Hati Suhita dan Geliat Menjadi Muslim Jawa

Hati Suhita dan Geliat Menjadi Muslim Jawa

Bagaimana Hati Suhita novel tentang Islam tradisional ini menjadi menarik diperbincangkan

Hati Suhita dan Geliat Menjadi Muslim Jawa

Mengikuti babak demi babak cinta segitiga antara Alina Suhita, Gus Birru, dan Ratna Rengganis dalam novel Hati Suhita mengingatkan pada beberapa novel seperti Bola-Bola Santri dan Santri Simelekete yang saya baca sewaktu belajar kisaran tahun 2005-2008 yang lalu. Ada kebaruan di sana, mulai dari kentalnya perpaduan lokalitas nilai-nilai Jawa dan Islam, ketegangan antara dunia pesantren yang dibawakan oleh tokoh Alina dan Kang Dharma dan dunia di luarnya melalui Gus Birru dan Ratna Rengganis.

Di sisi lain, novel ini juga menamparku, sebagai pembaca yang pernah mengenyam jurusan sejarah peradaban Islam, betapa banyak yang luput dan belum saya ketahui tentang dunisaya sendiri, tentang Jawa: nilai budaya dan sejarahnya.

Kemampuan penulis menghadirkan sosok Alina Suhita sebagai perempuan penghafal Al-Quran yang pandangan dunianya (world view) terbentuk dari pandangan khas santri (melalui tradisi kitab kuning dan tradisi kehidupan pesantren) dan nilai-nilai moral dalam tradisi Jawa (melalui serat, babad, hikayat, dan tokoh wayang).

Hal ini menarik, sebab, di novel yang lain biasanya yang dihadirkan adalah sosok perempuan dengan nilai-nilai Islam atau pesantren yang dipadukan dengan nilai-nilai modernitas dengan semangat kesetaraan. Sebagian lainnya mengunggulkan nilai-nilai Islam di atas semangat modernitas itu sendiri. Yang pertama (mungkin) diwakili dengan novel seperti Perempuan Berkalung Sorban, sedangkan yang kedua oleh novel-novel Islami yang membanjiri pasar yang digawangi dengan kemunculan novel seperti Ayat-Ayat Cinta dan komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) yang dimotori sejumlah penulis seperti Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia.

Sebagai orang yang sedang belajar menulis cerita, saya juga mengapresiasi penggunaan sudut pandang orang pertama tunggal dengan kata ganti ‘aku’ dalam novel ini. Selain digunakan untuk menarasikan sosok Alina Suhita dengan kecamuk batin menghadapi pernikahannya (yang tidak dicintai suami dan tidak digauli selama tujuh bulan), dalam beberapa tempat di novel ini kita bisa melihat tokoh Aruna dan Kang Dharma yang menarasikan tentang diri mereka sendiri dengan menggunakan sudut pandang yang sama. Meskipun sama-sama menggunakan kata ganti ‘aku’ baik Alina, Aruna, maupun Kang Dharma, tetapi penulis bisa menyajikan ketiganya dengan rasa yang berbeda, dengan pilihan diksi dan karakter yang khas di tiap tokoh.

Dalam hal ini, penulis benar-benar memainkan kepiawaiannya layaknya seorang dalang, yang tentu harus terus diasah agar menjadi lebih baik lagi. Sebagai penulis pemula, hal seperti ini bisa menjadi media belajar yang baik dalam proses kreatif dalam dunia kepengarangan.

Hati Suhita dan Menjadi Muslim Jawa

Sementara sebagian umat Islam ingin mengislamkan Jawa, mencerabut akar tradisi dan budaya Jawa dengan dalih TBC (takhayul, bidah, khurafat), novel ini mengajak kita untuk merenungkan kembali budaya dan kearifan lokal yang hidup di sekitar kita. Tiba-tiba saja, dalam perjalanan membaca novel ini, saat penulis menghadirkan tentang dunia wayang atau kearifan lokal masyarakatJawa, saya teringat bangsa Jepang yang maju dengan tanpa kehilangan identitas tradisi mereka. Kebetulan saja, sebelumnya,  saya baru saja mengakhiri jilid pertama novel 1Q84-nya Haruki Murakami, novelis Jepang yang kesohor itu.

Secara sederhana, Jepang mengajarkan bahwa untuk menjadi bangsa yang maju kita tidak harus menghilangkan tradisi budaya masa lalu, melainkan sebagai titik tumpu untuk melesat ke depan.

Memang, harus disayai, kuatnya pandangan hidup sebagai perempuan Jawa yang santri, dalam diri Alina Suhita, menjadi salah satu kekuatan utama novel ini. Di bagian belakang penulis juga menghadirkan sejumlah buku referensi yang menunjukkan keseriusan dalam menggarap novel ini. Inilah, sekali lagi, yang menjadi daya tarik Hati Suhita sekaligus menjadi pembeda dari novel islami yang berkembang belakangan ini.

Terakhir, dengan membaca novel, jika kita mengharapkan kebangkitan sastra pesatren, setidaknya ada beberapa prasyarat yang mutlak dikuasai: pertama, dunia pesantren beserta seluruh pandangan hidupnya; kedua, menyelami filosofi, sejarah, dan kearifan lokal masyarakat Jawa yang terekam di berbagai sumber seperti serat, hikayat, babad, dan dunia wayang. Prasyarat yang tidak mudah tapi sudah dilsayakan dengan cukup baik oleh Khilma Anis dalam karyanya.

Beberapa Kesalahan Penulisan

Sebagai pembaca, tentu saya boleh mengeluh tentang novel ini sebagaimana pembaca lain yang merasa ‘terganggu’ di beberapa titik teknis penulisan. Bisa jadi keluhan ini karena ketidaktahuanku atau memang kekeliruan dalam proses penulisan dan editingnya. Pada halaman 67, misal, ada kalimat yang menurutku kurang lengkap sehingga tidak sempurna gambaran yang ada di benakku sebagai pembaca. Kalimat itu seperti ini: Meringkuk dalam selimut tebal sampai daguku. Mungkin maksudnya yaitu meringkuk dalam selimut tebal yang menutup sekujur tubuh kecuali kepala atau tertutup selimut dari ujung kaki sampai dagu. Begitu juga dengan kalimat Sebagaimana peziarah lainnya (.) yang seharusnya pakai tanda baca koma (,), bukan titik (.).

Selain itu, terdapat beberapa kata tidak bsaya yang tidak dimiringkan seperti Wong(68), pengen(66), dan lainnya. Kesalahan lain yaitu kata Trus pada halaman 107 (harusnya terus) dan telihat (309), harusnya terlihat. Terakhir yaitu terkait penulisan kata bsaya apakah Al-Quran (128) atau Al-Qur’an (308) dan di bawa (76) yang harusnya tidak diberi spasi.

Demikianlah ulasanku tentang novel ini. Semoga bermanfaat!