Dear, Hannan Attaki. Dakwah Hari Ini Butuh Dakwah yang Dialogis

Dear, Hannan Attaki. Dakwah Hari Ini Butuh Dakwah yang Dialogis

Konten maupun metode dakwah harus dibarengi dengan pendidikan ruang publik. Di mana para jamaah tidak hanya diposisikan sebagi gelas kosong yang akan dituangi air oleh sang penceramah.

Dear, Hannan Attaki. Dakwah Hari Ini Butuh Dakwah yang Dialogis

Hannan Attaki adalah seorang pendakwah Muda lulusan Timur Tengah dan cukup berstyle ala anak muda gaul –dengan memakai penutup kepala khas anak muda, yang bukan sorban ataupun pecis. Ia populer di kalangan anak muda muslim tanah air yang begitu mencintai kehidupan serba Islami.

Dalam setiap ceramahnya, ia selalu membawakan konten-konten yang bisa menarik untuk kalangan anak-anak muda. Mulai dari bagaimana cara berhijrah, bagaimana menjadi muslim yang selalu mensyukuri nikmat Allah, menjelaskan janji-janji Allah di Surga, dan serba-serbi kesalehan simbolik lainnya.

Apa yang disampaikan sang ustadz dalam video ceramahnya mendorong kalangan muslim untuk selalu memperbaiki diri dan berhijrah, mengajak untuk mengamalkan kehidupan yang Islami. Dalam konten ceramahnya, simbol-simbol keislaman dalam perilaku sehari-hari menjadi sesuatu yang penting untuk diterapkan.

Siapa sebenarnya obyek konsumen model ceramah seperti itu? Untuk menelusurinya, maka relevan dengan yang disampaikan Ariel Heryanto (2015) tentang “Budaya Populer di Indonesia”.  Pada masa reformasi ini, terjadi islamisasi jilid kedua, bentuknya adalah islamisasi budaya populer di Indonesia, dimana ada pertemuan yang kompatibel antara bisnis dengan upaya islamisasi dalam budaya pop tanah air.

Kalangan yang menjadi konsumen budaya populer Islami ini adalah kelas menegah perkotaan baru. Kelas menengah perkotaan ini merupakan salah satu lapisan dalam masyarakat kita yang secara ekonomi cukup mapan. Kelompok ini mempunyai rentang usia yang tergolong muda. Mereka mempunyai akses pendidikan dan teknologi yang baik. Lapisan sosial semacam ini setiap hari juga bergumul dengan peradaban informasi digital dan teknologi.

Tetapi kemudian ada semacam kegersangan secara spiritual dalam kehidupannya. Menurut mereka, asal-muasal penyebab degradasi spiritualnya adalah dunia modern. Mereka sering mengutuk dunia modern. Dan kemudian, mereka membutuhkan sandaran untuk meredam kegelisahannya, di sinilah agama menjadi obat penawar bagi kegelisahan mereka. Maka kemudian, bertemulah mereka dengan model ceramah ala Hannan Attaki.

Dalam ceramahnya, ia menyampaikan tawaran berislam yang begitu mudah: berhijrah itu mudah, berislam itu mudah. Tawaran yang demikian tentunya sangat cocok dengan anak-anak muda kelas menengah ini, di mana anak-anak muda ini tidak mau ribet-ribet dalam beragama.

Dalam beberapa riset belakangan, disebutkan bahwa generasi muda saat ini, baik milenial maupun yang lebih muda, yaitu generasi Z, adalah anak-anak yang kurang tertarik dengan hal-hal yang manual. Mereka lebih suka dengan yang mudah, dan serba digital.

Konten-konten ceramah ala Hannan Attaki yang sangat simbolis tersebut, tentunya bukanlah hal yang salah atau keliru. Tetapi, untuk konteks dunia sosial yang terjadi saat ini –di mana seringkali orang atau kelompok dengan model beragama yang lebih mementingkan kulit dari pada isi (substansi ajaran suatu agama), seringkali bukan membawa sebuah rakhmat dan kedamaian, tetapi membawa kemarahan dan intoleransi- bukanlah pilihan yang tepat.

Dunia sosial saat ini, yang ditandai oleh banyaknya informasi palsu, sering disebut oleh banyak orang sebagai era post-trust, di mana antara kebenaran dan kebohongan sulit untuk diverifikasi. Tentunya, dengan model beragama ala islam simbolik, budaya popular kelas menengah ini merupakan pilihan yang tidak tepat.

Di era post-trust ini, dibutuhkan suatu role model beragama (berislam) yang kritis, kemampuan nalar untuk selalu curiga atas segala yang diterima, dan tidak begitu saja menerima segala sesuatu sebagai kebenaran yang mutlak (taken for granted). Kemampuan nalar kritis ini dibutuhkan sebagai bentuk verifikasi konten-konten palsu di era media sosial saat ini untuk memfilter informasi-informasi yang sensitif.

Model beragama yang kritis ini tidak ditemui dalam bentuk-bentuk ceramah ala ustadz Hannan Attaki tersebut. Dalam ceramahnya, ia tidak mengajak para jamaahnya untuk berdialog dan berfikir kritis. Jatuhnya kemudian, dengan konten dakwah yang selalu menonjolkan keislaman secara simbolik akan berakibat pada fanatisme buta tanpa landasan berfikir keagamaan yang mendalam.

Titik bahayanya adalah, para konsumen ceramah dengan model demikian akan menjadi korban konstruksi beragama untuk kepentingan pihak tertentu. Mereka akan secara buta menerima begitu saja wacana yang disampaikan oleh para penceramah ini. Pun, mereka akan mempunyai kecenderungan besar untuk menjadi konsumen berita palsu dan menjadi buzzer gratis bagi para pemilik wacana tertentu.

Metode dan konten dakwah era media sosial saat ini, dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian terhadap kondisi sosial saat ini. Konten maupun metode dakwah harus dibarengi dengan pendidikan ruang publik. Di mana para jamaah tidak hanya diposisikan sebagi gelas kosong yang akan dituangi air oleh sang penceramah. Namun, para jamaah mulai dilibatkan sebagai teman diskusi dalam kegiatan berdakwah. Pelibatan jamaah tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kritis. Dengan adanya aktifitas yang mampu meningkatkan operasional kognitif jama’ah, kedepannya diharapkan para jama’ah mampu menjadi problem solver atas persoalan di lingkungannya masing-masing.

Jamaah yang kritis adalah kunci kemajuan peradaban Islam.