Setiap ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada para hamba-Nya bukanlah sekedar ritual tanpa makna, atau sekedar rutinitas yang dikerjakan secara berulang-ulang. Setiap ibadah memiliki esensi yang sudah seharusnya dipahami oleh seorang muslim, sehingga ia bisa menghayati dan merenungi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satunya, tentang puasa. Menghilangkan esensi puasa, bisa membuat puasa jadi sia-sia.
Puasa Ramadhan sebagai salah satu ibadah yang wajib dikerjakan oleh seorang mukallaf juga memiliki esensi tersendiri. Definisi Puasa adalah tidak makan dan minum serta tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Namun puasa bukan hanya itu. Esensi puasa adalah al-imsak yang berarti menahan dari segala hawa nafsu, tidak terbatas nafsu makan dan minum.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (w. 265 H) dalam kitabnya, al-Jami’ al-Shahih, Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزوْرَ وَالْعَمَلُ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابُهُ
Orang yang tidak meninggalkan perkataan buruk, malah mengerjakannya, maka Allah Swt. tidak butuh terhadap puasanya.
Lalu, apa contoh dari “perkataan buruk” yang disebutkan dalam hadis tersebut? Dalam penjelasan tentang hadis di atas, Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam kitab Fathul Bari mengutip pendapat Imam Abdurrahman al-Auza’i (w. 157 H) menyebut salah satunya adalah ghibah.
“Sesungguhnya ghibah dapat menyebabkan pelakunya berbuka (membatalkan puasa), dan ia wajib mengganti puasa (yang ia tinggalkan) di hari itu.” (Al-‘Asqalani, Fathul Bari)
Sebagaimana diketahui bahwa ghibah merupakan salah satu perbuatan tercela yang harus ditinggalkan oleh seorang muslim. Bahkan orang yang berbuat ghibah diibaratkan dalam Al-Qur`an seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Sangat menjijikkan bukan? Wajar saja bila Al-Auza’i berpendapat bahwa ghibah dapat membatalkan puasa.
Meski demikian, pendapat Al-Auza’i tersebut perlu diposisikan sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menjaga puasanya. Yang jelas, berdasarkan pada hadis di atas, perbuatan ghibah menyebabkan puasa seseorang menjadi sia-sia, ia tidak memperoleh apapun kecuali hanya rasa lapar dan haus. Agar puasa kita tidak menjadi seperti itu, kita harus berusaha semaksimal mungkin menghindari hal-hal buruk, baik berupa perbuatan maupun ucapan.
Di tengah pesatnya arus informasi seperti saat ini, tantangan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks. Jika tidak hati-hati, maka umat Islam akan mudah terjatuh ke dalam perbuatan tercela. Sebagai contoh, aktivitas di media sosial yang begitu bebas seringkali membuat kita sulit untuk mengontrol jari-jari kita, dan selanjutnya secara tidak sadar akan mengetik kata-kata yang dapat menyakiti perasaan orang lain. Hal-hal seperti ini bisa membuat puasa jadi sia-sia.
Oleh karena itu, bulan Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk melatih dari agar lebih mampu untuk menahan hawa nafsu, sehingga kita akan mampu mencapai tujuan dari kewajiban puasa, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 183, yakni menjadi orang-orang yang bertakwa.
Senada dengan hal ini, Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqhus Shiyam mengatakan bahwa bulan Ramadhan adalah seperti sebuah sekolah, di mana pada bulan tersebut umat Islam ditempa untuk menjadi pribadi yang luhur sehingga ia mampu mencapai derajat yang mulia, yakni derajat orang-orang yang bertakwa.
Siapapun akan mampu mencapai derajat tersebut, selama ia terus berusaha untuk memperbaiki, tidak hanya kuantitas ibadahnya, melainkan juga kualitasnya. Nah, bulan Ramadhan ini menjadi waktu yang tepat untuk melakukannya. Tak lupa, usaha tersebut diiringi dengan doa dengan harapan agar Allah SWT menganugerahkan kekuatan dan pertolongan-Nya, sehingga kita mampu istiqomah hingga di penghujung Ramadhan nanti.
Wallahu A’lam.