“Saya hanya butuh waktu dua jam untuk membuat orang melakukan bom bunuh diri.” Statemen tersebut diucapkan oleh Ali imron, terpidana kasus Bom Bali 2002 dalam sebuah wawancara di acara Rosi Kompas TV. Belakangan, potongan video wawancara tersebut viral di sosial media TikTok. Ali Imron memberi tahu kita, bahwa narasi ekstremisme agama bisa disuntikkan sedemikian cepat dan meyakinkan.
Pada momen Hari Santri 2022 ini, agaknya kita perlu memaknai kembali seruan Resolusi Jihad 77 tahun yang lalu. Resolusi Jihad pada masa itu lahir dalam konteks revolusi kemerdekaan Indonesia, dan bagaimana konteksnya pada semangat zaman sekarang ini.
Indonesia yang pada saat itu baru seumur jagung nyaris bubar manakala sekutu dan NICA (Nederlland Indie Civil Administratie) datang. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak hanya disambut suka cita melainkan juga huru-hara. Pada September-Oktober 1945 terjadi pertempuran di berbagai wilayah Indonesia. Saat itu Jakarta, Ambarawa, Pekalongan dan Surabaya menjadi medan pertempuran fisik. Di samping kedatangan sekutu, ketegangan di berbagai wilayah juga disebabkan oleh tentara Jepang yang berusaha mendapatkan kembali kekuasaannya di kota-kota Jawa.
Keadaan genting ini yang melatari ulama dan konsul-konsul Nahdatul Ulama (NU) Se-Jawa Madura untuk segera bersikap. Alhasil KH. Hasyim Asyari atas nama pengurus besar NU menyerukan fatwa Resolusi Jihad (jihad fi sabilillah) kepada setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekan Indonesia.
Puncak dari fatwa itu adalah rakyat dan santri republik Indonesia bersatu dalam perlawanan di peristiwa Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Aguk Irawan menuliskan kisah itu secara penuh dalam novelnya. Novel Biografi KH Hasyim Asyari yang bertajuk Penakluk Badai sampai menempatkan kisah ini dalam satu bab tersendiri. Sejarawan terkemuka M.C. Ricklefs mengatakan, meski pihak republik kehilangan banyak nyawa manusia, tetapi perlawanan yang bersifat pengorbanan itu telah menciptakan lambang dan pekik persatuan demi revolusi.
Semangat zaman revolusi identik dengan pemisahan bangsa Indonesia atas pengaruh Barat dan Jepang. Euforia kebebasan sebagai bangsa yang merdeka dirasakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Masa itu, rakyat merasakan bahwa dengan kemerdekaan itu berarti terbebas dari belenggu penjajahan. Sehingga, siapa pun yang hendak merebut kemerdekaan Indonesia pantas untuk dilawan.
Semangat Resolusi Jihad itu agaknya pantas untuk diadaptasi di era sekarang. Namun, saat ini Resolusi Jihad tidak mesti dipraktikkan dengan cara yang sama. Pada masa itu Resolusi Jihad bermakna memerangi musuh yang menyerang kita untuk mempertahankan negara dan agama. Tentu praktik perang fisik demikian sudah tidak perlu kita lakukan. Kecuali jika nanti ada perang dunia ketiga, atau Indonesia dalam situasi perang tak terhindarkan.
Pada masa revolusi, kemerdekaan disambut dengan rasa syukur dan diperjuangkan ketika terancam. Euforia semacam itu seyogianya terus kita langengkan sampai kapan pun. Hari Santri yang berlandaskan pada resolusi jihad perlu kita manfaatkan sebagai momen untuk memaknai kembali semangat jiwa zaman (zeitgeist) saat itu.
Riuhnya dunia saat ini, khususnya di jagat media sosial, tak kalah riuhnya pada masa revolusi. Jagat media sosial membanjiri kita dengan beragam semangat jiwa, berupa ekspresi kebahagiaan, emosi, tragedi, hingga teror. Di sana kita riuh merayakan kebebasan berpendapat untuk menyampaikan apa saja. Namun, keriuhan itu jelas sangat membingungkan jika kita ikuti semua. Kita perlu memilah mana yang tepat untuk kita. Kebebasan semestinya disikapi dengan arif.
Media sosial sebagai jagat yang riuh, alangkah baiknya jika kita sikapi dengan melahirkan narasi-narasi yang baik. Karena tidak jarang banyak narasi-narasi ekstrem berceceran. Terkadang narasi itu dibungkus dengan kotak kado manis narasi agamis agar tujuan aslinya (keberpihakan politik, adu domba, atau ujaran kebencian) tidak tampak. Narasi-narasi ekstremisme agama bisa bermuara pada anjuran yang berpotensi merusak diri; dari berlaku intorelan hingga terorisme demi tujuan-tujuan tertentu.
Semangat resolusi jihad yang dulu diserukan untuk melawan penjajah pada masa revolusi, perlu kita adaptasi untuk melawan narasi-narasi ekstrem yang memenuhi udara. Narasi-narasi tersebut dapat kita tanggapi secara langsung head to head dalam bentuk kontra narasi, atau menggunakan narasi alternatif yang lebih lentur.
Kontra narasi ekstremisme agama tentu layak untuk dipahami oleh seluruh kalangan khusunya kalangan pesantren. Pesantren dianggap sebagai salah satu benteng yang paling ampuh dalam menghalau narasi ekstremis, dengan semangat zaman ala Resolusi Jihad saat itu yakni membela negara, kecintaan terhadap tanah air dan menjaga keutuhan bangsa. Terlebih lagi dengan tagline Hari Santri tahun ini, yakni “berdaya menjaga martabat kemanusiaan”.
Penerapan kontra narasi ekstemis dan narasi alternatif bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti khutbah, ceramah, esai populer, hingga menyisipkannya di materi pembelajaran. Pun bila mana bentuk medium itu terasa berat, kita bisa menyampaikanya melalui obrolan santai di atas meja.
Apa pun bentuk mediumnya, kontra narasi ekstremis wajib disampaikan dengan cara yang baik. Amar ma’ruf tentunya dengan cara yang ma’ruf, bukan dengan cara yang munkar. Cara dalam menyampaikan tidak kalah penting, yaitu tanpa mencederai pihak manapun sesuai kapasitas kita. Jangan sampai ketika mengkampanyekan kontra narasi ekstrem, pesantren malah menjadi ekstrem baru.
Wallahualam bisshawab. [rf]