Hijrah dan Perdamaian

Hijrah dan Perdamaian

Hijrah dan Perdamaian

Tahun ini kita memasuki tahun baru Islam 1439 Hijriyah. Pergantian tahun ini dimulai sekitar 14 abad yang lalu ketika Nabi Muhammad Saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, tepatnya pada tanggal 1 muharram, peristiwa hijrah nabi ini lah yang menandai pergantian tahun yang dikenal dengan sebutan tahun Hijriyah.

Banyak pelajaran yang terkandung dalam peristiwa hijrahnya Muhammad. Hijrah dimaknai sebagai perjuangan untuk lepas dari segala ketertindasan atas perilaku kaum Quraisy yang memusuhi nabi dan umat Islam. Hijrah juga bermakna upaya untuk membangun peradaban kembali, peradaban Islam yang menebar kebaikan dan terlepas dari keterpurukan di Madinah al Munawaroh.

Pergantian tahun hijriyah kali ini memiliki makna spesial, karena jika dikonversi ke kalender masehi, 1 muharam jatuh bertepatan dengan tanggal 21 September 2017, yakni tanggal yang diperingati oleh seluruh warga dunia sebagai hari perdamaian internasional (International Peace Day).

Pada tanggal ini seluruh masyarakat dunia diserukan untuk menghentikan pertikaian dan peperangan. Di tanggal ini pula, masyarakat international menginisiasi sebuah gerakan global untuk bersama-sama memperingati Hari Perdamaian Dunia melalui semangat untuk mempromosikan rasa hormat, keamanan dan martabat bagi sesama manusia.

Gerakan dan kesadaran seperti di atas tentu penting untuk dilakukan, terlebih karena akhir–akhir ini sentimen dan kebencian telah mewarnai kehidupan sosial kita. Baik di dunia nyata maupun dunia maya. Atmosfer agitasi dan provokasi semakin hari semakin menguat. Hari ini orang tidak lagi malu dan merasa bersalah menghina satu sama lain, merendahkan dan menghilangkan hak-hak orang lain. Masyarakat saat ini bebas berselancar di media tanpa terbebani etika dan norma-norma kemanusiaan yang hakiki.

Di sisi lain, di seberang sana banyak saudara-saudara kita yang berjuang mempertahankan hidup, meregang nyawa menjadi korban akibat konflik dan peperangan tak berkesudahan. Semua orang tentu sadar bahwa kondisi seperti itu hanya menyisakan bertumpuk pilu dan penderitaan. Perang berkepanjangan di Timur Tengah dan konflik di Rohingnya menjadi catatan tersendiri perjalanan peradaban saat ini.

Lantas, apakah ini berarti manusia telah kehilangan naluri kemanusiaan?

Manusia memiliki seribu satu alasan untuk membenarkan konflik. Tetapi, jika Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk hijrah dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang, maka saling memaafkan dan damai adalah sebuah jawaban kongkret untuk mengakhiri pertikaian dan konflik. Menjadi manusia pemaaf adalah bagian dari upaya nyata untuk menjaga membangun kerukunan dalam hidup bermasyarakat.

Dalam al-Quran Allah telah menegaskan, “Berdamailah, hal itu lebih baik dari pada bercerai” (An Nisa : 128). Allah Swt berkali-kali menyebutkan kata “ishlah” yang berarti berdamai dalam banyak ayat. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhori Muslim disebutkan “Menjadi penengah kedua orang yang sedah berselisih adalah sedekah.”

Jika mendamaikan orang yang sedah berselisih merupakan bentuk dari sedekah, maka seharusnya hal tersebut menjadi spirit pada diri kita untuk berlomba-lomba menjadi pelopor perdamaian di dunia.

Damai tidak hanya terbatas pada seruan, atau upaya dari pihak luar untuk menguatkan sinergitas satu sama lain. Di era modern saat ini, damai sudah sepatutnya menjadi gaya hidup sehari-hari. Dengan gaya hidup ini, niscaya kita akan merasakan betapa nikmat kehidupan jika dipenuhi dengan atmosfer kehidupan yang positif, dukungan satu sama lain, dan energi kehidupan yang dipenuhi oleh sikap saling menghargai sesama.

karenanya, sebaik-baik hijrah adalah menyuarakan perdamaian.

Selamat tahun baru Hijriah, selamat perdamaian dunia; mari berhijrah untuk hidup yang lebih bergaya.