“Karena mati-matian ingin memaknai hidupnya, banyak orang beralih pada agama, sebab perjuangan atas nama iman selalu bisa menjadi pembenaran atas tindakan megah yang bakal mengubah dunia. “Kami sedang melakukan pekerjaan Tuhan,” kata mereka dalam hati. Dan mereka pun menjadi pengikut-pengikut yang saleh, lalu pewarta agama, dan akhirnya, orang-orang fanatik. Mereka tidak paham bahwa agama diciptakan untuk saling berbagi misteri dan memuja, bukan untuk menindas dan mengubah agama orang lain.”
Jika Anda mengira bahwa kutipan di atas saya ambil dari tulisan nyinyir seseorang terkait dengan fenomena hijrah yang sedang ngetrend saat ini, maka saya sarannkan Anda untuk jangan terlalu baper dulu. Kutipan itu ada pada sebuah manuskrip kuno (diperkirakan ditulis pada 1307 M) yang berasal dari kota Accra, Mesir. Manuskrip ini ditemukan oleh arkeolog Inggris, Sir Walter Wilkinson, yang kemudian diterjemah oleh sastrawan Brazil, Paulo “The Alchemist” Coelho, dengan judul Manuscrito Encontrado em Accra. Tentu saja, saya membaca versi indonesia-nya yang diterbitkan Gramedia dengan judul Manuskrip yang Ditemukan di Accra.
Manuskrip ini berisi catatan seorang pemuda Kristen usia dua puluh satu tahun di malam terakhir sebelum Yerusalem dihancurkan tentara salib esok paginya. Sang pemuda menyebut peristiwa itu bertahun Masehi 1099, berarti sebelas tahun sebelum wafatnya hujjatul Islam Imam al-Ghazali.
Dia mengisahkan bahwa selama ini umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dalam dami. Mereka bertekad akan mempertahankan Yerusalem dari serbuan tentara salib. Sekalipun mereka tahu mereka akan kalah, sebagian besar penduduk Yerusalem memilih bertahan dan melawan pasukan salib. Tentara Muslim berkumpul di Masjid al-Aqsa, pasukan Yahudi berkumpul di Mihrab Dawud, dan tentara Kristen kebagian mempertahankan wilayah selatan kota. Esok paginya pasukan salib itu akan menyerang Yerusalem, menumpahkan darah penduduknya atas nama “Paus” dan “kehendak Tuhan”.
Sang pemuda mengisahkan bahwa di waktu senja menjelang malam terakhir itu, sekelompok laki-laki dan perempuan berkumpul di lapangan tempat Pontius Pilatus menyerahkan Yesus kepada orang banyak untuk disalibkan seribu tahun lalu, sambil mengelilingi sang Guru dari Yunani. Di samping sang Guru, duduk pula seorang rabi, imam, dan pendeta. Sang Guru sendiri bukanlah penganut Yahudi atau Nasrani atau Islam. Dia hanya meyakini adanya Tuhan, Energi Ilahi yang mengatur alam semesta dengan hukumnya, yang jika hukum-Nya dilanggar, maka kiamatlah dunia. Selama ini, tak ada seorang pun yang membujuk sang Guru untuk memeluk salah satu dari tiga agama tersebut.
Manuskrip Accra itu berisi catatan kata-kata bijak sang Guru yang diajarkan pada orang-orang yang mengelilinginya mulai senja hingga malam menyelimuti kota. Mereka bertanya kepada sang Guru tentang kekalahan, kesendirian, hingga cinta dan perang. Kutipan di awal tulisan ini adalah bagian dari jawaban sang Guru terhadap pertanyaan yang dilontarkan seorang laki-laki yang merasa hidupnya tak berguna.
Jika jawaban sang Guru itu terasa menohok kita saat ini, itu karena ada dua kemungkinan. Pertama, jawaban-jawaban bijak sang Guru adalah rekam jejak dari nilai-nilai kemanusiaan universal yang selalu abadi. Atau kedua, karena perilaku kita saat ini tidak beranjak dari kelakuan manusia seriba tahun yang lalu.
Marilah kita sejenak merefleksi cara kita beragama saat ini dengan membandingkan perilaku tentara salib yang menyerbu Yerusalem atas nama “kehendak Tuhan”. Tidak jarang, agama kita hayati dengan cara merendahkan dan menundukkan orang lain karena kita menganggap diri kita adalah wujud dari kebenaran. Marilah kita lihat fenomena hijrah. Hijrah yang awalnya bermakna berpindah secara geografis (migrasi), kini memiliki makna baru, yaitu fenomena seorang Muslim yang selama ini merasa hidupnya bergelimang dalam nafsu duniawi kemudian ingin menjadi seorang Muslim yang taat. Kurang lebih seperti itulah makna hijrah yang sedang ngetrend saat ini.
Sampai di titik ini, tidak ada yang salah dengan seseorang yang memutuskan berhijrah. Namun, ada sebuah jebakan halus yang bisa membuat seseorang tidak merasa bahwa dia telah terjerembab ke dalam kesombongan dalam beragama. Karena hijrah ini dianggap sebagai titik penting terkait dengan pencarian makna hidup seseorang, maka ada kecenderungan untuk jatuh pada cara beragama yang berlebih-lebihan. Misalnya, agar merasa terputus dari sejarah masa lalunya, seseorang yang berhijrah cenderung menempeli dirinya dengan simbol-simbol keagamaan sampai agama kehilangan nilai substansinya. Ada juga kecendertungan untuk menghina dan merendahkan orang-orang yang tidak mengikuti jalannya. Langkah berikutnya, dia biasanya akan menjadi penceramah dadakan yang senang mengecam orang lain yang dianggapnya masih tersesat.
Diam-diam, dia meyakini bahwa apa yang dilakukannya pada dasarnya adalah melakukan pekerjaan Tuhan. Dia meyakini dirinya sebagai manusia yang dititahkan Tuhan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya. Karena dia merasa mewakili Tuhan, maka kebenaran Tuhan ada pada dirinya. Di luar dirinya adalah kesesatan yang kelam. Lalu, dimulailah apa yang diyakininya sebagai pekerjaan Tuhan: menundukkan siapa saja untuk mengikuti dirinya karena dirinya adalah manifestasi kebenaran Tuhan itu sendiri.
“Dan mereka pun menjadi pengikut-pengikut yang saleh, lalu pewarta agama, dan akhirnya, orang-orang fanatik. Mereka tidak paham bahwa agama diciptakan untuk saling berbagi misteri dan memuja, bukan untuk menindas dan mengubah agama orang lain,” kata sang Guru.[]