
Dahulu, konten keislaman di YouTube didominasi oleh ceramah ustadz atau kisah hijrah selebritas. Kini, wajahnya berubah. Para pemengaruh besar, seperti Pandji Pragiwaksono, Dr. Richard Lee, hingga Richmond Chin, ramai-ramai meluncurkan konten religi. Pergeseran ini tak lepas dari perubahan selera masyarakat yang kini lebih suka mengonsumsi pengetahuan agama lewat siniar dan format kekinian.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini sekadar tren, atau pertanda baru dalam cara umat Islam belajar agama?
Monetisasi mungkin sekali menggoda para pemengaruh tersebut. Nama Denny Sumargo saja berulang kali mengunggah konten keislaman. Dan dia mengaku engagement dan viewers pun tinggi. Mungkin, kita akan terlihat “jahat” jika mengatakan godaan monetisasi menjadi alasan kemunculan konten-konten keislaman. Namun, kita juga terlalu naif jika menutup mata bahwa gemerincing notifikasi transfer masuk tidak beri pengaruh sama sekali.
Inilah manusia, kompleks dan tak pernah benar-benar hitam-putih. Laporan Tempo beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa unsur monetisasi ini tidak pernah diabaikan, bahkan beberapa pendakwah (dalam laporan Tempo) sangat sadar akan peluang pundi-pundi ini. Hal ini dibuktikan perlawanan seorang pendakwah akan konten-konten bajakan yang diproduksi warganet.
Pendakwah tersebut, bahkan, sempat memberikan perhatian khusus (baca: peringatan) ke warganet, yang sengaja memproduksi dan mengunggah ulang konten ceramah-ceramahnya. Menurutnya, apa yang dilakukan warganet itu adalah pembajakan. Menariknya, pasca platform TikTok populer dengan konten pendek-pendeknya, pendakwah tersebut juga “menggarap” video-video yang selaras.
Tak pelak, transmisi pengetahuan Islam pun beradaptasi dengan perubahan ini. Konten-konten keislaman tidak lagi dikemas dalam bentuk siaran, baik langsung atau rekaman. Ia juga turut bergeser mengikuti revolusi media yang terjadi. Hari ini, konten-konten keislaman banyak dikemas dalam bentuk tanya-jawab seperti siniar.
Materinya pun selaras dengan perubahan yang ada. Selera masyarakat Muslim perkotaan, sebagai niche market konten-konten keislaman, tentu menjadi perenungan para pendakwah dan pemengaruh, bahkan kemasan juga dipertimbangkan. Tapi, mengapa konten keislaman di Youtube meningkat pesat?
***
Pertanyaan di atas telah dibahas banyak sarjana. Beragam jawaban pun bertebaran di buku dan artikel-artikel akademis. Di sini saya hanya akan menebalkan satu dalih saja, yakni perubahan masyarakat di era modern hari ini. Alih rupa masyarakat ini memang niscaya. Dunia modern, misalnya, dengan beragam norma di dalamnya pun menuntut agama untuk beradaptasi.
Byung-Chul Han, akademisi asal Korea Selatan, menelaah secara kritis fenomena masyarakat modern. Menurutnya, masyarakat kita hari ini terperangkap dalam siklus tak berujung berupa dorongan untuk terus-menerus produktif, mengoptimalkan diri, dan pada akhirnya mengeksploitasi diri sendiri. Kita akhirnya terjebak pada apa yang populer hari ini dengan diksi Burnout, yakni kelelahan.
Byung-Chul Han menunjukkan bahwa burnout zaman sekarang itu lebih dari sekadar kelelahan fisik. Otak kita terus dibombardir notifikasi, deadline, dan ekspektasi respon instan, membuat aktivitas sederhana seperti melamun atau membaca buku panjang terasa seperti pemborosan waktu. Hidup yang serba terukur melalui likes, KPI, dan data self-tracking mengubah kita menjadi mesin optimasi diri yang tak pernah puas. Apple Watch di pergelangan tangan bukan lagi aksesori, tapi penjaga yang mengingatkan kita untuk terus produktif setiap detik.
Work from home (WFH) dan media sosial mengaburkan batas antara kerja dan istirahat. Ruang privat berubah menjadi kantor virtual, sementara kehidupan pribadi dikemas menjadi konten personal branding. Kita terjebak dalam ilusi kebebasan yang justru membuat kita tak pernah benar-benar beristirahat. Ironisnya, semua ini kita lakukan pada diri sendiri, tanpa paksaan dari luar, karena takut ketinggalan dalam perlombaan tak berujung mengekap produktivitas sempurna.
Dalam kondisi di atas, masyarakat tidak lagi sempat untuk datang ke pengajian di masjid atau langgar. Kalaupun sempat, mereka tidak lagi bisa menerima model pengajaran tradisional dan konvensional. Youtube pun melirik celah di kondisi masyarakat. Belajar agama tidak lagi berupa transmisi pengetahuan, namun lebih pada konsumsi.
Tema dan model pembelajaran pun tidak bisa lagi sama. Otoritas agama hari ini bagai menu konten Youtube atau Sportify. Berbekal “TWS” dan konten Youtube, masyarakat muslim bisa mengonsumsi varian ajaran agama yang tersedia. Islam menjadi narasi populis. Agama tidak lagi diajarkan sebagai ilmu pengetahuan yang tersusun atau membaca banyak buku atau kitab.
***
Islam dihadirkan dalam bentuk isu-isu yang relate. Walhasil, Islam dibincang lewat isu pernikahan usia dini, produktifitas dalam bingkai work-life balance, hingga urusan konsumsi barang-barang Islami. Jika gagal beradaptasi dengan perubahan ini, otoritas agama biasanya terpinggirkan. Mereka yang mengadopsi model dan narasi yang disukai menjadi favorit dan rujukan warganet.
Richmond Chin, Youtuber, hampir setiap episode konten Ramadan kemarin menyodorkan keinginannya soal agama dan logika yang harus selaras. Berhasilkah narasi ini? Jika kita merujuk pada konten-kontennya bersama pendakwah populis, Felix Siauw, maka keinginan Raymond tidak benar-benar tercapai.
Di konten bulan puasa kemarin, Islam “terlihat” logis. Narasi-narasi ada yang disampaikan hanya penyesuaian bahasa. Felix Siauw memang memiliki kemampuan “mengemas” atau Islam disampaikan dalam bahasa yang “relate.” Bahkan, di beberapa argumen, Felix memang mengandalkan narasi logis ini untuk menyesuaikan pangsa pasar konten Youtube ini.
Islam di konten Youtube lebih banyak direkayasa sesuai selera. Islam dibincang dalam bahasa dan narasi logis juga contoh fenomena ini. Kala Islam “dipaksa” untuk dibicarakan dalam narasi logika juga bagian dari memenuhi selera khas masyarakat kelas menengah, yang doyan semuanya diukur dari logika.
Apakah umat Islam benar-benar tertinggal kala meninggalkan masalah logika? Saya rasa pertanyaan ini berlebihan, karna Islam akan terlihat seperti robot dan kaku jika hanya berurusan dengan logika. Di ranah filsafat, jika agama meninggalkan narasi misterius dan spiritual, maka ia hanya akan sebuah ajaran matematis, penuh kalkulasi, dan kering. Agama harus menyisakan ruang mistis untuk merasakan sisi spiritual dari apa yang kita peluk selama ini.
Terlalu naif, di sisi lain, jika ketertinggalan umat Islam hari ini tidak bisa ditimpakan begitu saja pada pemahaman agama tradisionalis. Ada masalah ketimpangan ekonomi yang menjerat, pendidikan kita yang membodohkan ketimbang membuat kita pandai, hingga ruang-ruang sosial yang hanya dinikmati sebagian orang bisa saja membuat
Faisal Basri, ekonom, pernah bilang bahwa masyarakat Indonesia menjadi sangat religius, diantaranya, dipengaruhi karna ketidakmampuan mereka melawan Negara. Penjelasan ini mungkin terlihat lebih menjelaskan apa yang sebenarnya dihadapi masyarakat Muslim, ketimbang semua hal diukur dari urusan logika.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin