Banyak juga yang bertanya, kenapa Haul Gus Dur ke-100 di Lombok bertepatan dengan Hari Natal?
Kata “haul” berasal dari Bahasa Arab, al-haulu yang berarti sekitar, perpindahan waktu, pemisah, dan setahun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, haul diartikan sebagai peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali.
Sedangkan “natal” berasal dari bahasa portugis yang artinya kelahiran. Kata ini menjadi identik sebagai penanda peringatan kelahiran Isa Almasih yang dirayakan oleh umat Krisiani pada tanggal 25 Desember setiap tahunnya, meskipun beberapa aliran gereja ada yang merayakannya di waktu yang berbeda.
Kelahiran dan kematian. Natal dan Haul. Perayaan dan peringatan. Bagaimana jika digabungkan? Itulah yang kami lakukan di Pantai Ampenan. Melangsungkan acara peringatan “Kematian”, kewafatan, KH. Abdurrahman Wahid aka Gus Dur ketika umat Kristiani merayakan Natal.
Apakah itu lazim? Apakah tidak melanggar norma? Perayaan Kelahiran itu identik dengan kegembiraan, sedang peringatan kematian itu kedukaan. Bagaimana menyambungikannya? Bukankah itu bisa dibaca sebagai sebentuk aroganisme “mayoritas atas minoritas?”
Dan, ini yang lebih penting, apakah peristiwa ini berpotensi melukai hati umat Kristen karena sedang merayakan kelahiran Isa, kok ini malah melangsungkan peringatan kematian?
Tentu tidak bagi siapapun yg mengenal Gusdur atau pemikiran-pemikirannya. Beliau adalah sahabat semua orang, sangat dekat dengan umat Kristen dan umat lainnya. Sepanjang hidupnya beliau senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keragaman, kebersamaan, kerukunan. Karena itu beliau dijuluki Bapak Pluralisme, Bapak Keberagaman.
Bagi kami para pecinta Gus Dur, beliau adalah Wali. Orang mulia. Nilai-nilai dan keteladanan beliau tak pernah mati. Dan melalui Haul Gus Dur yang dilangsungkan di Hari Natal itu kami ingin menyampaikan pesan yang kami sampaikan cukup jelas, untuk terus melahirkan dan menghidupkan semangat Kebersamaan, Kebhinekaan, Keragaman, Kerukunan.
Nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Selamat Natal.