Dalam fikih dan Kompilasi Hukum Islam, para ulama sudah merumuskan berbagai hal terkait hak asuh anak setelah perceraian yang dilakukan oleh orang tuanya, yang biasa disebut dengan hadhanah.
Pernikahan disyari’atkan bukan hanya untuk memenuhi nafsu syahwat belaka, akan tetapi mempunyai tujuan yang lebih dari itu, yakni membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Sehingga akan melahirkan keturunan yang sah dan diridhai oleh Allah SWT. Perkawinan disyari’atkan agar suami isteri bersama-sama mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung, menikmati kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam lindungan rumah tangga yang aman dan damai. Hal ini sebagaimana dianjurkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam surat Al-Rum [30] ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ )الروم:۲۱)
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Al-Rum [30]: 21).
Meskipun tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, akan tetapi dalam mengarungi bahtera rumah tangga tidak selamanya memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan, tidak pula selalu rukun dan damai. memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami isteri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya. (KH. Sahal Mahfudh, Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh, 2003).
Ketika hubungan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah penyakit, jika tidak mungkin diobati lagi, maka terpaksa harus diamputasi. Karena itu, perceraian merupakan tindakan yang paling dibenci oleh Allah SWT meskipun diperbolehkan. Hal ini sebagaimana terlihat dalam hadis Rasulullah SAW:
ابغض الحلال الى الله عز وجل الطلاق (رواه أبوداود)
Artinya: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT adalah talak.(H.R Abu Daud).
Suatu perceraian tidak lepas dari dampak negatif tersendiri yang ditimbulkan. Lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak, sebagai pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu. Oleh karena demikian, kewajiban untuk memberikan nafkah dan memelihara anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian.
Sebagaimana disebut di atas, pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fikih disebut dengan hadhanah. Istilah hadhanah diartikan dengan melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyīz, juga menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Para ulama sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak melakukan pengasuhan, hadhanah. Hal ini dikarenakan ibu adalah orang yang pertama dalam mengasuh anak pasca perceraian, karena ikatan batin dan kasih sayang ibu terhadap anak cenderung melebihi kasih sayang ayah. Sentuhan tangan keibuan akan lebih menjamin pertumbuhan mentalitas anak secara lebih kuat. (Masdar Farid Mas’ud, Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fikih Pemberdayaan)
Persoalan berikutnya adalah jika terjadi perceraian, kemudian ibu menikah lagi dengan laki-laki lain yang bukan ayah si anak yang belum mumayyiz, siapakah yang berhak atas hak asuh anak?
Penyelesaian hal ini dalam hukum di Indonesia dapat ditempuh dengan dua jalur hukum, yaitu jalur hukum positif, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan jalur hukum agama, yaitu fikih madzhab Syafii. Dalam hal ini, mengenai ketentuan ibu yang lebih berhak mengasuh dan memelihara anak dari pada bapak secara eksplisit dijelaskan lagi di dalam aturan Pasal 156 (ayat a) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Dalam hal terjadinya perceraian: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu.“
Sedangkan dalam fikih madzhab Syafii juga telah mengatur bahwa bila seorang ibu yang bercerai menikah lagi, maka ibu tidak berhak memelihara anaknya yang belum mumayyiz, kecuali jika ibu menikah dengan mahram anak tersebut, maka ibunya masih berhak memelihara anaknya. Hal ini seperti digambarkan dalam pendapat ulama madzhab Syafii berikut:
(و) الشرط السابع )الخلو) اي خلو ام المميز من زوج ليس من محارم الطفل فان نكحت شخص من محارمه كعم الطفل او ابن عمه او ابن اخيه و رضي كل منهم بالمميز فلا تسقط حضانتها بذلك .
Syarat (hadhanah) yang ketujuh adalah ibu anak tidak menikah dengan suami lain yang bukan mahram anak, maka jika ibu menikah lagi dengan dengan laki-laki dari mahram anak, seperti paman si anak, anak paman si anak, anak laki-laki saudara laki-laki si anak dan mereka merelakan si anak tersebut, maka hak pemeliharan ibu tidak gugur dengan sebab demikian. (Syekh Ibrāhīm al-Bājurī, Hasyiyyah al–Bājurī ‘Ala Ibn Qāsim, Juz. Ke-2,., h. 198).
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan pendapat antara Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu walau telah menikah lagi. Sedangkan menurut ulama fikih madhzab Syafii, bila seorang ibu yang bercerai menikah lagi, maka ibu tidak berhak memelihara anaknya yang belum mumayyiz, kecuali jika ibu menikah dengan mahram anak tersebut, maka ibunya masih berhak memelihara anaknya.
Walaupun demikian, para ulama madzhab juga memiliki perbedaan pendapat terkait hak asuh anak ini. Penjelasan tersebut akan dilanjutkan dalam artikel-artikel selanjutnya. (AN)