Dua hari lalu saya dan tiga orang teman menonton di Blitz, Grand Indonesia. Yogi, salah satu teman, mengajak untuk menonton “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno” sebuah epos Jepang yang lebih dikenal dengan sebutan Samurai X. Film ini memang hanya tayang di Blitz, sebagai penggemar Kenshin Himura, tokoh dalam film itu, Yogi getol mengajak menyaksikan aksinya di layar lebar. Filmnya sangat memuaskan namun apa yang terjadi setelahnya sangat mengecewakan.
Kami menuju Grand Indonesia menggunakan motor. Layaknya pusat perbelanjaan besar lainnya, pengguna motor adalah warga kelas dua. Karena tak menemui parkir motor di dalam, maka saya memarkir motor di luar pusat perbelanjaan tersebut. Ratusan motor ada dalam parkiran tersebut sehingga membuat saya harus menempuh jarak yang lumayan jauh dari pintu utama pusat perbelanjaan.
Sepulang dari menonton pengalaman kurang sedap kami alami. Helm yang digunakan oleh Yogi raib entah ke mana. Spontan saya bertanya pada penjaga parkir di mana helm yang teman saya pakai. Ia kemudian bergegas mencari helm dengan cara yang menurut saya janggal.
Tukang parkir menunjukkan beberapa helm di motor lain sambil bertanya, “Ini bukan Mas?” Selama beberapa menit tukang parkir tersebut terus mengulang “ritual penyelamatan” ini. Semuanya tak cocok dengan helm yang raib, sampai kemudian ia mengatakan sesuatu yang lebih aneh. “Pakai aja dulu mas, enggak apa-apa nanti gampang,” ujarnya sambil memberi kode untuk mengambil salah satu helm dari motor lain. Saya dan Yogi hanya bisa menggelengkan kepala tanda menolak inisiatifnya.
Kejadian ini mengingatkan saya pada saat saya kecil dulu. Waktu itu bapak sering mengajak ke kantor polisi untuk mencari mobilnya yang hilang. Setiap ada informasi penangkapan mobil-mobil curian di televisi, bapak rajin menengok ke kantor polisi. Hasilnya selalu sama, ia tak menemui mobilnya.
Saya selalu penasaran dengan ekspresi kecewa bapak setiap kali ia gagal menemui mobilnya yang dicuri. Seperti perasaan pasrah namun kecewa. Pernah suatu kali ia sangat kecewa setelah mengecek sebuah mobil yang sangat mirip dengan mobilnya, tentu perlu diketahui mobil curian sudah pasti mengganti plat nomor, jadi jangan gunakan plat nomor sebagai indikator mirip. Ia mengecek semuanya sampai sangat kecewa ketika nomor mesin mobil tersebut berbeda dengan mobilnya.
Setelah beranjak dewasa saya sadar kekecewaan bapak bukan karena ia tak menemukan mobilnya tapi pada penawaran yang sering ia terima. Bapak sering mendapat tawaran untuk mengambil salah satu mobil dengan menebus uang tertentu dan nanti “dibantu” surat-suratnya. Soal nomor mesin yang berbeda atau permasalahan lainnya bisa diatur oleh sang penawar. Menurutnya sudah terkena musibah malah digoda untuk mendapat musibah lagi.
Kehilangan helm yang saya alami dan pengalaman bapak seperti sebuah pelegalan atas pelanggaran dalam musibah. Ada sebuah rantai yang berusaha dijalin bahwa korban bisa melakukan sesuatu yang bukan haknya karena ia telah dizalimi. Memilih helm yang bukan hak saya atau memilih mobil yang bukan milik bapak adalah contoh kecil.
Lingkaran korban merasa berhak mengorbankan sesuatu ini mungkin secara tak langsung terjadi di segala aspek kehidupan kita. Coba tengok jalanan kita, motor yang tancap gas di tengah lampu lalu lintas boleh jadi karena merasa telah kenyang jadi korban kaum yang lebih kaya. Di kantor dihajar atasan, di rumah dihajar cibiran tetangga, lantas melegalkan pelanggaran di jalan, mungkin. Atau angkot yang ngetem di pinggiran. Setoran harian yang mencekik, tuntutan mainan baru dari anak atau dapur yang harus terus ngebul, ngetem kemudian jadi jalan keluar, mungkin saja.
Saya jadi ingat salah satu bagian di film Kenshin, saat itu seorang perempuan muda mencuri pedang Kenshin si Battousai. Ia kaget ketika mengetahui bahwa pedang si jagoan itu tajam di bagian belakang, bukan depan. Kenshin kemudian menjelaskan bahwa ia melakukan itu karena tak lagi mau membunuh lawan. Ia menyetop rantai kekerasan dengan tidak ingin kembali membunuh, salah satu caranya adalah dengan pedang punggung, istilah untuk sebuah pedang yang tajam di bagian belakang.
Mungkin kita butuh pedang Kenshin dalam kehidupan sehari-hari. Kita butuh sebuah pedang yang tajam bukan untuk menginjak yang lain setelah kita terinjak. Kita butuh sebuah pedang yang tajam pada diri sendiri, pedang yang tahu kapan ego harus dibunuh mati.
Sayangnya, bahkan Kenshin kembali ke laga pertempuran dan mungkin akan kembali membunuh, seperti kita yang akan kembali di Senin pagi dan kembali membunuh ego orang lain. Tentunya sambil menyemai ego sendiri, toh setiap hari kita sudah jadi korban jadi apa salahnya mengorbankan orang lain. Ah saya jadi rindu kembali menonton Kenshin.