Haruskah Rasa Kemanusiaan Tergadai Demi Mengejar Kesalihan Individual? Sebuah Refleksi di Masa Pandemi Covid-19

Haruskah Rasa Kemanusiaan Tergadai Demi Mengejar Kesalihan Individual? Sebuah Refleksi di Masa Pandemi Covid-19

Kita semua berkewajiban untuk ikut berperan dalam memutus rantai pandemi global ini dengan bersama sama saling tolong menolong, dan itulah ajaran agama.

Haruskah Rasa Kemanusiaan Tergadai Demi Mengejar Kesalihan Individual? Sebuah Refleksi di Masa Pandemi Covid-19

Angka kasus terinfeksi Covid-19 di Indonesia, menurut laporan covid19.go.id,  terus meningkat. Data tercatat dalam minggu ini mencapai 4.557 yang positif, 380 yang sembuh, dan 399 meninggal dunia. Data itupun masih memungkinkan untuk memasukkan sebagian orang yang terinfeksi namun belum masuk data laporan Kementerian Kesehatan RI. Untuk menekan laju pertumbuhan angka infeksius, pemerintah dan segenap lembaga masyarakat, lembaga agama dan lembaga sosial turut mengeluarkan himbauan kepada masyarakat untuk meminimalisir hubungan fisik (physical distancing) dengan orang lain. Masyarakat dilarang untuk melakukan aktivitas yang sifatnya mengumpulkan banyak orang, tak terkecuali dalam kegiatan peribadatan di temapat ibadah.

Dalam peribadatan Islam, MUI dan sejumlah organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa larangan shalat berjama’ah dan shalat jumat di masjid. Masyarakat dianjurkan untuk melakukan shalat individu di rumah, juga mengganti shalat jumat dengan shalat dhuhur di rumah. Padahal shalat-shalat yang dilarang untuk dilakukan di masjid, terlebih shalat jumat, itu merupakan ibadah yang sifatnya fardhu ‘ain (kewajiban individual) dan akan bernilai lebih apabila dilakukan secara berjama’ah. Pelarangan ini menimbulkan pro-kontra di kalangan umat Islam. Di sinilah penting untuk membahas bagaimana narasi agama merespon masalah tersebut.

Lebih awal saya sampaikan, terdapat kaedah “al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman” (hukum itu berlaku sesuai dengan ada atau tidaknya sebab), bahkan ada yang mengatakan “al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wa hikmatihi wujudan wa ‘adaman” (hukum itu berlaku sesuai dengan ada atau tidaknya sebab dan hikmahnya). Berdasarkan kaedah tersebut, hukum agama sangatlah relatif. Bisa menjadi wajib, bisa menjadi sunnah, bahkan haram, semuanya tergantung sebabnya. Dalam konteks wabah Covid-19 ini sudah banyak pemikiran tentang hukum Islam mengenai masalah peribadatan. Saya mengutip pendapat Zakariya Al-Ansari dalam kitab Asnal Matalib. Ia mengutip pendapat al-Qadi ‘Iyad yang mengatakan adanya konsensus di kalangan ulama bahwa orang yang terkena penyakit lepra dan kusta dilarang ke masjid untuk melakukan shalat Jumat karena alasan berbaur dengan orang lain.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Fatawi al-Fiqhiyyat al-Kubra menerangkan bahwa larangan mendatangi masjid untuk melakukan shalat Jumat dan berbaur dengan orang lain itu ditujukan untuk meminimalisir penyebaran wabah Lepra yang terjadi saat itu, terutama bagi mereka yang sudah terinfeksi penyakit Lepra agar tidak menularkan kemudaratan kepada orang lain. Maka pelarangan tersebut menjadi wajib. Perlu kalian ketahui bahwa pelarangan untuk melakukan shalat Jumat itu karena adanya unsur khauf (kekhawatiran), di mana ia meliputi tiga hal; kekhawatiran akan keselamatan jiwa, tercederainya kehormatan, dan kekhawatiran akan hilangnya harta benda.

Persoalannya, sekalipun untuk saat ini sudah difatwakan untuk tidak berjama’ah ke masjid, tetap ada pihak-pihak yang mengatakan ketawakkalan kepada Allah akan memberikan keselamatan bagi hamba-Nya. Benar, Islam mengajarkan tawakkal, tetapi Islam juga mengajarkan tentang mawas diri atau kewaspadaan. Dalam Qs. Al-Baqarah: 195 disebutkan:

وَأَنفِقُوا فِى سَبِيلِ ٱللهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ  وَأَحْسِنُوا إِنَّ ٱللهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ.

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”

Ayat di atas menyiratkan tentang kewaspadaan. Begitu juga dalam hadis riwayat al-Tirmizi>:

روى الترمذي عن أنس بن مالك رضي الله عنه، أن رجلاً جاء إلى النبي – صلى الله عليه وسلم – ومعه ناقته فقال: أعقلها وأتوكل، أم أتركها وأتوكل؟ فقال له النبي – صلى الله عليه وسلم: اعقلها وتوكل.

Diriwayatkan oleh al-Tirmizi, dari Anas bin Malik Ra “sesungguhnya dating seorang laki-laki membawa unta kepada Nabi Saw. Maka berkatalah ia: “apakah aku ikat dahulu untaku ini lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal? Maka Nabi Saw. menjawabnya: “ikatlah kendaraanmu itu lalu bertawakkallah”.

Di dalam hadis lain disebutkan:

من حديث أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر، وفر من المجذوم كما تفر من الأسد”، أخرج الحديث البخاري

Dari hadisnya Abu Hurairah Ra berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Tidak ada penyakit menular, dan tidak ada anggapan sial, dan tidak ada kesialan akibat burung Hammah, dan tidak ada kesialan pada bulan S}afar, dan larilah dari penyakit kusta sebagaimana kamu lari dari seekor Singa” (Hr. al-Bukhari)

Hadis di atas bukan berarti tidak ada penularan penyakit. Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Ulumu al-Hadis 257, penyakit tidak dapat menular dengan sendirinya, tetapi Allah menjadikan penularan penyakit melalui sebab-sebab, di antaranya adalah bercampurnya dan bergaulnya orang yang sakit dengan orang yang sehat. Bahkan di bagian akhir hadis ditekankan untuk menghindari penyakit kusta sebagaimana menghindari Singa. Jelaslah, di samping harus bertawakkal kepada Allah, kita perlu ikhtiyar dengan usaha preventif terhadap wabah yang melanda, sebagaimana anjuran dari lembaga-lembaga yang otoritatif.

Perlu diingat, kualitas ibadah seseorang tidak hanya ditentukan oleh tempat di mana ia beribadah, tetapi juga dan terutama ditentukan oleh kualitas ketulusan (Qs. al-Bayyinah: 5), kualitas kekhusyuan (Qs. al-Mukminun: 1-2), kualitas kesucian jiwa (Qs. al-Syams: 9-10), juga kualitas pemaknaannya (spiritual attachment) terhadap ibadahnya. Memakmurkan dan beribadah di masjid tentulah lebih utama (Qs. al-Taubah: 18 dan Qs. al-Baqarah: 114), tetapi dalam kondisi pandemi global (Covid-19), beribadah di masjid atau tempat ibadah secara masal resikonya terlalu tinggi. Pelarangan yang ada bukan pada larangan untuk shalat atau berjama’ah, tetapi lebih pada pelarangan untuk berkumpul dengan orang-orang dalam jumlah yang lebih banyak. Kita tetap bias shalat berjama’ah di rumah dengan anggota keluarga, di mana kuantitas jama’ahnya lebih sedikit dibanding dengan jama’ah di masjid.

Yang harus kita jauhi bukanlah orang penderita penyakitnya, tetapi penyakitnyalah yang harus kita jauhi. Faktanya banyak orang yang menolak keberadaan pasien Covid-19 dengan beragam alasan yang tidak masuk akal. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menolak penguburan mayat Covid-19 di tempat pemakaman umum. Inilah problem sosial yang terjadi saat wabah Covid-19 menyerang. Belum lagi jenazah yang dikuburkan di tempat khusus mayat Covid-19 ini merupakan bentuk stigmatisasi bahwa jenazah itu menularkan penyakit dan harus dijauhi. Padahal ia akan tinggal bersama-sama dengan mayat lain yang tak mungkin untuk tertular penyakit. Di sinilah terjadi krisis kemanusiaan yang harusnya kita junjung tinggi bersama. Qs. al-Maidah: 31 telah mengajarkan bagaimana burung gagak saja bisa memakamkan saudara yang dibunuhnya dengan baik dan layak. Akankah kita tetap kehilangan rasa kemanusiaan? Tim medis tidaklah gegabah. Mereka sudah membuat protokoler pemakaman jenazah akibat Covid-19. Itulah yang harus kita jadikan acuan untuk tetap memakamkan saudara kita secara manusiawi.

Untuk itu, kita semua berkewajiban untuk ikut berperan dalam memutus rantai pandemi global ini dengan bersama sama saling tolong menolong melakukan sesuatu (Qs. Al-Maidah: 2). Bentuk tolong menolong yang efektif adalah seperti stay at home, maka beribadah di rumah saja menjadi pilihan dan keharusan bagi semua umat beragama. Langkah pemerintah mengambil kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), yang intinya adalah membatasi kontak fisik atau bersama-sama mejaga jarak (physical distancing) untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Kebijakan pemerintah ini sudahh sesuai dengan kontekstualisasi teks-teks keagamaan, mulai ayat al-Quran, sunnah Nabi Saw. hingga pada qawa’id dan usul fiqhiyyah.

Dengan kata lain, kebijakan ini sudah in line dengan perintah agama untuk mewujudkan kemaslahatan yang merupakan inti dari maqasid syari’ah (ultimate goal syariah) yang di antaranya adalah menjaga jiwa dan menjaga kemanusiaan (QS. al-Maidah: 32). Inilah bentuk tanggungjawab manusia sebagai khalifah di bumi (Qs. al-Ahzab: 72, Qs. Al-Baqarah: 30). Mari, sebagai warga bangsa dan umat beragama kita wajib mengikuti, mengamankan dan mensosialisasikan kebijakan pemerintah (Qs. Al-Nisa: 59). Allahu a’lam.