Setelah Rasulullah saw tidak dapat membentuk basis Islam yang tangguh di Mekkah, beliau mengalihkan perhatiannya ke Madinah dengan motivasi undangan bani Aus dan Khazraj. Melalui perjanjian al-Aqabah I dan II antara Rasulullah saw dengan delegasi penduduk Madinah sebelumnya, pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1 H/24 September 622 M, Rasul bersama Abu Bakar sampai di Madinah, yaitu suatu kota yang terletak kira-kira 270 mil sebelah utara Mekkah, dan berada pada ketinggian 2050 kaki di atas permukaan laut (Majid Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, h. 105).
Di Madinahlah Rasulullah saw mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima oleh semua pihak dalam menangani segala urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Madinah adalah pluralistik sifatnya, baik dari segi ras maupun agama. Di Madinah terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum muslimin emigran dari Mekkah (Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, h. 19).
Untuk menyatukan karakteristik masyarakat Madinah yang heterogen, Rasulullah saw membuat sebuah konstitusi berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Rasulullah saw itulah yang dikenal dengan Konstitusi Madinah atau Shahifah, yakni suatu undang-undang dasar (UUD) yang mengikat anggota masyarakat Madinah dengan perjanjian. Karenanya, masyarakat Madinah sering disebut “masyarakat Shahifah” (Barakat Ahmad, Muhammad and The Jews, A Re-Examination, h. 39).
Dengan demikian, pembentukan masyarakat politik di Madinah lebih merefleksikan nilai-nilai demokratis, sebab wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi, yaitu sumber wewenang dan kekuasaan tidak terletak pada keinginan dan keputusan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama. Dari sini tergambar bahwa di dalam konstitusi Madinah termuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kenegaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia (Nurcholis Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, h. 590). Dapat ditegaskan, Konstitusi Madinah merupakan basic political principles (prinsip-prinsip dasar politik) dalam menghadapi kemajemukan masyarakat Madinah.
Konstitusi Madinah
Pembentukan masyarakat politik di bawah Konstitusi Madinah adalah ide pokok Rasulullah saw dalam mengimplementasikan tatanan sosial politik yang mengenal pendelegasian wewenang, yaitu adanya tatanan sosial dan politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin. Namun di sini diperintah oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen konsensus dasar semua anggota masyarakat, yaitu wujud Konstitusi.
Konstitusi Madinah yang dikeluarkan pada awal dekade ketiga abad ke-7 M, secara eksplisit telah mengenalkan ide-ide politik yang sangat revolusioner dan etis terhadap masyarakat Madinah saat itu, sehingga mendukung inisiatif Rasulullah saw untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai (co-existence). Dikeluarkannya Konstitusi Madinah jelas memiliki tujuan strategis, yaitu mewujudkan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan kultur seluas-luasnya. Munculnya Konstitusi Madinah dalam membentuk masyarakat politik, adalah gerakan revolusi terhadap kondisi sosial di Madinah. Dikatakan revolusioner, karena semua penduduk Madinah bersama para emigran Mekkah dikategorikan sebagai satu umat berhadapan dengan manusia lain (ummatan wahidah min duni al-nas) (Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Piagam Madinah dan Konvergensi Sosial,” h. 18).
Heterogenitas masyarakat Madinah waktu itu (ras, suku, dan agama) dipersatukan di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, dan itulah yang dinamakan ummah. Secara konotatif, kata ummah sering dinisbatkan kepada komunitas muslim, tetapi sesungguhnya istilah ummah lebih bersifat umum dan berlaku bagi sebuah komunitas tanpa dibedakan dengan nama agama. Misalnya ummah diidentikkan dengan masyarakat Indonesia, padahal penduduk di negeri ini plural, khususnya dari sisi agama: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Barakat Ahmad mengatakan: “While the orientalists differ as regards the development of the term in the Qur’an, some Muslim scholars assert that the term ummah describes the community of Muslim, but this is only partly true. It describes the de facto position. In theory the use of the term ummah during the major portion of the Apostle’s career was not restricted to Muslims alone” (Para orientalis membedakan perkembangan istilah ummah dalam al-Qur’an. Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim, tetapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto. Secara teoretis, penggunaan istilah ummah adalah selama karir kerasulan, dan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja) (Muhammad and The Jews, A Re-Examination, h. 39).
Kata ummah dalam Konstitusi Madinah dapat diinterpretasikan sebagai “negara” dengan mengacu kepada QS Ali ‘Imran/3:104 dan 158. Dalam ayat tersebut, ummah identik dengan masyarakat yang mengemban suatu fungsi tertentu, yaitu menyelenggarakan keumatan dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta keharusan menyelenggarakan musyawarah. Dari sini tergambar bahwa istilah ummah dapat diartikan sebagai kelompok tertentu yang menjadi wakil masyarakat. Pembentukan kelompok ini akhirnya menjelma menjadi suatu pemerintahan atau negara. Masyarakat Madinah, walaupun beragam dalam segala hal namun mereka adalah umat yang satu. Kaum Yahudi menjadi satu ummah dengan kaum Muslimin di bawah Konstitusi Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw menyusun suatu perjanjian untuk mendapatkan ketetapan-ketetapan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah negara teologis. Dalam hal ini semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi serta kebiasaan mereka masing-masing.
Dengan demikian, dokumen Konstitusi Madinah memberikan dua landasan. Pertama, menjamin otonomi bagi kelompok yang beragam, yakni kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan adat istiadat, tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada pemaksaan kehendak. Ini menjadi bukti bahwa dalam politik dan pemerintahan, Rasulullah saw tidak menggunakan otoritas teologis.
Dari catatan sejarah dapat diketahui, Rasulullah saw dalam melakukan perjalanan hijrah ke Madinah telah merealisasikan dua aktivitas penting, yaitu mendirikan masjid di Quba dan city state di Madinah (Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 119). Dua peristiwa tersebut membuktikan bahwa Rasulullah saw sejak semula telah melaksanakan dua doktrin pokok dalam Islam, yaitu hubungan vertikal dengan Allah (hablun min Allah) dan hubungan khorizontal dengan sesama manusia (hablun min al-nas).
Secara sosiologis, kondisi masyarakat Madinah memang sangat memerlukan seorang pemimpin yang dapat membebaskan cengkraman dendam permusuhan yang berkepanjangan. Terpilihnya Rasulullah saw sebagai pemimpin di Madinah merupakan prestasi dalam karir politik, sebab tidak ada pertimbangan mengangkat seorang pemimpin berdasarkan rasa kasihan. Keluhuran budi pekerti dan kecakapan politik Rasulullah saw itulah yang menawan hati orang-orang Madinah (Fazlur Rahman, Islam, h. 13).
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Di sanalah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang merdeka di bawah pimpinan Rasulullah saw. Di Madinah terdapat pula komunitas-komunitas lain, yaitu kaum Yahudi dan sisa suku-suku Arab yang belum mau menerima Islam, serta masih tetap memuja berhala (Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, h. 10). Ini berarti, umat Islam di Madinah merupakan bagian dari suatu masyarakat majemuk.
Dalam menjalani kehidupan sosial yang majemuk itu, umat Islam di Madinah terikat dengan perjanjian yang tertuang di dalam Konstitusi Madinah. Mereka senantiasa taat dan komitmen terhadap undang-undang dasar yang telah disepakati agar hidup berdampingan, damai dan toleran. Pasal 25 Konstitusi Madinah menyebutkan: “bagi orang Yahudi, agama mereka, dan bagi kaum Muslimin, agama mereka pula.” Rumusan ini adalah pengakuan atas keberadaan agama lain, yakni bebas menganut agama dan kepercayaan masing-masing. Sejalan dengan penegasan al-Qur’an: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam… “ (QS al-Baqarah/2:256).
Konstitusi Madinah telah memberikan landasan yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, yaitu kebebasan untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, serta persamaan hak bagi semua orang. Seluruh masyarakat Madinah memiliki status hukum yang sama, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Keberadaan kaum Yahudi sebagai kelompok minoritas di Madinah, tidak hanya diakui, tetapi juga memiliki kedudukan hukum yang sama seperti kelompok lainnya yang beragama Islam. Rasulullah saw sebagai kepala negara belum pernah melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti Yahudi di Madinah. Dalam Konstitusi Madinah ditegaskan bahwa kelompok minoritas Yahudi adalah bagian dari negara Madinah. Karenanya, mereka adalah penduduk sipil yang wajib dilindungi oleh negara.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial di Madinah sebelum hijrah Rasulullah saw tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di Mekkah, yakni barbar dan tidak teratur. Pelanggaran hukum merupakan kebiasaan sehari-hari, dan kabilah-kabilah yang tinggal di Madinah selalu berperang antara satu dengan lainnya. Tidak ada peraturan dan hukum yang mampu menengahi kemelut itu. Masyarakat Madinah sangat mendambakan seorang figur pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan dan konflik di sana. Kehadiran Rasulullah saw menjadi harapan besar masyarakat Madinah dapat membawa perubahan konstruktif, membebaskan dendam permusuhan yang telah lama mencekam, dan melahirkan civil society, yaitu masyarakat yang modern, demokratis, dan berperadaban. Sejarah mencatat, Rasulullah saw mampu melakukan pembinaan sistem sosial yang teratur bagi masyarakat Madinah, sehingga mereka mengerti cara hidup, bermasyarakat, dan bernegara. Output dari penataan sistem sosial di Madinah adalah terbentuknya masyarakat baru dan sebuah negara hukum. Karena itu, sangat beralasan jika Madinah bernama “al-Madinah al-Munawwarah”, kota yang penuh cahaya.