Hijrah Kekinian

Hijrah Kekinian

Bagaimana sih hijrah kekinian dalam lanskap psikologi? Yuk simak analisis berikut ini

Hijrah Kekinian

Fenomena hijrah semakin berkembang. Pada dasarnya, fenomena ini bukanlah hal yang baru. Hanya saja, ketika jaman semakin modern, arus informasi (terutama informasi keagamaan) semakin kencang, pengetahuan keagamaan semakin mudah didapatkan, fenomena hijrah menemui titik kulminasinya. Banyak artis yang mengikuti trend hijrah dan kemudian (dianggap) menjadi ustadz.

Hijrah pada dasarnya memiliki arti berpindah dan meninggalkan. Secara umum, hijrah dimaknai sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang kurang baik menuju sesuatu yang lebih baik. Pada jaman Nabi Muhammad SAW, hijrah dilakukan dengan cara berpindah tempat dari suatu kota menuju kota lain, misalkan dari Mekah menuju Madinah. Hijrah ini diperintahkan oleh Tuhan dengan beberapa alasan. Di samping alasan keamanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang sudah memeluk Islam, juga karena Madinah dianggap sebagai kota yang lebih sesuai (dibandingkan Mekah) untuk mengembangkan peradaban Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Pada saat ini, hijrah tidak harus dilakukan dengan berpindah tempat. Akan tetapi, hijrah dapat diwujudkan dengan meninggalkan kebiasaan dan perilaku yang dianggap kurang baik dan kemudian menghiasi diri dengan perilaku yang baik. Di satu sisi, fenomena hijrah ini patut mendapatkan apresiasi. Ketika semakin banyak orang yang berhijrah, ini artinya semakin banyak pula antusiasme orang untuk memperdalam agama Islam. Akan tetapi, di sisi lain fenomena hijrah ini menemukan tantangannya.

Pertama, terkadang kuantitas orang yang berhijrah tidak berbanding lurus dengan kualitasnya. Sebagian orang yang berhijrah benar-benar mendalami agama Islam dan kemudian mendakwahkannya. Sedangkan, sebagian lagi berhijrah dengan niat yang benar akan tetapi disertai sikap berdakwah yang kurang tepat. Misalkan, kita masih ingat fenomena ustadz Evie Effendi yang menganggap Nabi Muhammad SAW pernah tersesat (secara akidah) sebelum diberikan wahyu oleh Allah SWT.

Penafsiran tersebut berbeda jauh dengan penafsiran para ulama mufasir. Maka, tak heran jika perkataannya dalam suatu kajian tersebut menuai protes. Contoh lagi, Teuku Wisnu seorang artis yang kemudian berhijrah dan menjadi presenter di salah satu acara keagamaan pernah mengatakan mengadzani bayi itu tidak ada dalil sahih. Perkataannya pun bertentangan dengan pendapat para ulama yang lebih berkompeten, sehingga memunculkan beragam protes.

Kedua, terkadang sikap hijrah dilakukan secara berani, dengan wujud menjadi penceramah. Padahal, hasil akhir dari hijrah tidak harus menjadi penceramah. Akan tetapi, euforia untuk berubah kepada perilaku yang lebih baik ini terlalu berlebihan sampai membawa seseorang pada tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi sehingga menjadikannya sebagai penceramah. Ironisnya, keberanian untuk menjadi penceramah ini tidak disertai dengan keberanian dalam mempelajari Islam secara mendalam dan luas.

Beberapa di antara mereka mempelajari Islam secara instan, mengaku belajar dari Nabi namun faktanya justru belajar Islam lewat teknologi (misalkan, youtube) dan lewat buku-buku terjemah. Akhirnya, menjadikannya penceramah yang perkataannya sering bertolak belakang dengan fatwa para ulama dan kehilangan etika berdakwah.

Ketiga, euforia hijrah ini hendaknya mengajarkan untuk tidak memandang rendah orang lain yang dianggap belum berhijrah. Dengan demikian, tidak ada pemaksaan bahkan cacian terhadap orang lain yang belum berhijrah. Berdakwah itu artinya mengajak, bukan memaksakan. Secara psikologis, ada potensi munculnya dorongan untuk mendorong orang lain berhijrah karena orang yang sudah berhijrah dapat merasakan kenikmatan agama.

Hanya saja, dorongan ini hendaknya dibatasi agar tidak menjadi pemaksaan, serta memunculkan sikap mengajak yang elegan. Selain itu, euforia hijrah jangan sampai hanya menjadi tren “berganti cara berpakaian” saja, tetapi juga diikuti dengan upaya memperdalam agama Islam dengan seseorang yang dianggap berkompeten dalam ilmu agama dan memiliki mata rantai keilmuan yang jelas.

Harapannya, tentu saja, fenomena hijrah kekinian ini bisa menjadi tambahan kekuatan bagi Islam untuk membangun peradaban yang lebih manfaat dan maslahat. Semoga.