Berhubungan seksual adalah salah satu hadats besar yang memiliki konsekuensi mandi besar (mandi junub) agar terhilang dari hadast besar. Walaupun tidak mengeluarkan sperma, mandi besar tetap harus dilakukan karena sudah melakukan hubungan seksual.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa seseorang yang berhubungan seksual dengan pasangannya, tetap harus mandi walaupun tidak mengeluarkan sperma (mani).
Larangan ini juga berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yang mimpi basah (keluar sperma setelah bermimpi atau tanpa bermimpi). Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Aisyah Ra. yang saat itu menemani Umu Sulaim bertanya kepada Rasulullah Saw terkait hal apa yang harus dilakukan seorang perempuan jika ia mimpi basah (ihtilam). Maka Rasulullah pun menjawab: mandi.
Sebelum mandi besar, dua golongan di atas, baik orang yang berhubungan seksual maupun mimpi basah dilarang untuk melakukan beberapa hal berikut:
Pertama, shalat fadhu maupun sunnah, berdasarkan firman Allah Swt dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu menghampiri masjid) ketika kamu dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi.”
dan juga hadis Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar:
لا تقبل صلاة بغير طهور
“Tidak diterima shalat seseorang tanpa dalam keadaan suci” (H.R: Muslim)
Yang termasuk suci dalam hadis tersebut adalah suci dari hadas kecil dan besar.
Kedua, berdiam lama di masjid. Adapun jika hanya lewat saja, maka diperbolehkan, berdasarkan Q.S. An-Nisa ayat 43 di atas. Juga berdasarkan hadis Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
لا أحل المسجد لحائض ولا لجنب
“Aku tidak menghalalkna masjid bagi orang yang haid dan junub”. (H.R: Abu Dawud)
Ketiga, thawaf di Ka’bah, baik thawaf fadhu maupun sunnah. Karena posisi thawaf sepadan dengan shalat, sehingga dalam thawaf juga disyaratkan adanya bersuci sebagaimana dalam shalat.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat al-Hakim dalam al-Mustadraknya:
الطواف بالبيت صلاة
“Thawaf di Baitul Haram adalah sama seperti shalat” (H.R: al-Hakim)
Keempat, membaca al-Quran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
لا تقرأ الحيض ولا الجنب شيأ من القرأن
“Seorang yang haid maupun junub tidak (boleh) membaca bagian dari al-Quran”.
Namun diperbolehkan bagi orang yang junub untuk melafalkan al-Quran dalam hati, sebagaimana diperbolehkannya melihat ayat-ayat al-Quran dalam mushaf. Dan juga diperbolehkan membaca al-Quran dengan tujuan untuk berdzikir bukan untuk membaca al-Quran, misalnya dalam ayat-ayat yang sering digunakan dzikir sebagai berikut:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanatan wa qina `adzabannar). (Q.S. Al-Baqarah: 201)
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
(Subahanalladzi sakhhara lana hadza wa ma kunna lahu muqrinin). (Q.S. Az-Zukhruf: 13)
Kelima, menyentuh atau membawa mushaf, juga menyentuh kertas mushaf, kulit mushaf, atau membawa mushaf di kantong maupun di kotak. Berdasarkan firman Allah:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Q.S. Al-Waqiah: 79).
Namun diperbolehkan membawa al-Quran yang berada di dalam suatu wadah atau baju dengan syarat tidak diniatkan untuk membawa mushaf, melainkan diniati membawa bajunya, adapun mushaf adalah bagian yang mengikuti baju atau benda yang mewadah tersebut.
Diperbolehkan juga membawa kitab tafsir, jika tafsirnya lebih dominan dari pada ayat-ayat al-Qur’an, karena pembawanya tidak bisa disebut sebagai pembawa mushaf secara Urf (kebiasaan).
Wallahu A’lam