Berbicara tentang agama Islam hendaknya harus disertai pengetahuan yang cukup dengan apa yang hendak dibicarakan. Jangan hanya bermodal anggapan bahwa yang hendak disampaikan itu baik, lantas kita menganggap hal itu harus disampaikan dan dilakukan orang lain. Contohnya, puasa itu baik. Tapi, menyuruh perempuan yang sedang haidh untuk berpuasa sama saja menyuruh orang untuk melakukan larangan agama.
Orang yang suka berkampanye tentang ibadah namun dangkal pemahamannya tentang ilmu agama adalah orang yang berpotensi besar termasuk pengacau agama. Sama seperti orang berilmu yang tak mengamalkan ilmunya dan pemimpin yang menyelewengkan wewenangnya. Pengacau agama artinya adalah orang yang membuat agama Islam menjadi kacau balau. Yang salah dianggap benar, dan yang benar dianggap salah. Dan ini menjadi sumber bahaya bagi umat Islam yang tidak tahu.
Tentang para pengacau agama ini, Imam Al-Suyuthi dalam Jami’us Shaghir meriwayatkan sebuah hadis dhaif yang kandungannya benar berdasar dalil-dalil lain yang sahih, yang berbunyi:
آفَةُ الدِّيْنِ ثَلَاثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَ إِمَامٌ جَائِرٌ وَ مُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ
Pengacau/pengganggu agama ada tiga: ahli fiqih yang tak mengamalkan ilmunya, pemimpin yang menyelewengkan wewenangnya, dan ahli ibadah yang tidak mengerti tentang ilmu agama.
Hadis di atas mendorong kita untuk tidak menjadi pengacau agama. Siapa saja mereka?
Pertama, ahli fiqih yang tak mengamalkan ilmunya. Yaitu orang yang tahu ilmu agama, entah mempelajari lewat pesantren atau perguruan tinggi, tapi tindakannya justru melenceng dari kebenaran berdasarkan ilmunya.
Kedua, pemimpin yang menyelewengkan wewenangnya. Yaitu orang yang memiliki wewenang dalam melakukan sesuatu yang merupakan kepentingan orang banyak, tapi ia justru menyalah gunakan wewenangnya. Seperti seorang kepala desa menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi, atau untuk hal-hal yang justru bertentangan dengan hajat hidup orang banyak.
Ketiga, ahli ibadah yang tidak mengerti tentang ilmu agama. Yaitu orang yang rajin beribadah, entah itu rajin salat atau gemar melakukan ibadah sunnah, tapi pengetahuannya tentang ilmu agama amat dangkal. Sebab ia berpotensi besar melakukan kesalahan kemudian diikuti orang banyak. Misalnya memiliki pandangan menganggap semua ibadah cocok dilakukan oleh semua orang tanpa memandang keadaan. Dan orang yang tak mau melakukannya dianggap sudah pasti enggan menerapkan ajaran agama Islam.
Lalu bagaimana bisa tiga golongan tersebut dijuluki pengacau agama? Mengapa seperti pezina, pencuri, orang yang malas salat berjama’ah atau salat malam, tidak juga dijuluki pengacau agama? Imam al-Munawi dalam Kitab Faidul Qadir berkomentar terkait jawaban pertanyaan ini:
وخص هؤلاء لعظم الضرر بهم إذ بهم تزل الأقدام فالعالم يقتدى به والإمام تعتقد العامة وجوب طاعته حتى في غير طاعة والمتعبد يعظم الاعتقاد فيه
Tiga orang tersebut secara khusus disebutkan sebab besarnya bahaya mereka. Sebab keberadaan mereka membuat banyak orang tersesat. Orang berilmu merupakan panutan, pemimpin adalah orang yang diyakini banyak orang sebagai sosok yang wajib ditaati sampai pada hal-hal bertentangan dengan perintah agama, sedang ahli ibadah adalah sosok yang diyakini istimewa.
Maka tak heran bila ahli ibadah atau orang yang suka melakukan hal sunnah namun dangkal pemahaman agamanya, kadang dianggap lebih berbahaya daripada orang awam atau dangkal pemahaman agamanya, yang melakukan larangan agama. Sebab orang awam yang melakukan larangan agama secara umum bahayanya hanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Tapi, ahli ibadah yang dangkal ilmunya, seringkali dianggap benar semua tindakannya dan diikuti oleh orang lain meski si ahli ibadah sendiri tidak tahu betul benar atau tidaknya hal yang ia lakukan. Sehingga ia berpotensi besar menjadi orang yang sesat sekaligus menyesatkan.