Hakim At-Tirmidzi; Satu-Satunya Sufi yang Bergelar Sang Bijak Bestari

Hakim At-Tirmidzi; Satu-Satunya Sufi yang Bergelar Sang Bijak Bestari

Hakim At-Tirmidzi; Satu-Satunya Sufi yang Bergelar Sang Bijak Bestari

Tulisan ini akan diawali dengan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik: Mengapa syeikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hasan (Husein) ini satu-satunya sufi yang mendapat julukan al-Hakim (sang bijak-bestari)? Bukankah para sufi sebelum dan sesudahnya juga para bijak bestari? Terkait dengan sufi agung dari Tirmidz ini, dalam tulisan sebelumnya, saya telah mengulas secara cukup singkat mengenai biografi dan pengaruhnya terhadap kajian tasawuf sepeninggalnya.  Lihat dalam https://islami.co/hakim-tirmidzi-sufi-besar-yang-menginspirasi-ibnu-arabi-dan-al-ghazali/

Kisah Belajar dengan Nabi Khidir

Fariduddin al-Aththar dalam kitabnya Tadzkiratul Awliya  (91-92) menceriterakan kisah belajarnya al-Hakim di bawah bimbingan Nabi Khidir AS langsung.

Dikisahkan, suatu hari ia bersama dua sahabatnya berniat untuk melakukan perjalanan mencari ilmu. Di tengah perjalanan, ia menerima kabar bahwa ibundanya jatuh sakit. Ia mendapat “bisikan”. Ibundanya berkata kepadanya, “Wahai anakku, aku adalah perempuan yang lemah dan sudah tua. Tidak lagi memiliki keluarga dan kerabat yang akan menolongku. Engkaulah satu-satunya yang bisa menjagaku. Lalu kepada siapa lagi aku mengharap pertolongan (selain dirimu)?” Kalimat-kalimat ibundanya begitu terngiang di telinganya. Ia kemudian memutuskan untuk kembali pulang ke rumah untuk menemui ibundanya. Sementara dua sahabatnya tetap melanjutkan perjalanan.

Singkat cerita, ibundanya wafat. Kemudian ia menziarahi makam ibundanya dan menangis tersedu-sedu sambil berujar: Duhai malangnya nasibku, aku adalah orang bodoh dan tak berguna. Sementara dua sahabatku sebentar lagi mereka akan pulang dan pastinya mereka memperoleh banyak pengetahuan.

Kemudian secara mengejutkan tiba-tiba di hadapannya muncul seorang Syaikh yang wajahnya bersinar-sinar. Lalu Syaikh tersebut menanyakan ihwal sebab al-Hakim menangis. Lalu al-Hakim menjelaskan secara kronologis. Sang Syaikh pun akhirnya berkata, “ Tak usah kau ratapi hal itu. Maukah kau aku ajari ilmu setiap hari. Jika kau bersedia, maka tidak akan butuh waktu lama untuk dirimu mengejar bahkan melampaui pengetahuan yang didapat dari sahabat-sahabatmu. Al-Hakim pun dengan senang hati bersedia menerima tawaran tersebut. Setelah beberapa tahun kemudian, al-Hakim pun baru mengetahui bahwa Syaikh yang mengajarinya adalah Nabi Khidir AS. Ia memperoleh anugerah ini berkat doa dari ibundanya.

Meskipun dalam kisah ini sang sufi diajar langsung oleh Nabi Khidir AS, bukan berarti kemudian ia tidak belajar dan tidak memiliki guru-guru lainnya. Ia justru memiliki banyak guru yang turut membentuk pemikiran dan laku spiritualnya.

Sang Bijak dari Tirmidz

Utsman Ismail Yahya dalam pengantar karya Hakim at-Tirmidzi, Khatam al-Awliya’, yang ditahqiqnya menginventarisir pendapat sejumlah sarjana mengenai alasan digelarinya Abu Abdullah Muhammad bin al-Husain sebagai satu-satunya  sufi dengan sebutan al-Hakim (sang bijak) dari kota Tirmidz. Pertama, Arthur Arberry seorang orientalis yang memiliki perhatian besar terhadap kajian tasawuf dan tokoh-tokohnya dalam pengantar buku berjudul ar-riyadhah wa adab an-nafs, mengatakan bahwa gelar al-Hakim bagi Abu Abdullah disebabkan pengetahuannya yang luas atas ilmu anatomi tubuh yang menunjukkan bahwa ia mempelajari dan menguasai ilmu kedokteran. Kedua, dalam dirinya terkumpul pengetahuan sekaligus karya tulisnya yang mengupas dunia spiritual dan peradaban islam klasik dan metode-metode rasional. Ketiga,  Ia adalah sarjana muslim pertama yang memiliki perhatian besar terhadap pemikiran filsafat Yunani yang dimana ia menjadi peletak dasar madzhab esoterik dalam tradisi tasawuf Islam. Keempat, Utsman Ismail Yahya sendiri berpandangan bahwa julukan atau gelar al-Hakim bagi Abu Abdullah mengacu pada keberhasilannya dalam meletakkan dasar atau pondasi yang kokoh atas kajian-kajian tasawuf di mana ia mencontohkan sendiri dalam perilakunya. Ajaran-ajaran sufisme di tangannya bukan hanya sekadar sebuah perilaku yang tercermin dari seorang sufi, melainkan hakikat sebuah obyek yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Hal ini bisa dibuktikan dalam sejumlah karya-karyanya.

 

Wallahu A’lam bis-Shawab

Idris Masudi, twitter: @midrismesut