Harmoni Muhammadiyah-NU di Daerahku, Tentang Bagaimana Menyikapi Orang yang Belum Shalat dan Puasa

Harmoni Muhammadiyah-NU di Daerahku, Tentang Bagaimana Menyikapi Orang yang Belum Shalat dan Puasa

Di dusun saya, anak-anak muda melaksanakan kegiatan mujahadah seminggu sekali. Tidak saja membahas yang akhirat-akhirat, tetapi kegiatan itu juga merembug tentang apa yang harus dilakukan kaum muda untuk memajukan desanya.

Harmoni Muhammadiyah-NU di Daerahku, Tentang Bagaimana Menyikapi Orang yang Belum Shalat dan Puasa
Keduanya merupakan ulama besar dan pendiri dua organisasi besar di Indonesia: Muhammadiyah dan NU. Pict by Muslimdaily.net

Beberapa hari yang lalu, saya diundang menjadi salah satu pembicara dalam acara temu alumni di sebuah pondok pesantren yang terletak di desa Adipuro, Kaliangkrik, sebuah dusun di atas awan yang terletak di bawah gunung Sumbing atau kini lebih dikenal sebagai Nepal Van Java. Desa ini dikenal sebagai basis terkuat gerakan Muhammadiyah di kecamatan Kaliangkrik. Muhammadiyah disimbolkan dengan warna biru, sedangkan NU dengan warna hijau.

Kedua gerakan keagamaan terbesar di dunia ini hidup berdampingan, saling berlomba dalam kebaikan terutama dalam bidang pendidikan dengan pesantren dan madrasah masing-masing. Tentu saja terjadi gesekan-gesekan kecil, tetapi keduanya menyikapinya dengan dewasa. Ketika ada warga baru dari kelompok biru menyalahkan amaliyah kelompok hijau, misalnya, perwakilan dari kelompok hijau langsung mengunjungi rumahnya untuk bertabayun. Ketika kelompok hijau sedang membangun atau merenovasi pesantren, kelompok biru secara kompak datang untuk membantunya baik dengan tenaga maupun finansial.

Kyai Muhammadiyah di desa itu suatu hari berkata kepada kyai NU, “Besok kalau aku meninggal dunia tolong ditahlili yaa..” saya tidak tahu kebenaran cerita tersebut, tetapi cerita atau katakanalah anekdot ini telah tersebar di desa-desa sekitar termasuk desa saya.

Beberapa dusun di lereng gunung Sumbing pada masa lalu dikenal sebagai penduduk yang jauh dari nilai-nilai agama. Mereka, berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, terbiasa berburu babi dan memasaknya. Sampai saat ini, ketika ada warga yang meninggal dunia pada bulan puasa, misalnya, sang tuan rumah atau shohibul musibah masih ada yang tetap menyuguhi para pentakziyah dengan minuman dan aneka penganan. Hal itu diperuntukkan bagi mereka yang ‘belum’ melaksanakan rukun Islam seperti sembahyang dan puasa.

Jika Anda mengamini pandangan Clifford Geertz yang mengelompokkan masyarakat Jawa menjadi tiga varian Santri-Priyayi-Abangan, mereka ini akan dimasukkan sebagai kelompok abangan. Jika Anda pengikut aliran Islam tertentu yang menekankan aspek fiqih-syariah, apalagi yang membidah-sesatkan praktik mistik-tasawuf, bisa jadi Anda akan menilai mereka sebagai ‘kafir’ atau sesat.

Namun, dalam alam pikiran warga desa, sebutan-sebutan seperti itu nampaknya tidak muncul di permukaan atau bahkan tidak ada sama sekali. Tidak etis juga kan? memangnya ada di dunia ini orang yang mau dipanggil kafir atau sesat? Apalagi di Jawa yang lebih menekankan dimensi rasa dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.

Dalam penelitiannya yang memukau tentang Islam di Magelang, Prof. Bambang Pranowo dalam karyanya Memahami Islam Jawa (2009) mengatakan bahwa kehidupan keagamaan adalah proses yang dinamis. Berisalam adalah proses menjadi (becoming) dan bukannya mengada (being). Mereka yang tidak melaksanakan sembahyang atau puasa oleh masyarakat biasanya disebut sebagai dereng nglampahi (belum melaksanakan syariat Islam) dan bukannya mboten nglampahi (tidak melaksanakan).

Dengan memahami keberislaman sebagai proses menjadi inilah kiranya yang membuat proses Islamisasi di Jawa tidak gaduh, penuh ketegangan, dan mudah menyalahkan, melainkan berasas pada kesadaran sepenuh jiwa dengan mengutamakan terjaganya harmoni sosial.

Selain itu, tidak tepat juga jika Anda masih beranggapan bahwa orang-orang yang belum melaksanakan sembahyang atau puasa sebagai orang yang tidak memiliki komitmen kepada Islam. Ketika pembangunan masjid, toilet mushola yang perlu ditambah luasnya, atau pembangunan TPA, justru mereka menjadi orang-orang yang paling bersemangat. Lembur sampai tengah malam meskipun ketika tiba waktu sholat mereka tidak terlihat di masjid.

Saya kira dinamika keagamaan seperti ini merupakan corak Islamisasi di Jawa yang tentu saja berbeda dengan daerah lainnya. Di Aceh, misalnya, di mana Islam pada awalnya merupakan komunitas kecil lalu berkembang menjadi sebuah kesultanan, maka aspek syariah lebih dominan di wilayah ini. Adapun di Padang, Sumatra Barat terjadi ketegangan antara adat dan Islam sehingga diambil jalan tengah yang melahirkan pameo Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Proses yang berbeda juga terjadi di masyarakat Sasak yang melahirkan Islam Wetu Telu dan daerah lainnya di Nusantara (Taufik Abdullah, 1987).

Saat bersilaturahmi ke beberapa saudara di dusun Tuguran, Kajoran, di dekat makam Mbah si Tugur dan Mbah Abdul Hamid (oleh sebagian masyarakat disebut juga sebagai Mbah Wali), di tembok ruang tamu tertempel foto Gus Mad, salah satu putra Mbah Abdul Hamid. Beliau sudah berpuluh tahun mengampu mujahadah untuk warga desa-desa sekitar dan daerah lainnya di kabupaten Magelang dan sekitarnya. Para jamaah mujahadah ini, termasuk beberapa saudara yang usianya memasuki angka 50, secara bergiliran menjaga rumah beliau untuk melayani para tamu yang sowan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu bentuk pengabdian murid kepada gurunya agar mendapatkan berkah.

Di dusun saya, anak-anak muda melaksanakan kegiatan mujahadah seminggu sekali. Kegiatan mujahadah seperti ini, termasuk pengajian, tidak semata-mata sebagai upaya latihan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun kesadaran bersama. Jika santri di pesantren melaksanakan mujahadah sebagai kegiatan yang murni ibadah, di desa kegiatan mujahadah memiliki fungsi sosial yang sangat penting. Melalui tradisi keagamaan seperti inilah landasan kesadaran kolektif sebagai anggota masyarakat itu dibentuk. Mungkin ini yang dimaksud oleh Emile Durkheim dengan agama sebagai sebagai conscience collective. Di dalam forum mujahadah ini tidak hanya membahas yang akhirat-akhirat, tetapi juga tentang apa yang harus dilakukan kaum muda untuk memajukan desanya.

Baca Juga, Ketika Pastor Bergotong Royong Membangun Masjid: Kisah Toleransi dari Kedungombo

Mujahadah dan pengajian ini juga yang kemudian menjadi jembatan bagi orang-orang yang dereng nglampahi (belum menjalankan) untuk secara perlahan mulai nglampahi lalu menjadi sampun nglampahi (post-menjalankan).

Lalu seorang bergelar sarjana pulang ke desa untuk membangun desanya dengan teori-teorinya yang mantap. Tetapi, berangkat mujahadah saja dia tidak pernah! Nah, model seperti ini salah satu contohnya adalah saya. kalau Anda saya yakin tidak demikian.