Tahun 1566, Nobunaga, salah seorang shogun yang paling berambisi mempersatukan Jepang, berusaha melancarkan serangan ke Provinsi Mino. Sayang, usahanya gagal. Dia menyimpulkan, bahwa satu-satunya jalan untuk menaklukkan provinsi tetangga itu adalah membangun benteng di Sunomata, sebuah desa yang terhampar di perbatasan Owari-Mino.
Usaha membangun benteng di lokasi musuh ini juga gagal. Dua kali membangun konstruksi benteng, dua kali pula lokasinya bersimbah darah akibat serangan musuh. Untuk kali ketiga, dia berencana membangun benteng. Kali ini, di menugaskan Hideyoshi, abdi setianya, yang bukan berlatarbelakang militer, sebagai pemimpin penaklukan.
Hideyoshi, yang tubuhnya kecil hingga lebih sering dipanggil monyet oleh kawan dan atasannya, memilih melakukan penaklukan dengan cara yang cerdik. Dia mengontak para profesional: penebang kayu untuk memotong kayu gelondongan; juru mudi untuk membawa potongan kayu ke hilir; tukang bangunan dan mandornya; pandai besi untuk membuat peralatan.
Persiapan kerja membangun benteng dirinci dengan detail. Para pengrajin di atas dipekerjakan secara disiplin dengan menggarap komponen-komponen benteng dengan detail yang menakjubkan. Bahkan untuk mempercepat proses pembangunan benteng, Hideyoshi memerintahkan anak buahnya agar memotong kayu di bukit sekitar Mino, di seberang sungai di kawasan musuh. Hasilnya, rangka benteng dipasang dengan cepat di tempat.
Dengan taktis, fondasi disiapkan, rangka ditiangpasangkan, lalu bangunan yang digarap di tempat lain tinggal diangkut dan dipasang di lokasi. Praktis, taktis, dan cepat. Benteng yang dibangun dengan konstruksi bongkar pasang! Sebuah proses prefabrikasi yang canggih di zamannya. Benteng Sunomata kemudian dikenal sebagai salah satu benteng terkuat milik klan Oda dan menjadi titik balik kemenangan Nobunaga di wilayah Mino. Legenda rakyat menyatakan, benteng dibangun dalam semalam. Sebuah proses yang dilebih-lebihkan, tentu saja, karena sejatinya butuh waktu enam minggu untuk merangkai dan memasang komponennya.
Eiji Yoshikawa menggambarkan proses pembangunan hingga pertempuran yang terjadi di benteng tersebut dalam sebuah episode menarik di novel setebal bantal karyanya, “Taiko”, dalam bab Benteng Di Atas Air, halaman 333-338. Sebuah novel epos mengenai kiprah Tokichiro alias Hideyoshi, bapak pemersatu Jepang abad XVI. Sedangkan di buku lain, “The Swordless Samurai”, Kitami Masao dengan gaya penutur “saya” menceritakan bagaimana Hideyoshi dengan cerdas membangun benteng ini (hlm. 62-67).
Melihat bagaimana Samurai Tanpa Pedang, julukan Hideyoshi, di atas dengan cerdik mendirikan benteng dalam waktu singkat, mengingatkan saya pada “masjid tiban” yang banyak tersebar di beberapa daerah, seperti di Wonogiri, Probolinggo dan beberapa daerah lain. Kecuali Masjid Tiban di Turen, Malang, yang tergolong masjid baru, masjid tiban yang ada di beberapa daerah tersebut biasanya berusia ratusan tahun dengan bahan baku kayu.
Disebut “Masjid Tiban”, karena secara mitologis dipercaya “tiba-tiba ada dan berwujud jadi” dalam waktu semalam. Bahkan, kemudian ada riwayat “dibangun oleh bangsa jin”, sebuah folklore yang dikopipaste dari legenda Bandung Bondowoso yang membangun kompleks Candi Prambanan dalam semalam.
Saya memilih merasionalkan proses pendirian Masjid Tiban. Bagi saya, orang Jawa di masa lampau sangat canggih dalam seni arsitektur. Sebagaimana rangka bangunan jomblo, eh joglo, yang tidak menggunakan paku sama sekali dan terdiri dari komponen yang bisa dibongkarpasang dan bahkan dipindah ke lain tempat, masjid tiban bagi saya adalah salah satu bagian dari proses kecanggihan seni arsitektur di zamannya. Mungkin, para dai di masa lalu mempersiapkan sebuah tanah lokasi, kemudian perkakas dan komponen digarap di lokasi lain. Ketika sudah siap, maka tinggal di angkut ke lokasi yang disediakan. Konstruksi bangunan sudah ada, tinggal memasang komponen yang tersedia. Persis cara Hideyoshi membangun Benteng Sunomata.
Dan, bismillah, sebuah masjid yang didominasi bahan baku kayu pilihan telah berwujud nyata dalam durasi singkat. Karena demikian mendadak, masyarakat pun melekatkan julukan masjid tiban berikut mitologisasi yang melingkupinya.
Wallahu A’lam Bisshawab