Hayya ‘alal Jihad di Kalimat Azan: Bukti Makin Populisnya Doktrin Ekstremisme di Indonesia

Hayya ‘alal Jihad di Kalimat Azan: Bukti Makin Populisnya Doktrin Ekstremisme di Indonesia

Viral video seruan Hayya ‘alal Jihad di kalimat azan adalah bukti gerakan ekstremisme Islam di Indonesia makin populer.

Hayya ‘alal Jihad di Kalimat Azan: Bukti Makin Populisnya Doktrin Ekstremisme di Indonesia

Sebuah video kontroversial muncul di jagad sosial media. Video itu berisi seruan azan yang dikumandangkan oleh seseorang dengan dibarengi oleh beberapa jamaah di belakangnya dengan menyelipkan lafaz “hayya ‘alal jihad” di kalimat azan. Memprihatinkan karena rupanya, narasi pemecah belah umat ini sudah berani digaungkan dengan rangkaian lafaz-lafaz azan yang berkaitan dengan ajakan menunaikan shalat.

Dalam narasi di video tersebut dan klaim-klaim yang beredar, bisa diketahui bahwa seruan itu merupakan respons beberapa warga atas pemanggilan Habib Rizieq Shihab oleh polisi terkait kasus kerumunan di Petamburan. Namun, apapun motifnya, jelas seruan jihad ini sangat berbahaya baik dari segi negara maupun agama.

Dalam konteks negara, jelas jihad yang tujukan adalah perlawanan terhadap pemerintah yang sah. Jika melihat video-video yang beredar, salah satu muazinnya terlihat sangat intimidatif dengan meminggul pedang dipundaknya seakan siap untuk menebas kepala lawannya. Sulit rasanya berspekulasi mengenai target lainnya karena memang kelompok-kelompok seperti ini hadir dengan fondasi sinisme terhadap pemerintahan.

Jika memang hendak memusuhi dan memerangi negara, maka aksi itu tidak ada bedanya dengan apa yang sudah pernah terjadi pasca kemerdekaan Indonesia, saat itu ada DI/TII yang ingin mendirikan syariat Islam dan memberontak pemerintahan yang sah. Akan tetapi pastinya, pemberontak akan ditumpas habis oleh negara. Bukan hanya DI/TII, PKI yang memberontak juga dihabisi oleh negara.

Oleh karena itu, terkait dengan aksi panggilan jihad tersebut, pihak kepolisian perlu untuk segera turun tangan mengecek ke lokasi perihal informasi tersebut. Bisa jadi, “azan” itu bukanlah hanya sekedar ekspresi kekecewaan, namun adalah seruan makar yang harus dibasmi oleh negara. Dan makar adalah perbuatan pidana yang harus diproses lewat jalur hukum yang ada di Indonesia.

Terlepas dari apakah itu benar-benar azan untuk panggilan shalat atau hanya untuk kepentingan video saja, narasi jihad di kalimat azan tersebut sudah benar-benar membuat kita miris. Fenomena tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari geliat kelompok ekstremis yang gencar menyerukan doktrin-doktrin anti pemerintahan, dan mengembalikan sistem hukum pemerintahan menjadi syariat Islam seperti pada masa Nabi.

Seruan jihad di kalimat azan tersebut adalah salah satu cerminan betapa narasi-narasi ekstremis itu sudah perlahan populer. Tentu bisa diingat ketika Rizieq Shihab mengancam akan ada pemenggalan kepala jika pemerintah melakukan diskriminasi ulama beberapa waktu lalu. Narasi penggal kepala sangat identik dengan doktrin ekstremisme yang menempatkan kekerasan di atas segalanya. Maka seperti yang disebutkan di awal, memprihatinkan.

Dalam kacamata Islam, al-Qur’an memang banyak menyinggung kata jihad di dalamnya. Tidak sedikit juga yang langsung bersentuhan dengan lafaz kafir. Namun yang disayangkan adalah sebagian umat Islam memiliki pemahaman yang sempit terhadap jihad, mereka hanya mengetahui jihad yang berarti perang, tanpa mengkaji lebih dalam dari sisi historis turunnya al-Qur’an. Perlu kajian yang cukup panjang untuk menelaah hal ini.

Pada intinya, perang menjadi jalan paling terakhir yang boleh dilakukan oleh seorang muslim dalam menegakkan agamanya setelah jalan dakwah. Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam juga mensyariatkan perang di dalam al-Qur’an. Itu perlu diakui. Namun yang perlu diingat, disyariatkannya perang itu pun bukan serta merta orang muslim boleh menyerang orang lain yang tidak seagama dengan mereka, akan tetapi perang hanya disyariatkan untuk membela diri dari perlawanan orang kafir kepada umat Islam. Dalam QS. al-Baqarah ayat 190 ditegaskan :

وَقَٰتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dalam ayat tersebut redaksi  ٱلَّذِینَ یُقَـٰتِلُونَكُمbermakna bahwa orang kafir lah yang mendahului peperangan dengan umat Islam, yang mana hal itu menunjukkan bahwa perintah perang itu berlaku ketika ada serangan dari orang yang zalim kepada umat Islam. Pada ayat tersebut juga diperintahkan untuk tidak melampaui batas وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ yaitu larangan untuk tidak memerangi orang yang tidak ikut berperang meski dari kelompok orang kafir

Artinya, kita harus berada di pihak yang diserang dulu, secara fisik, oleh orang kafir, baru kita dibolehkan untuk membalas. Maka muncul istilah kafir harbi, yaitu musuh yang boleh dibunuh oleh Muslim hanyalah yang berada dalam peperangan. Di luar itu, anak-anak, ibu-ibu dan kaum lemah lainnya yang tidak terlibat perang tidak boleh dibunuh.

Ironisnya, para kelompok ekstremis, khususnya di Indonesia selalu melibatkan warga sipil sebagai korban ambisi mereka. Tentu banyak kasus teror yang sudah menyelimuti berita kelam bangsa ini, salah satu propagandanya adalah dengan melalui semacam penyusupan narasi-narasi seperti kasus azan kali ini. Tentu kita tidak ingin lagi ada kejadian teror yang mengorbankan nyawa manusia, maka penting bagi kita untuk menjaga sikap kita sebagai Muslim yang tetap merepresentasikan Islam yang cinta akan perdamaian.

Menanggapi aksi azan dengan panggilan jihad tersebut, seperti yang dilansir Okezone.com (30/11), Ketua Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas mengatakan bahwa dalam negara dan bangsa yang telah merdeka seperti Indonesia, jihad harus dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dari segenap komponen bangsa untuk mewujudkan cita-cita perdamaian nasional. Ia berpesan bahwa umat Islam harus tetap bersatu dan jangan terprovokasi.

Salah satu cara untuk menjaga sikap kita supaya terbebas dari beragam provokasi adalah dengan tetap mempergunakan akal pikiran dengan semestinya. Salah satu caranya adalah dengan tidak memilih guru yang sangat ringan lidahnya ketika berbicara mengenai kekerasan dan sangat lancar ketika mengintimidasi suatu golongan. Jangan juga memilih ustadz yang pola pikirnya sudah terpolarisasi, Islam dan kafir, surga dan neraka, salah dan benar, kami dan kalian. Karena dalam pola pikir semacam inilah biasanya benih ekstremisme tertanam. Kalau tidak Islam yang kafir, dan kafir halal untuk dibunuh.

Pesan Robikin Emhas tentu harus diperhatikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Kita harus secara kolektif menyadari bahwa selama akal sehat tidak dipergunakan dengan semestinya, akan ada banyak lagi propaganda dan provakasi serupa di negeri ini yang muncul untuk memecah belah bangsa. Indonesia dengan segala keberagamannya harus tetap satu, karena persatuan itulah Indonesia dan umat Islamnya bisa mempunyai nama besar di kancah dunia.