Haji Mabrur Dan Keseimbangan Ekosistem

Haji Mabrur Dan Keseimbangan Ekosistem

Mendapatkan predikat haji mabrur adalah dambaan semua orang. Bagaimana caranya supaya kita mendapatkan predikat tersebut?

Haji Mabrur Dan Keseimbangan Ekosistem

“Semua ibadah dikatakan berhasil atau tidak, bermanfaat atau tidak, dilihat setelah pelaksanaan ibadah itu selesai, bukan saat ibadah itu berlangsung”. Ucap pria tua yang umurnya kira-kira 60 tahun itu. Kami semua mantuk-mantuk dan tetap hikmat mendengar beliau berbicara. “saat ini banyak saudara kita yang sedang berangkat haji. Tujuan para jamaah haji tentu menjadi haji yang mabrur. Tapi apakah tanda kalau hajinya seseorang itu mabrur?. Haji mabrur itu ditandai dengan dua hal; pertama, memberi makan, dan kedua, Menebar salam”

Pria tua itu berhenti sejenak dan melanjutkan bicaranya dengan tenang “Memaknai memberi makan tidak hanya sekadar leterlek memberi makan, tetapi bisa berupa membantu perjuangan di jalan Allah, semisal saja membantu biaya TPQ atau infaq di masjid. Menebar salam pun demikian, tidak hanya harfiah yang dikit-dikit mengucapkan salam. Menebar salam bisa berarti menyebarkan kedamaian untuk sekitar, damai untuk manusia di sekeliling, damai juga untuk tanaman, hewan dan alam sekitar. Mereka semua yang ada di dunia ini merasa nyaman di sekitar orang yang pulang dari haji, itulah haji mabrur. Saat ini, banyak orang yang terlihat ibadah tapi sebenarnya jauh dari nilai ibadah, tetapi ada juga yang seolah-olah tidak beribadah, tetapi sejatinya itulah ibadah yang disukai Allah. Semoga jamaah haji dari Negara kita menjadi mabrur”

***

Saat diberi tahu tentang tanda-tanda orang yang hajinya mabrur, pikiran saya langsung terlempar pada kebiasaan kita dalam berinteraksi dengan hewan, tumbuhan dan alam sekitar.

Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar kabar ada paus meninggal dengan perut penuh plastik, ada juga cerita tentang sungai yang terkontaminasi sabun sampai berbuih, dan yang paling hangat adalah kondisi udara ibu kota yang kabarnya buruk, sampai kita menduga pagi hari berkabut, ternyata itu adalah polusi.

Kabar-kabar ini seharusnya dapat membuat kita introspeksi, apakah selama ini kita masuk menjadi bagian dari orang yang merilis limbah ke lingkungan atau orang yang menjaga lingkungan.

Alam kita saat ini sudah cukup menderita karena ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Kabar global warming sudah beredar sejak bertahun-tahun yang lalu, penipisan lapisan ozon juga telah kita dengar, apalagi sudah banyak juga hewan-hewan yang punah karena kehilangan tempat tinggal sebab penebangan liar.

Padahal, dalam perspektif Islam, tugas manusia diutus ke bumi adalah menjadi kholifah fil ard. Dalam menjadi kholifah di dunia, salah satu tugas manusia adalah menjaga stabilitas ekosistem bumi, sehingga bumi tetap nyaman untuk dihuni berbagai hewan dan tumbuhan yang telah Allah ciptakan.

Dalam menjaga alam, setidaknya kita bisa mulai dengan mengenal limbah dan melakukan pembuangan limbah ke alam dengan bijak.

Dalam perspektif ilmu kimia, jenis polutan atau limbah yang dirilis ke alam dibedakan menjadi 3; 1. Padat 2. Cair dan 3. Gas. Zat padat yang dibuang berupa sampah, baik yang organik atau anorganik. Zat cair bisa berupa limbah rumah tangga, semisal air yang mengandung sabun. Dan zat gas bisa berupa sisa buangan pembakaran kendaraan bermotor.

Memang, bumi memiliki sistem tersendiri dalam menjaga dirinya, tetapi bumi memiliki batas aman suatu limbah berbahaya dapat dirilis ke alam. Sehingga dari sana, ada baku mutu limbah yang ditetapkan. Limbah yang dibuang tidak boleh melebihi baku mutu kualitas limbah.

Hal ini dikarenakan apabila sebuah limbah telah melebihi batas aman yang ditetapkan, bisa dikatakan alam tersebut tercemar. Apalagi banyak diantara zat yang dibuang memiliki sifat terakumulasi, alias selalu menumpuk dari waktu ke waktu. Jadi tidak semua zat pencemar yang dirilis ke alam akan terurai dan berubah menjadi zat yang aman untuk belama-lama eksis di alam. Misal seperti logam, limbah logam adalah salah satu jenis yang dapat terakumulasi, sehingga kadar rilisan logam ke alam haruslah sangat kecil. Semisal juga limbah plastik, limbah yang sangat dekat dengan kehidupan kita, plastik adalah zat yang sulit terdegradasi, sehingga eksistensinya di alam akan sangat lama.

Dari serangkaian sistem ini, agar alam tidak semakin tercekik, diperlukan sebuah tritmen sebelum limbah itu dirilis ke alam. Karena kebiasaan membuang limbah berbahaya ini ke alam akan berbanding lurus dengan terancamnya hajat hidup tanaman dan tumbuhan yang hidup di dunia.

Ya seperti contoh yang saya kemukakan di muka. Paus terdampar dengan perut penuh sampah tentu karena kita lupa dan lemah dalam membuang dan mengelola limbah plastik. Air sungai yang berbuih tentu akan merusak ekosistem perairan dan polusi udara tentu akan merusak ekosistem udara.

Sehingga makna salam dalam tanda-tanda orang yang hajinya mabrur bisa langsung berkaitan dengan sikap membuang dan mengelola limbah dengan bijak.

Limbah itu pasti ada, dan alam pun siap menerimanya, tetapi dalam kadar yang pas.

***

“Tapi ya kita ini ndak usah niteni orang berhaji itu. Ndak usah kita menuduh ‘wah si bapak ini hajinya ndak mabrur, lihat perilakunya masih tidak membuat tetangganya nyaman’, ‘wah ibuk itu, hajinya gimana si, kok masih suka menambah beban berat air dengan membuang limbah sembarangan’ atau ‘wah orang itu gimana si, ada ladang bersedekah untuk korban bencana kok ndak mau nyumbang’ ndak perlu seperti itu. Kita ndak perlu menilai orang” sambil memegangi kaca mata bacanya, bapak tua itu melanjutkan.

“tugas kita yang tidak berhaji bukan untuk menilai mereka yang berhaji dan menuduh-nuduh seperti itu. Tugas kita adalah menilai diri sendiri. Sudah bener ndak solat dan puasa kita, itu ibadah kita. Kan solat itu bisa menghindarkan kita dari sifat keji dan mungkar. Itu aja yang ditelateni, fokus pada diri sendiri, introspeksi dan refleksi. Masihkah kita berbuat keji dan mungkar atau sudah sebaliknya? Dan sudahkah kita menjadi insan yang pemaaf seperti tanda-tanda orang yang puasanya diterima.” Bapak itu tersenyum dan kami semua semakin tertegun dan merasa tersindir hebat dari khutbah jumat yang reflektif ini.

M. Bakhru Thohir, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.