Hati-Hati Mengelola Dana Masjid, Ini Tata Cara Pengelolaannya

Hati-Hati Mengelola Dana Masjid, Ini Tata Cara Pengelolaannya

Hati-Hati Mengelola Dana Masjid, Ini Tata Cara Pengelolaannya
Masjid Al-Ikhlas Pasar Minggu dengan keindahan menyembul di antara menara. Pict by Hexa R

Masyarakat pada umumnya hanya mengenal tiga aset masjid: aset fisik bangunan, uang kas yang diperoleh dari hasil infaq masjid, dan hasil dari wakaf produktif masjid. Jika kita hanya terpaku pada tiga model pembagian ini, maka yang dikhawatirkan adalah tumpang-tindih dalam penggunaan aset. Dan yang tidak dikehendaki adalah kekhawatiran adanya kesalahan dalam penyaluran sehingga fatal dari sisi fikihnya.

Ingat, salah dari sisi fikih, ujungnya adalah dua, yaitu antara batal dan sahnya pengelolaan. Jika batal, maka pihak pengelola (nadhir al-waqfi) wajib dhamanterhadap penggunaannya, berupa mengganti aset.

Kok bisa? Iya, karena prinsip pengelolaan harta wakaf adalah hampir sama dengan zakat. Salah dalam penyaluran dan pengelolaan zakat, dapat berujung kewajiban ‘amil zakat untuk mengganti zakatnya muzakki. Mengapa? Karena zakat merupakan ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya.

Demikian pula dengan aset masjid yang umumnya masuk wilayah wakaf. Wakaf juga sudah ditetapkan oleh nash mengenai syarat dan rukunnya.

Alhasil, salah penyaluran, berarti sama dengan perusakan hukmyterhadap aset wakaf. Ujungnya juga, pihak nadzir (pengelola) wajib melakukan tempuh ganti rugi (dhaman) terhadap kesalahan tersebut. Jika sah, maka sah pula aset peribadatan yang disalurkan oleh masyarakat ini.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ruang lingkup kajian ini berhubungan dengan konsepsi fikih. Untuk itu penting memperhatikan beberapa wilayah cakkupannya sehingga tidak menyalahi tuntunan syariat. Untuk itu simak ulasan berikut ini!

Dilihat dari sisi fikih, umumnya harta benda milik masjid itu berasal dari dua hal, yaitu:

  1. Berasal dari harta wakaf mutlak (al-waqfu muthlaq). Misalnya adalah uang yang terdapat dalam kotak infaq dan sejenisnya.
  2. Berasal dari harta wakaf untuk kemaslahatan masjid (al-waqfu li mashalih al-masjid). Misalnya wakaf berupa genteng untuk masjid, kebun untuk masjid, dan lain sebagainya.

Catatan mengenai Penyaluran Aset Wakaf

Al-Qalyubi (w. 1070 H) sudah memberikan catatan terkait dengan harta masjid yang diperoleh lewat wakaf. Ia menyampaikan sebagai berikut:

والوقف مطلقا يحمل على المصالح ولا يجوز صرف شيء من الوقف ولو مطلقا في تزويق ونقش ونحوهما بل الوقف على ذلك باطل، وقال شيخنا بصحة الوقف على الستور ولو بحرير وإن كان حراما، وفيه نظر ثم رجع عنه ولا يجوز صرف ما وقف لشيء من ذلك على غيره منه، ولا يجوز سراج لا نفع فيه ولو عموما وجوزه ابن عبد السلام احتراما له ودفع الوحشة بالظلمة

Artinya:

“Wakaf ‘mutlak’ secara tidak langsung mencakup di dalamnya wakaf untuk ‘kemaslahatan’ masjid. [Sebagai catatan, bahwa]:

  1. Tidak boleh menyalurkan harta wakaf, meskipun itu berupa wakaf mutlak, untuk keperluan menghias masjid, atau membeli ukiran masjid dan sejenisnya. Penyaluran wakaf semacam ini adalah bathil. Guru kami, mengatakan sahnya wakaf untuk keperluan membeli karpet, meskipun itu terbuat dari sutra. Padahal sutra sendiri sebenarnya hukumnya haram (dipergunakan sebagai karpet). Oleh karena itu, disarankan agar meneliti kembali (pendapat ini) kemudian hukumnya dikembalikan kepada keharamannya.
  2. Tidak boleh menggunakan barang wakaf untuk sesuatu yang tidak memiliki kaitan langsung dengan masjid.
  3. Tidak boleh pula menggunakan (harta wakaf) untuk lampu yang tiada manfaat penting bagi masjid, meskipun untuk sarana umum.

Akan tetapi, ada keterangan bahwa Izzuddin bin Abdul Salam menyatakan boleh memasang lampu penerangan sebagai langkah memuliakan masjid dan menolak rasa khawatir akibat kurangnya penerangan (gelap). (Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Umairah, Juz 3, halaman 164)”

Catatan terpenting dari pernyataan al-Qalyubi (w. 1070 H) di atas adalah hal tersebut berkaitan dengan kas yang diperoleh dari wakaf muthlaq. Jika harta wakaf muthlaq saja tidak diperkenankan penyalurannya pada tiga hal di atas, apalagi dana waqaf li mashalihi al-masjid. Justru semakin tidak boleh disebabkan waqaf li mashalihi al-masjiditu penggunaannya sudah ditentukan oleh pewakaf.

Akan tetapi, berbekal pemahaman yang disampaikan lewat Syeikh ‘Izzuddin bin Abdul Salam, ada peluang untuk memperhatikan sisi penting dari ihtiramterhadap masjid. Sebagaimana hal ini juga disampaikan secara eksplisit mengenai diperbolehkannya membeli karpet yang terbuat dari sutra, oleh guru dari Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi (w. 1070 H), meskipun Al-Qalyubi sendiri kurang menyetujui terhadap pendapat tersebut.

Catatan tentang Manajemen Surplus Dana Wakaf untuk Masjid

Masalahnya kemudian, bagaimana bila terjadi surplus pada salah satu dana wakaf muthlaq atau dana wakaf untuk kemaslahatan sementara terjadi defisit pada salah satu dari keduanya? Dalam hal ini al-Qalyubi (w. 1070 H) menjelaskan:

لو زاد ريع ما وقف على المسجد لمصالحه، أو مطلقًا ادخر لعمارته، وله شراء شيء به مما فيه زيادة غلته، ولو زاد ريع ما وقف لعمارته ولم يشتر منه شيء، ويقدم عمارة عقاره على عمارته وعلى المستحقين وإن لم يشترطه الواقف، كذا في العباب. اهـ

Artinya:

“Jika terjadi kondisi surplus pada perolehan hasil wakaf untuk kemaslahatan masjid, atau pada perolehan wakaf muthlaq, maka surplus itu disimpan untuk keperluan imarat al-masjid. Nadzir boleh membelanjakan (mengelola) dana surplus itu untuk menambah nilai manfaatnya, meskipun pada dasarnya perolehan wakaf untuk imarah itu bisa bertambah sendiri tanpa dibelanjakan/dikelola oleh nadhir. Dalam hal ini, imarah kebun (aset tak bergerak) lebih didahulukan dibanding imarah masjid. Demikian juga, memberikan hak-hak mustahiq lebih didahulukan dari imarah masjid, meskipun pewakif tidak menetapkam syarat mana yang harus didahulukan itu (kebijakan mendahulukan otomatis ada pada nadhir). Demikian ini sebagaimana keterangan pada al-Ubab.”  (Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Umairah, Juz 3, halaman 164)

Ternyata apabila terjadi surplus pada salah satu jenis harta wakaf masjid, yaitu surplus pada wakaf mutlaq sementara defisit pada wakaf limashlahati al masjid, atau sebaliknya, maka kewajiban dari seorang pewakif adalah menyimpan harta surplus wakaf tersebut. Ia tidak diperkenankan membelanjakannya untuk menutup nilai defisit pada wakaf lainnya. Sebagaimana keterangan al Qalyubi berikut:

ويجب على ناظر الوقف ادخار شيء مما زاد من غلته لعمارته وشراء عقار بباقيه

Artinya:

“Wajib atas nadzir wakaf, menyimpan aset surplus dari hasil pengelolaan aset wakaf untuk tujuan ‘imarah masjid, dan membeli kebun (aset tak bergerak) dengan aset wakaf lainnya.” (Hasyiyah al-Qalyuby wa ‘Umairah, Juz 3, halaman 164)

Artinya, di sini, terjadi penyaluran yang berbeda antara aset wakaf muthlaqdan aset wakafli ‘imarah al-masjid.Al-Qalyubi berpendapat bahwa keduanya tidak bisa dicampuradukkan peruntukannya.

Dalam pertimbangan penulis, nampaknya perlu uraian lebih lanjut mengenai apa itu wakaf muthlaqdan wakaf li mashalihi al-masjid. Agar memudahkan pembaca untuk memahami ruang lingkup dan cakupannya. Semoga kita diberi kesehatan dan keberkahan untuk mendalaminya. Wallahu a’lam bi al-shawab