Dalam Islam, tuntutan dan kewajiban puasa disamping bersifat perintah syar’i (al-umur al-syar’iyyah) yang harus dilaksanaan oleh seorang muslim juga didasarkan pada sebab-sebab adanya faktor alam. Seperti penentuan masuknya bulan Ramadhan ditentukan juga oleh melihat hilal. Sebagaimana hal ini didasarkan firman Allah Swt.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya bagi siapa yang melihat “bulan” maka berpuasalah. (QS. Al-Baqarah: 185)
Dari sini para ulama sepakat bahwa perintah berpuasa didasarkan pada penglihatan bulan. Para ulama menyatakan bahwa syahada di sini diartikan dengan melihat secara langsung dan minimal dilihat oleh dua orang. Malah ada yang berpendapat satu orang adil sudah mencukupi.
Yang sering kali menjadi perbedaan di masyarakat Indonesia adalah soal penentuan masuknya bulan syawal. Hal ini cukup menjadi perdebatan metodologi yang memengaruhi penentuannya. Para ulama dalam penentuan awal syawal mengacu kepada hadis Nabi Muhammad:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ.
Artinya : “berpuasalah karena melihat bulan (hilal), dan berbuka jualah karena melihat hilal (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, al-Tirmidzi)
Dalam memahami hadis di atas, ada yang menerjemahkan “melihat hilal” dengan “ada, tampak” hilal. Dengan demikian, untuk memastikan ada dan tampaknya hilal yakni dengan menggunakan alat teknologi sehingga dapat diketahui bahwa hilal memang benar-benar sudah tampak. Hal ini menjadi landasan ilmu falak dalam memastikan telah masuknya bulan dan berakhirnya Bulan Ramadlan.
Sementara, kalangan kedua memahami bahwa ru’yah hilal dimaknai dengan melihat dengan kasat mata. Bukan “dengan menggunakan perhitungan falakiah”. Itu didasarkan pada kata “ru’yah”, diartikan dengan abshar bi hasyatil bashir. Artinya jika “melihat” dimaknai dengan melihat dengan kemampuan akal lewat perhitungan falakiah, maka tentunya Nabi Muhammad akan menggunakan kata “ra’yahu”, bukan “ru’yah”.
Bagi sebagian ulama, penggunaan ilmu falak berfungsi untuk memastikan awal dan akhir bulan Ramadlan. Akan tetapi, aturan penentuan tersebut didasarkan pada perhitungan tahun. Bukan menjadi pendasaran syariat untuk ketentuan puasa, idul fitri dan haji. Pendapat ini dinyatakan oleh al-Margfur Lah KH. Ali Mustafa Yaqub dengan mengutip pendapat Ibnu Katsir dan al-Syawkani. Pendasaran ini juga ditegaskan lewat firman Allah bahwa Allah lah yang telah menjadikan matahari bercahaya dan rembulan bersinar, serta menetapkan jalurnya agar kamu mengetahui jumlah hitungan tahun dan hisab (perhitungannya dengan ilmu falak). (QS. Yunus: 5)
Akan tetapi, dalam menentukan awal Ramadhan dan Syawal tidak serta merta menjadi sah dengan menggunakan perhitungan falakiah, karena terkait ibadah, maka diperlukan dalil syar’i untuk menentukannya. Dengan kata lain, Ru’yah hilal adalah bagian dari cara syariat dalam menentukan kewajiban puasa, haji. Artinya jika memang tidak terlihat hilal, pilihan selanjutnya adalah dengan menggenapkan hitungan menjadi sebulan penuh. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw.:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم، الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
Artinya: Dari Ibnu Umar Ra. bahwa Rasulullah Saw bersabda: Saru bulan itu berjumlah dua puluh sembilan malam, maka jangan bepuasa sampai kalian melihatnya. Jika kalian tidak melihatnya secara jelas (karena ditutupi oleh awan) maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh. (HR. al-Bukhari)
Bisa disimpulkan bahwa Ru’yah Hilal adalah pilihan pertama dalam menentukan awal puasa maupun berakhirnya yang juga menandakan awal bulan Syawal. Akan tetapi jika memang tidak terlihat, maka pilihannya akan digenapi untuk jadi sebulan (30 hari). Wallahu ‘Alam.