Henry Corbin jatuh cinta kepada Iran. Filosof Prancis itu semula ingin mendalami Zoroasterianisme, agama Persia pra-Islam, yang di Qur’an disebut sebagai agama Majusi. Tapi di Teheran dan Isfahan ia menemukan kitab-kitab karya Sahabudin Suhrawardi, Yakub Sajistani, Ruzbehan Sirazi, dan Mulla Sadra. Iran Islam ternyata merangkum kekayaan pemikiran Persia pra-Islam.
Sebelum datang ke Iran, Henry Corbin menjadi murid teolog Kristen, Karl Barth; sekaligus murid seorang sarjana Katolik terkemuka yang mendalami Qur’an, Louis Massignon. Selain itu ia adalah pengagum pemikiran filsafat Martin Heidegger dari Jerman. Menguasai bahasa Arab, Persia, Turki, dan Sanskerta, ia bekerja untuk membantu Massignon menelusuri teks-teks Yunani dalam banyak kitab klasik Muslim masa lalu, antara lain pada karya-karya Ibnu Sina.
Iran terletak antara India dan Arab, antara spiritualitas Hindu dan mistik Islam. Iran menjadi wilayah antara, sekaligus yang mengantarai dua tradisi spiritual itu. Bagi Corbin, Iran adalah tempat istimewa di mana realitas dipahami di dunia imaginal. Ia membaca Suhrawardi tentang filsafat cahaya, dan membandingkannya dengan renungan Heidegger mengenai wujud di dalam waktu-mutlak.
Pada Suhrawardi ia mendapati penjelasan mengenai realitas ontologis jiwa sebagai cahaya. Bahwa manusia sebenarnya hidup di dalam berbagai level realitas, termasuk realitas cahaya. Dalam perspektif ini, ia memahami bahwa apa yang disebut Heidegger sebagai “eksistensi sebelum kematian” adalah juga “ekstensi” yang bisa meluas untuk mengalami mutasi dan kepindahan ke ruang-imaginal dunia spiritual, ke ruang “alam al-mitsal.”
Corbin akhirnya memilih mengarungi dunia mistik dalam renungan filsafatnya. Ia memperkenalkan pemikiran-pemikirannya di lingkungan filsafat Prancis yang hingga kini pengaruhnya sangat terbatas. Pada 1978 ia wafat dalam usia 75. Banyak ulama Syiah Iran berduka karena kepergiannya. Dunia Sunni juga mengenangnya sebagai percik-titisan Al-Ghazali yang menempuh jalan mistik, bersebarangan dengan Ibn Rusyd.