjebak para klaim merasa ‘paling hijrah’ namun merendahkan sesama Muslim yang melakukan amalan yang berbeda dengan kelompoknya. Justru saat dia merendahkan sesama Muslim telah melangkah jauh dari kriteria Muslim yang sempurna, yaitu tidak menyakiti sesama Muslim dengan perkataan atau perbuatannya.