Saya memang tidak suka dengan orasi-orasi keislaman yang dibangun oleh intelektual muslim cabang HTI. Sadar bahwa saya hidup di negara yang eksemplar demokrasinya sangat luas dan lanskap keragamannya sangat kuat, ada dua hal yang membikin saya gerah dengan orasi-orasi HTI: Pertama, nasionalisme adalah biang kerok dari seluruh persoalan di Indonesia. Kedua, demokrasi adalah “khilafah” di Indonesia yang tidak akan pernah bisa memecahkan persoalan.
Namun setidak sukanya saya pada gagasan yang dibawa HTI, pandangan diplomatis saya meyakini bahwa mereka memiliki hak untuk hidup dan hak untuk bersuara. Tidak sepatutnya dipersekusi dan ditindas harkat hidupnya, atau dikekang suaranya sedemikian rupa. Benar, mereka berhak bersuara, namun sebatas manakah suara itu memiliki hak?
Secara politik, negara demokratis yang ideal memang sudah seharusnya bersikap netral. Terhadap ragam kepercayaan, negara sepatutnya berada pada posisi “agnostik”. Agnostisisme politik berarti negara tidak boleh mencampuri (apalagi mengatur secara birokratis) kepercayaan masyarakat. Dan terhadap ragam agama tidak berhak untuk memberikan persetujuan maupun penolakan; tidak ada kewenangan bagi negara untuk memilih dan mengatur keyakinan yang boleh dipeluk dan yang tidak.
Jadi sudah lazim jika negara memberikan hak kepada warga negaranya untuk memiliki keyakinan. Keyakinan memiliki dua wujud: keyakinan yang sebatas ideologi dan keyakinan yang terbungkus dalam aksi. Negara mesti menyadari perbedaan antara ideologi dan aksi. Seketat apapun negara menerapkan peraturan, ideologi tidak dapat seratus persen dipadamkan. Peluang negara untuk mempersempit aksi dapat diwujudkan dalam peraturan dan/atau menggunakan alat negara (baca: TNI dan Polisi) untuk mematakahkan aksi tersebut.
Pertanyaannya: hingga kapan kaca mata negara harus agnostik? Sampai ada upaya mengaburkan keagnostikan politisnya! Oleh karena itu tidak ada istilah “toleransi terhadap intoleran”, atau “demokratis terhadap anti-demokrasi”.
Terkait HTI, keyakinan yang dimilikinya pun terwujud dalam dua hal: aksi dan ideologi. Yang menjadi contoh adalah ideologi takhlifah (upaya mengganti bentuk landasan negara berdasarkan syariat Islam) dan ditandai dengan bentuk-bentuk penggalangan massa, jaringan aliansi dan organisasi dengan mengusung ideologi religius yang sangat signifikan. Akan tetapi ada pula kegiatan yang secara sadar tidak bermaksud untuk membangun massa, dengan menghindari ideologi religius secara signifikan, dan lebih memilih peran yang konstruktif dalam masyarakat. Termasuk kegiatan ini adalah apa yang kerap dilakukan Felix Siauw.
Muallaf yang meraup banyak perhatian anak muda ini, meskipun tidak menaati orang tuanya untuk keluar dari lingkaran HTI, dalam beberapa produksi buku dan halaqah-nya sering memilih peran sebagai motivator yang konstruktif dalam masyarakat: seperti memberikan wacana berbusana yang benar syariat bagi perempuan muslimah, etika pergaulan lawan jenis yang dibenarkan agama, dan beragama secara tepat sesuai salafuna al-shalih yang tidak ada maksud di dalam motivasi yang ia berikan itu selain untuk menyenangkan hati Tuhan.
Akan tetapi betapa pun Felix Siauw menghayati peran itu, ia sangat mungkin untuk menyisipkan romantisme kekhalifahan kepada jamaah yang ada di hadapannya. Hal ini dapat dilihat dari retorika-retorika yang ia sampaikan ternyata kerap mengerucut pada indahnya nuansa berwarga dan bernegara yang sangat utopis ketika Khilafah menjadi payungnya.
Oleh karena itu, menurut prasangka saja, saya tidak terlalu percaya bahwa Felix Siauw adalah sosok pendakwah santun yang mengajak umat muslim untuk mendahulukan kepentingan Indonesia daripada Khilafah Islam, memprioritaskan ukhuwah basyariyyah daripada ukhuwah islamiyyah, dan meletakkan format demokrasi di Indonesia yang bernama Bineka Tunggal Ika lebih tinggi daripada Syariat Islam.
Namun haruskah Felix Siauw dicekal untuk berdakwah? Sebagai negara demokratis, tidak ada hak bagi siapa pun untuk melarang. Bahwa Felix memiliki status magang sebagai sales Khilafah, itu memang benar. Bahwa Khilafah mewajibkan pemercayanya untuk lebih loyal pada agamanya, bukan pada negara dan bangsanya, itu memang benar. Namun di atas segalanya adalah alam demokrasi menjamin hak pada suara apa pun untuk tinggal di dalamnya, betapa tidak sukanya kita pada suara itu. Negara harus agnostik dalam kasus ini, karena seluruh keyakinan harus ia lindungi.
Akan tetapi, hak dan kebebasan itu bukannya tanpa ada batasan. Di tengah upaya konsolidasi iklim demokrasi yang dititi oleh bangsa ini, parameter kebebasan itu sebatas ruang lingkup yang bisa disebut “tidak mengancam”. Artinya Felix diperkenankan berdakwah di mana saja, dan kapan saja, asal (mengutip Novriantoni Kahar) tidak dibiarkan leluasa mengoyak harmoni kebangsaan atau mengumbar sentimen kebencian.
Praktiknya seperti ini: Anda sedang ujian, Felix Siauw seruangan dan sama ujian dengan Anda. Saat Anda mengetahui Felix menyontek, yang Anda lakukan ada dua macam: melaporkannya pada pengawas, atau mengambil lembar jawaban Felix, dan menyerahkannya pada pengawas.
Langkah yang diambil Banser di Bangil mirip seperti tindakan yang kedua. Hanyasaja, belum diketahui bakal menyontek atau tidak, buru-buru Felix diminta menandatangani surat komitmen untuk tidak menyontek pada saat ujian. Bermaterai. Tak terima, Felix pun tidak jadi mengikuti ujian. Bukan berarti Banser menolak ujian kelas, karena toh siswa yang lain diperkenankan.
Yang membingungkan sekarang adalah: Banser itu ketua kelas atau wali kelas?