Saya tahu kok kenapa ucapan selamat natal bagi beberapa (atau sedikit) orang dianggap haram. Barangkali karena adanya anggapan bahwa hukum itu bersifat materiil. Hukum melekat pada objek. Pada benda. Pada kasus ini hukum melekat pada klausa.
Gejala ini sama seperti pengharaman terhadap Facebook beberapa tahun silam, atau pada hal-hal yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman, seperti anggapan “thoghut” pada pemerintahan yang demokratis. Hal-hal semacam ini menunjukkan betapa “halal-haram” suatu benda melulu melekat pada objek.
Apa itu salah? Tidak juga.
Di beberapa objek, sepengetahuan saya, Islam juga melekatkan status hukum cukup jelas–kalau gak mau dibilang keras. Misalnya khamr atau daging babi. Tentu saja kita juga tahu bahwa akan ada keringanan mengenai suatu hukum pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya kehausan setengah mati di padang pasir dan yang ada cuma tuak, maka label haram pun jadi gugur serta-merta.
Di sisi lain, orang-orang moderat (atau liberal seperti situ) melihat hukum dijatuhkan pada subjek. Pada pelaku. Terutama pada persoalan keyakinan, maka akan ada banyak dimensi yang bermain.
Misalnya, anggapan bahwa mengucapkan selamat natal sama dengan mengimani keyakinan teman-teman Kristiani, maka akan dibantah oleh orang-orang ini. Sebab bagi pihak yang tidak melihat hukum harus melekat pada benda, urusan “meyakini” tidak serta merta harus diseragamkan. Orang-orang ini melihat selamat natal tak lebih penting daripada selamat ulang tahun atau selamat sampai tujuan. Ya niatnya cuma kasih selamat, gak lebih.
Dimensi inilah yang bisa kita lihat dari cerita pengharaman peci beludru hitam yang pernah saya dengar dari seorang kawan.
Begini ceritanya:
Seorang preman tanya kepada kiai.
“Pak Kiai, hukumnya orang pake peci beludru hitam itu apa?”
“Ya tergantung,” kata Kiainya sambil nyumet udud.
Si preman bingung. “Kok tergantung? Hukum kok nggantung gak jelas banget gitu sih?”
“Ya tergantung, bisa wajib bisa sunah,” kata Kiai lagi. “Yang jelas, hukum awalnya itu mubah, boleh.”
“Mubah? Boleh? Gitu doang? Idih, enggak menarik ya hukum Islam itu jebule,” kata si preman.
“Tapi yang mubah begitu bisa jadi sunah,” kata si Kiai lagi.
“Lha kok bisa?”
“Misalnya situ mau salat, tapi rambut situ yang gondrong nutupin dahi situ yang nonong. Wah kalau sujud nanti jadi gak sah dong salatnya, soalnya dahi situ ketutupan rambut. Nah pake peci itu jadi sunah karena membantu situ menjalankan salat yang sempurna,” kata Kiai.
“Bisa jadi wajib juga?” kata si preman.
“Bisa aja, kalau misalnya situ kudu salat duhur padahal bentar lagi mau masuk asar,” kata Kiai. “Daripada salat situ gak sah dan ketinggalan duhur dan rambut situ gondrong–kebetulan gak ada alat lain macam jepit rambut atau karet, malah jadi dosa situ kalau ketinggalan salat.”
“Oh, begitu tho? Berarti enggak mungkin jadi makruh dong Pak Kiai? Secara, itu alat kan untuk ibadah,” tebak si preman.
“Lho siapa bilang?”
“Emang bisa?” tanya si preman penasaran.
“Ya bisa dong. Misalnya situ baru beli peci baru, masih gres dari toko, terus situ keramas pake peci. Ya itu namanya mubazir. Sedikit gobLok. Ya enggak apa-apa sih wong punya situ juga, tapi kan buat apa? Gak berfaedah blas.”
Si preman tertawa.
“Iya sih betul juga, tapi jelas mustahil haram dong? Peci kan enggak bisa dipake buat ngrampok?”
“Eits, jangan salah..”
“Bisa buat ngrampok Pak Kiai? Serius?” tanya si preman memotong, sepertinya dia dapat ide.
“Bukan buat ngerampoknya, tapi buat jadi haramnya.”
“Oalah, kirain,” Kata si preman, “Lha emang bisa jadi haram? Wong buat ibadah gitu lho,” lanjut si preman.
Si Kiai terkekeh.
“Bisa dong. Kalau situ thawaf di masjidil haram pas haji, pake peci beludru hitam itu haram hukumnya.”