Halal Food: Lebih dari Sekadar Label, Ia Adalah Gaya Hidup

Halal Food: Lebih dari Sekadar Label, Ia Adalah Gaya Hidup

Gaya hidup tayyib dalam konsep halal food semakin relevan dan penting, terutama di era di mana kesadaran akan pentingnya makan sehat dan etis semakin meningkat.

Halal Food: Lebih dari Sekadar Label, Ia Adalah Gaya Hidup
Ilustrasi: Resto Makanan Halal di Tiongkok (Sumber foto: Wikimedia)

Bagi sebagian besar anak muda Muslim urban yang hidup di tengah hiruk-pikuk kota dan gaya hidup modern, memilih makanan bukan hanya soal kenyang, apalagi jika sedang berada di wilayah dengan tradisi sekuler. Ada banyak pertimbangan etika dan kesehatan yang harus dipikirkan. 

Buku berjudul Halal Food: A History karya Febe Armanios dan Boğaç Ergene mencakap dengan sangat bernas kecenderungan orang kiwari dalam memenuhi fondasi energi sehari-hari.  

Rupanya, apa itu makanan halal dan bagaimana interpretasinya bisa begitu dinamis. Kisah makanan halal bukanlah cerita yang sederhana. 

Bayangkan, setiap jumput atau kecapan yang kamu ambil punya cerita panjang yang melibatkan tradisi, hukum agama, dan interpretasi yang berkembang seiring waktu. Konsep halal food lebih dari sekadar aturan hitam-putih tentang apa yang boleh dan tidak boleh dimakan.

Misalnya, siapa sangka kalau kaviar yang dulu dianggap haram oleh sebagian Muslim Syiah, kini sudah diterima sebagai makanan halal? Ini menunjukkan betapa fleksibelnya interpretasi hukum Islam dalam konteks makanan, tergantung pada waktu dan tempat.

Lebih dari Halal

Saat Armanios dan Ergene melakukan riset untuk buku Halal Food, mereka menemukan tren menarik di kalangan Muslim modern. Banyak yang mulai mempertimbangkan faktor etika dan kesehatan dalam menentukan apakah sesuatu itu halal. Ini bukan cuma soal ritual penyembelihan yang benar, tapi juga bagaimana hewan tersebut diperlakukan, apa yang mereka makan, dan apakah makanan itu bebas dari bahan kimia berbahaya.

Di titik ini kita mungkin sering mendengar gerakan makanan organik, bebas pestisida, dan non-GMO. 

Nah, konsep serupa juga mulai diadopsi dalam dunia halal food. Ini sejalan dengan makna tayyib, yang dalam Al-Quran disebutkan sebagai makanan yang baik, bersih, dan menyehatkan. 

Ayat 172 dalam surah Al-Baqarah , misalnya, menginstruksikan umat beriman untuk “mengonsumsi (makanan) tayyib yang Kami telah sediakan untuk kalian.”

Tayyib: Halal aja Gak Cukup

Armanios dan Ergene menjelaskan bahwa tayyib bisa berarti banyak hal, mulai dari lezat hingga menyenangkan. 

Namun, dalam konteks makanan modern, tayyib sering kali diterjemahkan sebagai “wholesome” atau “baik.” Bagi banyak Muslim, ini berarti makanan yang tidak hanya halal secara ritual, tetapi juga sehat dan bersumber secara etis.

Misalnya, daging yang tayyib adalah daging dari hewan yang diperlakukan dengan baik, tidak diberi hormon atau antibiotik berlebihan, dan diberi makan alami. Buah dan sayuran yang tayyib adalah yang ditanam secara organik dan bebas dari pestisida berbahaya.

Revolusi Makanan Halal di Dunia Barat

Menariknya, banyak Muslim yang mulai mengadopsi pendekatan ini tinggal di Amerika Utara dan Eropa. Mereka merujuk pada teks agama untuk mendukung pilihan mereka dan sering kali sejalan dengan tren makanan sehat di budaya Barat.

Armanios dan Ergene melihat bahwa gaya hidup tayyib-halal ini semakin relevan dan penting, terutama di era di mana kesadaran akan pentingnya makan sehat dan etis semakin meningkat.

Jika kamu suka melancong dan berburu makanan halal, buku “Halal Food: A History,” karya Febe Armanios dan Boğaç Ergene ini akan membawamu pada perjalanan menarik tentang evolusi makanan halal, terutama di negeri Barat. Dari tradisi yang dianggap kaku hingga interpretasi yang lebih fleksibel dan modern, konsep halal kini menjadi lebih kaya dan bermakna.