Peristiwa hijrah menjadi momentum bersejarah bagi umat Islam. Penafsiran mengenai konteksnya pun mengalami reproduksi makna yang majemuk.
Sebagian muslim mengekspresikannya secara simbolis, yaitu sebagai titik tolak bermutasi, melangkahkan kaki menuju zona baru. Sebagian mengartikannya melampaui batasan-batasan teritori inderawi, iya hijrah ibarat usaha mengarungi garis demarkasi yang kelam menuju gerbang pencerahan, aufklaerung dan semacamnya.
Namun yang penting bahwa, hijrah Nabi ke Madinah seharusnya memberi banyak inspirasi bagi umat Islam mengenai diskursus tentang toleransi. Iya karena di Madinah inilah lahir kemudian Piagam Madinah ~perjanjian Nabi Muhammad SAW bersama kaum Yahudi-Nasrani Bani Qainuqa’, Bani Nadzir, Bani Quraidlah, Bani Auf, bersama-sama kaum Muslimin dalam membentuk konsepsi city-state di Madinah.
Melalui Piagam Madinah ini, maka dijamin tidak ada segresi dan alienasi bagi non-muslim. Mereka, Yahudi dan Nasrani diberikan status “dzimmi” (minoritas yang dilindungi), suatu status yang memberikan perlindungan militer dan sipil bagi mereka selama menghormati hukum dan supremasi negara Madinah. Mereka diberikan kebebasan penuh untuk menjalankan urusan agama, sosial dan ekonomi.
Tidak ada slogan anti non-muslim yang tumbuh. Tidak ada kebencian yang berpeluang lahir dari perbedaan etnis antar bani-bani antar suku-suku. Madinah adalah cerminan paling ideal negara multikultural. Inilah kenapa rujukan etimologis mengenai idealitas sebuah negara multikulturalisme mengarah kepada terma “madani”.
Seharusnya masyarakat Indonesia belajar dari spirit Piagam Madinah ini. Eh, sudah seberapa ideal (madani) kah hijrahmu?