Awkarin berhenti jadi pesohor dan memilih jadi relawan di Palu yang luluh lantak akibat Bencana. Berita tentang Awkarin ini pun santer diperbincangkan publik hari-hari ini, khususnya anak-anak muda. Mulai dari masa lalu Awkarin sebagai sosok kontroversial hingga puja-puja pilihannya meninggalkan gemerlap bintang remaja kekinian.
Tiba-tiba, saya teringat satu kata yang selalu kita dengar dan begitu lekat dengan kehidupan muslim ini: Hijrah. Sebuah kata yang sebenarnya memiliki makna yang begitu luas tapi belakangan ditafsirkan hanya begitu sempit atau tak jarang hanya satu sisi belaka, yakni perpindahan seseorang menjadi lebih religius, lengkap dengan pelbagai ornamen pendukung religiusitas seseorang mulai dari cara berpakaian hingga postingan di media sosial.
Ya, Anda tidak salah baca. Dan, kalau tidak sibuk, boleh loh sebentar saja menggerakkan jari untuk mengetik makna hijrah di laman pencari maupun di situs ini tentang pelbagai ragam tafsir tentang kata ini yang tidak satu warna belaka.
Sederhananya, Anda bisa dikatakan berhijrah jika sudah berpakaian islami dan berperilaku islami pula.
Anda bisa jadi tidak sepakat ini, tapi rasa-rasanya kok perihal hijrah ini kita bisa melihat ke teman-teman di sekitar kita.
Tentu saja hal ini tidak menafikan bahwa mereka yang berhijrah ini hidupnya lebih tenang dan lebih baik. Dan, sebagai kawan, tentu kita senang.
Cuman, satu hal yang barangkali yang membuat saya berpiikir adalah, kerapkali mereka yang berhijrah ini merasa paling benar sendiri dan lebih islami dibanding yang lain. Tak jarang, mereka ini menganggap yang belum hijrah atau orang-orang yang beragama dengan biasa masih dalam keadaan ‘dosa’. Bahkan, beberapa kali justru malah intoleran. Paling tidak, itulah kerapkali cerita yang saya terima.
Ungkapan ini tentu saja tidak 100 persen benar dan bisa dengan gampang dengan membantahnya. Generalisasi itu tentu saja bermasalah. Tidak semua orang hijrah itu merasa paling benar dan islami. Banyak sekali loh orang yang hijrah tapi justru lebih peduli terhadap sekitar dan lebih tawadhu terhadap sesama. Ia hijrah bukan sekadar persoalan pakaian yang lebih islami atau postingan yang tampak religius semata.
Saya teringat sahabat saya bernama Nanda. Sudah tahun ini ia ‘berhijrah’. Yang menarik dari Nanda, justru ia lebih toleran dan peduli pada sesama selepas hijrah. Nanda bahkan menjadi aktivis dialog lintas agama.
“Gua merasa sih ada yang salah dalam diri gua. Gua harus hijrah, Bro, harus jadi orang lebih baik demi ortu gua, demi orang-orang sekitar gua,” tuturnya sekali waktu.
Dan, ia membuktikannya. Ia menjadi pribadi yang lebih baik. Ibadah keagamaannya pun kian intens.
Di titik ini, saya justru yakin, hijrah itu harusnya begini.
Karin Novilda atau Awkarin kukira juga melakukan hal sama. Memang, ia tidak hijrah ‘islami’ seperti Nanda atau orang-orang lain yang berhijrah, tapi paling tidak, ia telah memilih untuk lebih peduli kepada sesama dan meninggalkan segala gemerlap di saat yang tepat, ketika saudara-saudara kita di Palu atau daerah lain sedang kesusahan.
Semoga Istiqomah dan terus menebarkan kebaikan ya, Awkarin.